‘Sepertinya
puasa tahun ini akan sama seperti tahun kemarin’ gumamku dalam hati sambil
berjalan menyusuri koridor jalan bersama asap asap kendaraan yang mengepul ke
wajah. Terik panas matahari memamerkan
kekuasaanya di tengah siang bolong saat ini. Tetapi aku sudah tidak
memperdulikannya lagi. Kulitku sudah cukup terbakar selama 2 tahun ini. Yang ku
pikirkan saat ini adalah bergegas pulang menuju kos ku dan segera beristirahat.
Aku
seorang mahasiswa yang kuliah di tempat dimana bukan aku tinggal bersama kedua
orang tuaku. Aku pergi mengarungi lautan dan pulau untuk menuntut ilmu di
sebuah universitas negeri yang terbilang cukup hebat. Memang inilah mimpi ku,
meski harus meninggalkan keluargaku di ujung pulau Indonesia sana, sabang.
Tetapi aku berjanji pada mereka bahwa aku akan berjuang di pulau jawa ini untuk
kembali pulang dan membanggakan mereka.
Sesampai
di dalam kamar kos, aku segera menghempaskan tubuh ke kasur melepas lelah setelah
seharian belajar di kampus.
Aku
membuka tas dan mengambil sebuah dompet tua yang pernah ku beli 3 tahun silam. Pikiranku
melayang membawa alam bawah sadarku ketika melihat selebar foto yang sengaja ku
letakkan di dompet itu. Foto yang sempat ku potret beberapa hari sebelum aku
pergi menuntut ilmu di pulau Jawa ini. Mata ku basah, namun sebelum sempat air
mata keluar aku pun langsung memejamkan mata dan menghempaskan tubuh ke kasur
kembali untuk beristirahat sejenak.
***
“Tok
tok tok” suara pintu di ketuk berkali kali dari arah luar.
“Dibaaaaa”
sedikit menjerit suara dari luar sana sambil tetap mengetuk ngetuk pintu. Aku
pun terbangun mendengar seseorang memanggilku dari luar. Memang tidak terlalu
luas kamar kos yang ku tempati ini, tapi cukup membuatku nyaman dan santai
berada di dalam sini selama 2 tahun ini.
Aku
segera bergegas bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Ternyata Melda yang
sejak tadi mengetuk ngetuk pintu dan memanggilku.
“Dibaaa,
haduh kamu tidurnya lama sekali. Sudah jam 6 ini bentar lagi buka puasa. Kamu
tidak ikut berbuka bersama anggota RID?” Melda terlihat syok dengan
penampilanku yang masih berantakan karena baru bagun.
Ya
benar, aku baru saja terbangun setelah beberapa jam tertidur. Untungnya ada
Melda yang datang menjemputku. Hari ini kami memang membuat janji bersama RID,
Remaja Islam Dakwah, sebuah organisasi kampus yang baru setahun aku ikuti, juga
Melda, untuk berbuka puasa bersama. Kami sengaja membuatnya dihari senin tepat
hari ke sepuluh puasa. Kenapa? Karena katanya RID ini berdiri beberapa tahun
yang lalu pada bulan puasa seperti saat ini dan tepat di hari senin.
“Hehe
iya, maaf mel aku lupa hidupin alarm sebelum tidur. Makasih ya udah bangunin
aku. Tunggu 5 menit oke, aku mau siap siap dulu. Gak lama kok. Yayaya.” Kata ku
sambil membujuknya agar ia tidak pergi dahulu meninggalkanku.
“Oke,
jangan lama lama, yang lain sudah menunggu kita disana.” Jawab Melda kemudian
duduk di kursi luar sedangkan aku segera bergegas mencuci muka dan mengganti
pakaian.
Tepat
5 menit, mungkin beberapa detik lebih, aku pun keluar dari kamar menghampiri
Melda yang sedang menyentuh layar hp nya, mungkin sedang mengirim pesan untuk
lainnya. Kami pun segera beranjak menuju tempat makan yang telah di booking
beberapa hari lalu oleh Andi, sang ketua pembuat acara ini.
***
Di
tempat makan acara buka bersama.
“Hai
kak Ina” sapa ku ramah setiba di sana dan memeluk kakak yang ku panggil
beberapa detik lalu.
