Bulan
lalu, sebuah film documenter muncul di beranda youtube saya. Judulnya sangat
estetik, Tenggelam Dalam Diam, dengan tampilan tumbnail yang tak kalah estetik
juga. Tapi baru benar-benar saya tonton dibulan Juni ini. Jujur, ini adalah
video dokumenter Watchdoc Documentary durasi terpanjang perdana yang saya tonton,
yaitu sekitar 1 jam. Nontonnya selalu nyicil, dan baru saya selesaikan setelah
satu minggu. Yang menarik perhatian saya, pembukaan dokumenter ini disajikan
dalam bentuk dua percakapan orang, yaitu Doly Harahap dan Irene Barlian. Irene,
serorang fotografer documenter, menelfon Doly, seorang pemusik sekaligus
fotografer, mengajaknya terjun dalam sebuah projek mengenai krisis iklim. Mereka
berdua berpencar menyusuri pesisir pantai utara Pulau Jawa untuk menangkap
gambaran realita yang terjadi. Irene berangkat dari Surabaya, dan Doly
berangkat dari Jakarta. Mereka memutuskan untuk bertemu di Jawa Tengah sambil
mengerjakan projek tersebut. Yang membuat ini tambah menarik lagi adalah,
mereka berdua mengajak orang-orang yang berbeda tiap menyulusuri daerah baru,
rata-rata dari mereka adalah pekerja seni.
Doly
memulai perjalanannya dari daerah Muara Batu, sebuah teluk di Jakarta. Sedangkan
Irene dari Mangare, Gresik, Jawa Timur. Dari Film Dokumenter Tenggelam Dalam
Diam ini, saya jadi tau tentang realita daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa.
Miris. Permukaan air laut jadi lebih tinggi dari daratan karena setiap tahunnya
permukaan air laut terus naik. Wilayah ini diselamatkan oleh tanggul yang
memisahkan antara laut dan pemukiman. Sejak dibangun, tanggul tersebut sudah
tiga kali ditinggikan karena air laut terus naik. Belum lagi rembesan air dari
bawah karena tekanan air laut yang membuat warga harus memompa dan membuang air
rembesan tersebut kembali ke laut. Persoalan warga Muara Batu tidak hanya itu,
mereka bahkan sulit mendapatkan air bersih untuk mandi, mencuci dsb. Dengan
mayoritas penduduk adalah golongan menengah ke bawah, mereka harus mengeluarkan
biaya yang cukup tinggi untuk sekedar membeli air bersih. Sedih saat menonton
bagian ini. Belum lagi mereka harus memikirkan biaya biaya untuk kebutuhan
lainnya.
Saya
jadi ingat apa yang Doly katakan. Sampai kapan tanggul tersebut bertahan dan
menjadi penyelamat Ibu Kota Jakarta? Karena permukaan air laut terus naik dan
permukaan tanah di Jakarta turun setiap tahun sekitar 2.5 cm menurut Lembaga Ilmu
Pengetahun Indonesia.
Di
sisi lain, Irene bersama Ade Putri (pencerita kuliner Indonesia) menyusuri
Kawasan tambak di Pulau Mengare, yang kini menyatu dengan pulau Jawa akibat
pengendapat lumpur sungai bengawan solo. Tambak tersebut menghasilkan ikan
bandeng yang kian berkurang akibat tanggul penahan arus air laut hancur, serta
abrasi yang terjadi. Ada satu scene yang sangat menyentuh menurut saya, itu
adalah saat Irene dan Ade Putri menghampiri pekerja di tambak. Mereka sedang
membangun tanggul dengan tanah dan lumpur secara manual.
“Jadi
kalau ini nanti ombaknya besar, tambak di sini bisa hilang, Pak?”
“Ya
kalau enggak dibentengi dengan tanggul, enggak gini. Bisa hancur.”
“Sejauh
ini efektif, Pak?”
(Si
Bapak diam sejenak) “Untuk sementara aja.”
“Berapa
lama itu?”
“Paling
lama, setengah tahun.”
Mereka
terkejut dan saling tatap-tatapan. Saya justru semakin merinding saat melihat
mereka ikut terkejut dan bertatapan. Bagaimana tidak. Tanggul yang dibangun
dari tanah lumpur yang entah berapa lama pengerjaannya itu, hanya bertahan
‘paling lama setengah tahun’.
Selama
ini pohon pohon mangrovelah yang ikut menyelamatkan tambak dan daratan dari
abrasi. Saya jadi belajar sedikit tentang jenis mangrove. Untuk melindungi
tambak dari arus laut, tidak boleh sembarangan menanam mangrove. Ada beberapa
jenis mangrove, seperti bentuk akar yang keluar dari batang pohon lalu menancap
ke tanah, dan ada juga akar yang muncul dari bawah tanah muncul ke atas.
Perjalanan
terus membawa mereka bertemu dan melihat realita baru. Berbagi tentang temuan
yang sudah mereka kumpulkan dengan masyarakat, bertemu dengan para musisi yang
lagu-lagunya menceritakan tentang lingkungan dan sosial, dan juga mengunjungi
langsung rumah warga yang terendam air. Ternyata, daerah pesisir memang sangat
terancam dengan banjir rob, banjir yang disebabkan oleh permukaan air laut yang
menutupi daratan. Sebagian dari masyarakat yang hidup dipemukiman yang sudah
tergenang air selama beberapa tahun terakhir, memilih pindah. Sisanya bertahan
karena beberapa alasan. Mereka yang bertahan, terpaksa menimbun lantai rumah
setiap tahunnya. Mirisnya, karena terus ditimbun, isi rumah semakin sempit, bahkan
kepala bisa menyentuh sisi atap jika tidak berjalan sambil menunduk.
Di
daerah Tambakrejo terdapat area pemakaman umum, yang bisa dikunjungi hanya saat
air laut sedang surut. Menurut pengakuan salah satu warga yang anggota keluarganya
dimakamkan di sana, beberapa kerangka anggota keluarga yang sudah meninggal dipindahkan
oleh keluarganya, sisanya tetap di sana, tenggelam.
Ada
hal keren yang saya tangkap dari penyelusuran mereka di daerah-daerah yang
rawan terkena banjir. Selain masyarakat diajak untuk ikut menahan laju abrasi
dengan menanam mangrove, mereka juga berinisiatif mengolah tanaman mangrove
menjadi aneka olahan makanan. Seperti produk dari buah mangrove yang dibuat
sirup, dodol, stik, kerupuk, dan sebagainya.
Krisis
iklim memang membawa dampak pada anomali cuaca dan abrasi yang mengancam
keberlanjutan hidup masyarakat di pesisir utara Jawa. Seorang pengelola tanaman
mangrove di Pekalongan, berinisiatif menanam mangrove karena takut akan terkena
tsunami seperti di Aceh. Namun kini justru usahanya dalam menanam mangrove berperan
penting dalam menahan laju abrasi. Meskipun menanam mangrove bukanlah solusi utama
dalam mengatasi krisis iklim, setidaknya ini bisa menjadi langkah awal dalam menahan
abrasi.
Cepat
pulih, Bumi.
No comments:
Post a Comment