Beberapa
waktu lalu, saya baru menyelesaikan membaca buku keduanya Gita Savitri, A Cup
Of Tea. Agak sedikit berbeda dengan buku pertamanya. Jika di Rentang Kisah
lebih banyak menuliskan perjalanan hidupnya hingga ia kuliah di Jerman, di buku
ini selain kelanjutan kehidupannya setelah menyelesaikan S1, juga menceritakan
banyak aspek sisi hidupnya yang lain.
Dari
semua isi ceritanya -dengan pemikiran kritisnya- ada salah satu bagian yang saya
rasa “I can't explain it. I feel, yes it's me”.
“Gue
sering merasa seperti sedang berdiri di lapangan yang luas. Lapangannya kosong nggak
ada apa-apa di sekitarnya. Di lapangan tersebut gue mudah terlihat, nggak punya
tempat untuk bersembunyi ataupun berlindung ketika panas dan hujan atau ketika ada musuh, merasa
telanjang dan dilihat orang-orang. Seperti itu satu-satunya alasan yang bisa
gue pakai, yang kiranya bisa menjelaskan obsesi gue melepaskan diri dari apapun
itu di luar sana. Entah itu manusia ataupun barang. Hal ini semakin parah
ketika gue patah hati. Pengalaman tersebut seperti meyakinkan gue untuk tanpa
ragu membangun dinding setinggi-tingginya di lapangan tempat gue berdiri
sebagai bentuk pertahanan akan kejamnya dunia dan tentunya manusia.
….
Dari sana gue sadar bahwa gue sendiri di lapangan yang sekarang sudah ada dinding yang tinggi yang mengelilingi gue dan di dalam benteng ini hanya boleh ada diri gue sendiri. Bentengnya sempit, gelap, tapi nyaman dan yang jelas, memberikan keamanan.”
Beberapa
waktu lalu, saya merasa berada di titik ini, membangun dinding yang tinggi agar
orang lain tidak bisa melihat diri saya sama sekali. Hanya hitungan jari yang
saya izinkan untuk masuk dalam dinding tersebut. Itu berhasil membuat diri saya
menjadi lebih baik. Tetapi justru, saya jadi nyaman berada di dalamnya, tanpa merasa
‘ditelanjangi’ oleh tatapan dan omongan orang. Mungkin, jurus jitu yang saya
miliki disaat merasa terpuruk adalah menjauh dari orang-orang. Dengan begitu,
saya tetap bisa bertahan hidup.
Tetapi,
setelah beberapa waktu yang cukup lama, dinding tersebut tetap berdiri kokoh di sekitar saya. Pernah
beberapa kali mencoba meruntuhkan salah satu sisi dinding tersebut, tetapi yang
terjadi berikutnya adalah saya justru membangun dinding yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Terkadang saya merasa ‘ini tidak normal’. Tetapi, apalagi yang saya
lakukan selain membuat diri sendiri merasa lebih nyaman? Meski kini dinding
tersebut tidak setinggi dahulu, saya tetap memilih untuk mempertahankannya.
It’s
normal,
K. Meski tidak semua orang melakukannya, 1 atau bahkan 2 orang disekitar mu pasti
pernah melakukannya. Mungkin kamu juga. Iya, kamu pernah terpuruk, kan? Dan
merasa bahwa hanya dirimu yang berhak mengetahuinya. Because not everyone
around you care what happened to you. They just want to know.
….
Dari sana gue sadar bahwa gue sendiri di lapangan yang sekarang sudah ada dinding yang tinggi yang mengelilingi gue dan di dalam benteng ini hanya boleh ada diri gue sendiri. Bentengnya sempit, gelap, tapi nyaman dan yang jelas, memberikan keamanan.”
No comments:
Post a Comment