“Hai
Diba” jawab kak Ina ramah kembali memelukku.
Kak
Ina ini adalah kakak leting ku, sekaligus kakak yang telah membimbing kami
semua dalam RID ini. Ia begitu baik dan perhatian serta peduli. Itulah yang
membuat aku menyukai kakak yang satu ini.
“Kakak
kurusan dikit ya?” Tanya ku sambil memerhatikan wajahnya setelah melepas
pelukan. Memang terlihat sedikit kosong pipinya.
“Iya
dikit nih, nampak ya kurus nya udah?” Tanya kak Ina kembali pada ku.
“Hehe
iya dikit, karena pipi kakak udah agak kosong dikit enggak bulat lagi.” Jawab ku
sambil mencubit gemas sedikit pipinya. Aku memang terbilang cukup dekat, bahkan
sangat dekat dengan kak Ina. Ia selalu mendukung ku untuk masuk ke dalam RID
ini, karena ia lah orang yang pertama kali mengajakku bergabung di organisasi
ini.
“Gak
papalah kurusan dikit, dari pada makin gemuk. Makin banyak baju yang gak bisa
kakak pake lagi nanti.” Jawab kak Ina membalas cubit pipiku kemudian tertawa.
Setelah
itu kami berkumpul bersama yang lainnya di meja yang telah di siapkan bersama
menu buka puasa.
Waktu
berbuka tiba. Kami pun membaca doa bersama sama kemudian masing masing mulai di
sibukkan dengan makan dan minum.
“Alhamdulilah
ya, udah puasa ke 10. Semoga kita masih di berikan umur oleh Allah SWT untuk
melanjutkan sisa puasa beberapa hari lagi.” Kata kak Ina yang duduk di samping
ku usai berbuka dan shalat magrib bersama.
“Iya
kak. Alhamdulillah. Semoga kita juga bisa merayakan hari yang fitri nanti
setelah puasa ini” sambungku.
“Diba
tahun ini gimana? Bisa pulang ke kampung untuk berlebaran disana?” Tanya kak
Ina pada ku. Kemudian aku terdiam sesaat. Bingung harus menjawab apa. Aku masih
memikirkan jawaban apa yang harus ku jawab.
“Mm
kayak biasanya kak. Diba gak punya uang untuk pulang dan balik lagi kesini. Kan
kakak tau, diba kuliah di sini juga karena beasiswa kak. Orang tua cuma bisa
kirim uang untuk makan dan bayar kos diba aja. Dari mana uang untuk beli tiket
pesawat pulang ke kampung dan balik lagi kesini?” jawab ku sambil menunduk
tidak dapat menatap kak Ina. Inilah aku, aku hanya seorang anak yang berasal
dari keluarga biasa saja. Aku sudah lama memimpikan kuliah di sini. Berkat
usaha dan kerja keras ku selama ini akhirnya aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah
di sini. Dan tentu saja selama 2 tahun ini aku tidak pernah bisa pulang ke
rumah.
“Jangan
bersedih gitu Diba, justru kakak punya info yang bagus buat kamu. Gini, RID
membuat sebuah lomba fotografi yang bertemakan bulan puasa. Kebetulan, kakak
pernah liat bakat kamu motret waktu jadi panitia publikasi beberapa bulan lalu
kan? Dan, kalau kamu menang, hadiahnya mendapatkan uang. Itu bisa kamu pergunakan
untuk pulang ke kampung halaman kamu.” jelas kak Ina panjang lebar sampai
membuatku manggut manggut sendiri.
Aku
berpikir untuk beberapa saat. Memang sih aku suka dengan mengabadikan dalam
bentuk foto jika ada hal hal yang seperti itu. Tetapi aku kan tidak punya
kamera, selama ini aku hanya meminjam punya teman teman saja.
“Kamu
bisa pake kamera kakak kok” sambung kak Ina kemudian, seolah ia bisa membaca
pikiranku dan segera menjawabnya tanpa aku harus pusing sana sini lagi.
“Mm
iya kak makasih ya. Tapi, gimana caranya? Diba masih belum ngerti acara
lombanya.” Aku bertanya pada kak Ina karena masih ada sedikit keraguan. Bisakah
aku?
Setelah
itu kak kina mengeluarkan secarik kertas dari sakunya kemudian ia berikan
padaku.
