Monday, December 23, 2013

Ternyata ceroboh itu, bahagia?

Saya percaya takdir.
Kenapa?
Karena pada akhirnya takdirlah yang mempertemukan kita kembali.

Saya bahagia, bahkan teramat sangat bahagia. Kamu masih begitu mengingat hal hal kecil yang kerap kali saya lupakan. Seperti kecerobohan kecerobohan yang bahkan baru detik itu baru saya ingat kembali, setelah kamu mengingatkannya tentu saja. Kecerobohan siapa? Tentu saja saya. Ok, itu hal yang wajar. Saya memang sangat ceroboh, teramat ceroboh, mungkin sampai saat ini. Tuhan, semoga kecerobohan saya bisa segera hilang. Wajar? Hmm baiklah ceroboh itu memang tidak baik, tetapi sepertinya itu sudah mendarah daging dalam tubuh saya. Bagaimana saya harus melepaskannya pergi?
Can you help me?

Saya tersenyum ketika kau mengingatkan beberapa kecerobohan kecil saya. Ah, kau selalu saja bisa membuat saya tersipu dengan segala caramu. Entah jurus apa yang selalu kau pergunakan hingga membuat saya tertunduk tanpa berkata kata menahan emosi tawa yang akan meledak sesegera mungkin. Saya saja sudah melupakannya, melupakan kecerobohan kecerobohan itu. Tetapi kenapa kau begitu menyimpannya dalam memorimu? Hmm saya tahu. *sedang berpikir. Sepertinya kau enggan meninggalkan sedikitpun memori tentang saya ya? Takut akan kehilangan memori memori itu suatu saat nanti.  Ah, saya terlalu GR ya. Maaf deh.

Saya jadi mengingat diri saya beberapa tahun yang lalu. Eh, apa? Beberapa tahun? Seperti sudah bertahun tahun lamanya ya? Padahal tidak selama itu juga, tetapi ya saya sudah terlanjur menulisnya. Malas menggerakkan jemari jemari yang tidak mungil ini ke keyboard bertuliskan ‘delete’, jaraknya memang tidak jauh sih dari huruf huruf lainnnya. Tetapi saya sedang malas. Malas ya? Ok, saya akan fokus kembali.

Sebelumnya saya sedang bercerita tentang ‘kecerobohan’. Mari kita lanjutkan kembali.

Saya sudah bilangkan, saya orang yang cukup ceroboh, eh sangat ceroboh, eh apapun itu. Tetapi tidak seburuk orang terceroboh kok. Tenang saja, saya cukup kuat mengusir kecerobohan kecerobohan yang menghantui bilik bilik sendi kehidupan saya. Kenapa? Karena saya dulu pernah ikut ekskul tinju disekolah. (saat itu kelas dua SMA dan saya mendaftarkan diri dicabang ekskul tersebut bersama 10 teman saya). Dan mulai semenjak itu saya sangat suka meninju ninju apapun, termasuk meninju kecerobohan saya sendiri. Percaya? Maaf maaf ini hanyalah cerita fiktif belaka. No ekskul tinju yang pernah saya ikuti, no suka meninju ninju apapun, termasuk kecerobohan, juga tulisan dalam kurung tersebut. Ini benar benar cerita fiktif. Fokuslah, fokus fokus.

Saya kembali mengingat kecerobohan saya, dahulu. Itu karena kamu, yang dengan sangat teganya membuka kenangan yang begitu sangat ingin saya lupakan. Hah? Iyakah? Kenapa saya ingin melupakannya? Mungkin karena kecerobohan saya itu sangat kekanak kanakkan, maybe. Apapun itu, tetapi terimakasih ya. Saya bahagia, kamu masih mengingat, sangat mengingatnya. Padahal saya sendiri melupakannya begitu saja.

Tetapi, ngomong ngomong. Saya melihat tawa yang begitu bahagia dari sudut bibirmu ketika menceritakan kecerobohan saya. Benarkah kamu bahagia dengan kecerobohan yang pernah saya lakukan? Ah, kamu benar benar tega ya.

Ok, barusan itu hanya acting saja. Saya juga bahagia, terlalu bahagia ketika kau mengingatkan beberapa kecerobohan saya. Entah kenapa. Meskipun saya pernah berusaha mencoba melupakannya (beberapa terlupakan, beberapa lagi masih tersangkut didalam bagian otak otak saya), saat ini saya bahagia sekali ketika mengingatnya kembali. Itu seperti sebuah cerita dongeng yang lucu, yang patut diceritakan pada anak anak balita mungkin.

Ternyata, bahagia itu sederhana ya, cukup dengan mengingat kecerobohan kecerobohan saya ya? Benarkah? Sesimpel itukah bahagia? Menurutmu?

Sepertinya tidak. Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin kebahagiaan didapat dari kecerobohan yang pernah saya lakukan? Itu memalukan. Jika seluruh orang didunia ini ketika ingin bahagia hanya tinggal mendengar ceritamu tentang kecerobahan saya, mencari si pemilik cerita yang ceroboh tersebut, kemudian menertawakannya, menertawakan saya di depan saya tentu saja.  Jangan. Jangan lakukan itu.

Tetapi, bagaimanapun itu. Saya berterimakasih. Kamu masih hadir, dan mengulang kembali semuanya (mengulang cerita cerita kecerobahan saya yang tiada pernah habisnya, karena kamu menambah nambahkannya). That’s one of my happiness.

Thanks for your memories.

No comments:

Post a Comment