Saya
percaya takdir.
Kenapa?
Karena
pada akhirnya takdirlah yang mempertemukan kita kembali.
Saya
bahagia, bahkan teramat sangat bahagia. Kamu masih begitu mengingat hal hal
kecil yang kerap kali saya lupakan. Seperti kecerobohan kecerobohan yang bahkan
baru detik itu baru saya ingat kembali, setelah kamu mengingatkannya tentu
saja. Kecerobohan siapa? Tentu saja saya. Ok, itu hal yang wajar. Saya memang
sangat ceroboh, teramat ceroboh, mungkin sampai saat ini. Tuhan, semoga
kecerobohan saya bisa segera hilang. Wajar? Hmm baiklah ceroboh itu memang tidak baik,
tetapi sepertinya itu sudah mendarah daging dalam tubuh saya. Bagaimana saya
harus melepaskannya pergi?
Can you help me?
Saya
tersenyum ketika kau mengingatkan beberapa kecerobohan kecil saya. Ah, kau
selalu saja bisa membuat saya tersipu dengan segala caramu. Entah jurus apa
yang selalu kau pergunakan hingga membuat saya tertunduk tanpa berkata kata
menahan emosi tawa yang akan meledak sesegera mungkin. Saya saja sudah
melupakannya, melupakan kecerobohan kecerobohan itu. Tetapi kenapa kau begitu
menyimpannya dalam memorimu? Hmm saya tahu. *sedang berpikir. Sepertinya kau
enggan meninggalkan sedikitpun memori tentang saya ya? Takut akan kehilangan
memori memori itu suatu saat nanti. Ah,
saya terlalu GR ya. Maaf deh.
Saya
jadi mengingat diri saya beberapa tahun yang lalu. Eh, apa? Beberapa tahun?
Seperti sudah bertahun tahun lamanya ya? Padahal tidak selama itu juga, tetapi
ya saya sudah terlanjur menulisnya. Malas menggerakkan jemari jemari yang tidak
mungil ini ke keyboard bertuliskan ‘delete’, jaraknya memang tidak jauh sih
dari huruf huruf lainnnya. Tetapi saya sedang malas. Malas ya? Ok, saya akan
fokus kembali.
Sebelumnya
saya sedang bercerita tentang ‘kecerobohan’. Mari kita lanjutkan kembali.
Saya
sudah bilangkan, saya orang yang cukup ceroboh, eh sangat ceroboh, eh apapun
itu. Tetapi tidak seburuk orang terceroboh kok. Tenang saja, saya cukup kuat
mengusir kecerobohan kecerobohan yang menghantui bilik bilik sendi kehidupan
saya. Kenapa? Karena saya dulu pernah ikut ekskul tinju disekolah. (saat
itu kelas dua SMA dan saya mendaftarkan diri dicabang ekskul tersebut bersama
10 teman saya). Dan mulai semenjak itu saya sangat suka meninju ninju apapun,
termasuk meninju kecerobohan saya sendiri. Percaya? Maaf maaf ini hanyalah
cerita fiktif belaka. No ekskul tinju
yang pernah saya ikuti, no suka
meninju ninju apapun, termasuk kecerobohan, juga tulisan dalam kurung tersebut.
Ini benar benar cerita fiktif. Fokuslah,
fokus fokus.
Saya
kembali mengingat kecerobohan saya, dahulu. Itu karena kamu, yang dengan sangat
teganya membuka kenangan yang begitu sangat ingin saya lupakan. Hah? Iyakah?
Kenapa saya ingin melupakannya? Mungkin karena kecerobohan saya itu sangat
kekanak kanakkan, maybe. Apapun itu,
tetapi terimakasih ya. Saya bahagia, kamu masih mengingat, sangat mengingatnya.
Padahal saya sendiri melupakannya begitu saja.
Tetapi,
ngomong ngomong. Saya melihat tawa yang begitu bahagia dari sudut bibirmu ketika
menceritakan kecerobohan saya. Benarkah kamu bahagia dengan kecerobohan yang
pernah saya lakukan? Ah, kamu benar benar tega ya.
Ok,
barusan itu hanya acting saja. Saya
juga bahagia, terlalu bahagia ketika kau mengingatkan beberapa kecerobohan
saya. Entah kenapa. Meskipun saya pernah berusaha mencoba melupakannya
(beberapa terlupakan, beberapa lagi masih tersangkut didalam bagian otak otak saya),
saat ini saya bahagia sekali ketika mengingatnya kembali. Itu seperti sebuah
cerita dongeng yang lucu, yang patut diceritakan pada anak anak balita mungkin.
Ternyata,
bahagia itu sederhana ya, cukup dengan mengingat kecerobohan kecerobohan saya
ya? Benarkah? Sesimpel itukah bahagia? Menurutmu?
Sepertinya
tidak. Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin kebahagiaan didapat dari kecerobohan
yang pernah saya lakukan? Itu memalukan. Jika seluruh orang didunia ini ketika
ingin bahagia hanya tinggal mendengar ceritamu tentang kecerobahan saya, mencari si pemilik cerita yang ceroboh tersebut, kemudian
menertawakannya, menertawakan saya di depan saya tentu saja. Jangan. Jangan lakukan itu.
Tetapi,
bagaimanapun itu. Saya berterimakasih. Kamu masih hadir, dan mengulang kembali
semuanya (mengulang cerita cerita kecerobahan saya yang tiada pernah habisnya,
karena kamu menambah nambahkannya). That’s
one of my happiness.
Thanks for your memories.
No comments:
Post a Comment