“Ini
syarat syarat dan ketentuannya. Kamu baca” kak Ina memperjelas dan aku pun
segera mengambil kertas tersebut dari kak Ina.
“Temanya
kan tentang bulan puasa, kamu bisa mulai mencari ide ide terus tentang foto apa
yang akan kamu potret dari sekarang. Misalnya tentang acara buka bareng, nanti
kamu bisa potret orang2 yang sedang ngumpul. Atau apa lain yang bisa di jadikan
objek foto kamu. Pokoknya kamu harus cari sesuatu yang spektakuler yang wah
gitu, juga enggak foto foto yang terlalu biasa. Kakak percaya, kamu bisa kok.”
Kak Ina menjelaskan panjang lebar kepadaku. Aku pun mendengar dengan seksama.
Dan mulai saat itu aku mulai berpikir objek seperti apa yang akan ku potret
untuk lomba ini.
“Gimana?
Kamu mau ikut?” setelah beberapa saat terdiam, kak Ina kembali bertanya pada ku
tentang keikut sertaanku.
“Jadi
kak, diba mau.” Jawab ku terlalu bersemangat dan penuh percaya diri. Bagaimana
tidak, ini adalah hal yang aku nantikan sejak lama.
“Mm
tapi, diba boleh pinjam kamera kakak?” Tanya ku perlahan sedikit ragu.
“Tentu
saja diba, besok kakak bawa ke kampus kameranya ya. Oya mengenai pendaftarannya
kamu bisa jumpai secretariat perlombaannya besok pagi. Datang aja ke gedung RID,
oke.” mendengar jawaban itu aku sangat gembira. Tentu saja aku tidak boleh
menyianyiakan kesempatan ini. Ini adalah sebuah peluang besar bagiku.
“Makasih
ya kak, makasih kali. Diba gak tau harus gimana bilangnya.” Aku begitu terharu
atas perhatiannya dan memberikan izin untuk memakai kameranya.
“Iya
sama sama diba. Gini aja, kamu harus tunjukin bakat terbaik kamu. Cari ide
sebaik mungkin tentang apa yang harus kamu potret. Usahakan kamu menang dan
dapatkan hadiahnya. Kakak akan sangat senang jika kamu bisa memenangkan lomba
ini.” mendengar kata katanya, aku semakin terharu dan tak terasa mataku sedikit
basah.
Ada
seseorang yang begitu peduli kepadaku. Ingin aku pulang ke kampung untuk dapat
bertemu dengan keluarga ku.
“Terimakasih
kak Ina. Diba akan berusaha sebaik mungkin memenangkan lomba ini kak.” Semangat
ku begitu membara, yakin akan kemampuanku dan hasil yang akan ku dapat kelak.
Bukankah kita memang harus percaya diri?
“Iya
diba, sama sama.” Jawab kak Ina. Kemudian kamu berpelukan.
***
Aku
bangun pagi ini dengan begitu semangat dan percaya diri untuk menjajakan
langkahku memulai petualangan baru. Petualangan untuk mengikuti lomba yang RID
adakan. Setelah membayar biaya pendaftaran, aku segera pergi ke kampus. Karena
pagi ini ada jam pelajaran yang harus aku ikuti. Ini juga adalah hari terakhir
aku masuk kuliah sebelum libur tiba. Dan aku memang sangat bersemangat hari
ini.
Setelah
kuliah selesai, aku mulai melaksanakan beberapa ide tentang objek foto yang aku
ikut sertakan pada lomba RID tersebut. Aku berjalan sepanjang lorong mencari
beberapa ibu yang sedang membuat menu untuk berbuka puasa bersama anaknya,
kemudian memotretnya. Setelah itu aku berjalan di sepanjang jalan jalan ramai
dimana orang orang berjualan menu berbuka puasa, kemudian memotretnnya juga.
Dan yang terakhir aku mengunjungi sebuah tempat ketika waktu berbuka hampir
tiba, disana aku menemukan beberapa anak panti asuahan serta ibu ibu sedang
membagikan makanan untuk berbuka kepada anak
jalanan. Aku pun memotretnya beberapa lembar.
Setelah
aku tiba di tempat kos serta tak lupa membeli makanan, waktu magrib pun tiba.
Aku segera meneguk air mineral dan makan nasi. Selesai shalat aku mengambil
kamera yang kak Ina pinjamkan. Aku membuka foto foto yang sudah aku potret
tadi.
“Sepertinya
foto yang ini lebih bagus dari yang lainnya. Karena jarang ku temukan yang
seperti ini.” kata ku pada diri sendiri sambil mengamati foto anak panti asuhan
yang sedang memberi makanan berbuka untuk anak jalanan.
“Efek
matahari sorenya juga cukup bagus. Baiklah, aku akan menggunakan foto ini
saja.” Sambungku dengan bersemangat dan penuh harapan.
***
Setelah
beberapa hari mengirim lembar foto tersebut, aku hanya melakukan pekerjaan
biasa di kos dan belajar. Karena kuliah memang sudah libur. Aku juga menunggu
hasil pengumuman lomba tersebut tentunya.
Sebuah
pesan masuk ke hp ku, dan segera ku buka. Dari kak Ina. ‘Diba, jangan lupa
datang ke RID ya pukul 4 sore nanti, pengumuman. Good luck for you.’ Begitulah
pesan yang sempat membuatku menahan nafas beberapa saat tanpa ku sadari.
“Semoga
aku menang, aku ingin pulang.” Begitulah harapan kecilku yang begitu memiliki
makna.
Sore
pun tiba, aku sudah berada 15 menit lebih awal sebelum pengumuman lomba
tersebut. Setelah pembukaan dan kata kata sambutan, akhirnya pengumuman
pemenangpun tiba. Aku semakin merasa gugup.
“Juara
3 jatuh kepada Ayu Sinta dewi.” Kata sang pembicara. Dan tepuk tangan meriahpun
memenuhi aula RID.
“Juara
2 jatuh kepada Muammar Ardiansyah” kata sang pembicara kembali. Dan tepuk
tangan meriah kembali memenuhi aula. Aku semakin gugup, dalam hati aku terus
berdoa dan berharap akulah pemenang juara 1 nya.
“Daaaaaan,
inilah yang kita tunggu tunggu. Siapakah pemenang juara 1 yang akan mendapatkan
uang tunai sebesar satu juta lima ratus ribu rupian dan sebuah kamera? Siapa
ya? Pemenangnya adalah Karina Diba Aulia. Selamat.” Kata sang pembicara
membuatku tertegun sesaat dan segera bersujud syukur. Aku masih tidak dapat
percaya. Aku pun maju ke atas panggung bersama pemenang lainnya.
Aku
menerima hadiah tersebut, dan mata ku sedikit basah. ‘Inilah harapanku, aku
bisa pulang kampung’ ucapku dalam hati. Setelah itu kami para pemenang turun
dari atas panggung dan segera membaur pada yang lainnya. Aku menemukan sosok
kak Ina sedang berdiri menuggu ku di bawah sana. Aku segara berlari dan memeluk
kak Ina.
“Kak,
makasih kali ya. Aku menang kak, aku bisa pulang kampung.” Kataku sambil
menahan air mata yang sudah memenuhi dinding bola mata. Tetapi karena terlalu berat
ia menampung, akhirnya air mata ku pun jatuh beberapa butir ke pipi.
“Iya
Diba, kakak tau kamu pasti bisa. Selamat ya. Ya udah kamu jangan nangis lagi.
Besok kamu bisa langsung pesan tiket untuk pulang ke kampung jumpa keluarga.”
Kata kak Ina sambil menghapus air mata yang membasahi pipiku. Aku begitu
berterimakasih kepadanya. Dia kakak yang begitu baik dan perhatian padaku. Tak
akan ku lupakan jasamu kak Ina, terima kasih.
***
Aku
tiba di rumah. Aku begitu merindukan rumah yang sederhana ini. Meskipun tidak
mewah, ibuku selalu merawatnya dengan baik. Menanam beberapa bunga dan selalu
menyiramnya. Aku sangat merindukan tempat aku di lahirkan ini.
Aku
segera masuk ke dalam rumah mencari sosok ibu yang sudah sangat lama aku
nantikan dirinya di hadapanku. Membelai kepala ku, memberi kan begitu banyak
nasihat yang tidak pernah aku lupakan. Aku merindukan semuanya.
No comments:
Post a Comment