Dear
December
Apa kabar?
2020,
nano nano. Ada banyak cerita, suka dan duka. Tak perlu dijelaskan lagi, apa
yang terjadi di 2020. Banyak kehidupan yang tiba-tiba harus berubah. Harus bisa
improvisasi jika mau bertahan. Harus lebih kreatif agar bisa bertahan.
Seperti
lagunya Idgitaf:
“Sewaktu ia tiba kau tak akan menduga, bahwa hal indah butuh waktu untuk datang”
Terinspirasi
dari seorang teman yang suka membeli dan membaca buku, pada akhirnya saya
memulai sebuah projek untuk diri sendiri. Yaitu, membeli satu buku setiap
bulan. Jika dulu, kapan ada uang beli buku, atau ketika kebetulan mampir ditoko
buku kemudian ada buku yang menarik maka akan dibeli, sejak 2019 saya
memutuskan untuk WAJIB membeli 1 buku bacaan setiap bulan, terserah genre
apapun. Projek tersebut saya beri nama: 1 Bulan Beli 1 Buku.
Yah,
karena ini dipenghujung 2020, saya mau share sesuatu yang ada di 2019
(gak nyambung ya?). Iya, tahun 2019. Kenapa? “Karena ada banyak hal yang harus
di gapapa-in”, kata Rintik Sedu.
Saya
mau share buku-buku yang pernah saya beli di 2019, yang sebagian saya
baca di 2020. Jadi, sudah taukan alasan saya ngeshare sesuatu di 2019?
Karena buku-buku yang saya beli di 2020 belum selesai di baca semua. Nanti
kalau sudah selesai, akan saya share di 2021 ya. Semoga kita bisa
bertemu lagi.
Ok,
berikut list bukunya.
Januari : Rentang Kisah karya Gita Savitri Devi
Februari : 11:11 (Albuk) karya Fiersa Besari
Maret : Kata karya Rintik Sedu
April : Sepasang Sepatu karya Sapardi Djoko Damono
Mei : Senja & Pagi karya Alffy Rev & Linka Angelia
Juni : Perempuan Teduh karya Haruntsaqif, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson
Juli : Am I There Yet karya Mari Andrew, Tidak Ada New York Hari Ini karya M. Aan Mansyur
Agustus : Tapak Jejak karya Fiersa Besari
September : Hilang karya Nawang Nidlo Titisari
Oktober : Residu karya Bernard Batubara
November : Distilasi Alkena karya Wira Nagara
Desember : Disforia Inersia karya Wira Nagara, Buku Latihan Tidur karya Joko Pinurbo
Well,
ada 15 buku yang dibeli pada tahun 2019. Kalau ada pertanyaan, buku mana yang
paling favorit? Yaa semua buku bisa masuk kategori itu. Kan, semua buku punya
tempatnya masing masing bagi pembaca.
Nah
seperti yang saya tulis sebelumnya, jadi sekarang saya akan share sedikit
tentang cerita, resensi, ataupun kesan dari buku-buku tersebut. Semoga bisa
menemani kamu yang sedang bingung mau menghadapi 2021 dengan buku bacaan apa.
Pertama,
saya akan memulai dari buku perdana yang saya beli di 2019. Sebuah buku karya
Gita Savitri, yang berjudul Rentang Kisah, yang sekarang sudah diangkat ke
layar lebar. Sebenarnya buku ini sudah benyak diperbincangkan oleh teman
sejawat saat kuliah. Tapi waktu itu rasanya belum begitu tertarik dengan
“Rentang Kisah” ini. Namun semenjak menjadi subscriber Youtube Gitasav, saya
mulai tertarik dengan perjalanan hidupnya di Jerman, dan memutuskan untuk
membaca kisahnya dari buku tersebut. Dan waw, ternyata kehidupan seorang
Gita seperti itu. Dari semenjak ia masih tinggal di Indonesia, bagaimana Ibunya
Gita dengan senantiasa mengantar jemput ia sekolah dan les, sifat ambisius yang
pernah dimiliki Gita. Sungguh super sekali. Wajar ia tumbuh menjadi seseorang
yang penuh critical thinking.
Buku
di bulan kedua. Hmm entah tahun keberapa, saya mulai mengoleksi hal hal yang
berkenaan dengan Bung. Mungkin semenjak terpikat dengan bukunya, atau lagunya,
atau bahkan petualangannya. Yang jelas, ini salah satu buku menarik yang cukup
ringan. Ada 11 cerita dan 11 lagu dalam satu buku ini.
Kemudian
ada Kata, dari Rintik Sedu. Setelah menamatkan karya pertama Rintik Sedu, Geez
& Ann, saya kembali melanjutkan menjadi pembaca setia Rintik Sedu. Jujur saja,
dari sebelum Geez & Ann terbit, saya sudah membaca karya tersebut di
Wattpad. Bahkan buku Kata, beberapa episode awal juga saya baca dari Wattpad. Tsana,
pemilik nama Rintik Sedu, adalah seorang gadis yang hebat. Saya percaya, bahwa
dia menulis sesuatu dari yang paling dekat dengan dirinya, yaitu dirinya
sendiri. She ever told about that.
Di
Bulan April, saya memillih “Sepasang Sepatu Tua”. Itu adalah buku terbaru (alm)
Pak Sapardi Djoko Damono di 2019. Sinopsisnya keren dan menggugah selera.
Terutama, salah satu cerita yang berjudul Sepasang Sepatu Tua. Cerita itu
mengisahkan tentang sepasang sepatu tua, yang menemani kehidupan seseorang. Cerita
ini bahkan diangkat dari sudut pandang si sepatu itu sendiri. Bagaimana
sepasang sepatu, kiri dan kanan, yang saling bertengkar, menjelaskan asal
muasal mereka, jika dari kulit sapi, sapi jerman atau prancis. Intinya, ceritanya
unik.
Kemudian
ada Senja & Pagi karya Alffy Rev & Linka Angelia. Semenjak kisah
pertemuan dua sejoli ini viral di tahun 2018, hingga akhirnya mereka memutuskan
untuk menikah, saya cukup tertarik dengan perjalanan keduanya. Ibarat langit
dan bumi, mereka benar-benar berasal dari dua dunia berbeda, yang kemudian
dipertemukan, lalu dipersatukan. Jadi, buku Senja & Pagi menceritakan
perjalanan Alffy (yang bernama asli Awwalur Rizqi Al-firori) dalam bermusik. Saya
jadi tau, bahwa bermodalkan uang yang seharusnya digunakan untuk biaya kuliah,
kemudian Alffy meminta izin ayahnya untuk berhenti kuliah dan menggunakan uang
tersebut membeli launchpad. Sebuah alat musik, yang katanya adalah alat
musik masa depan. Buku tersebut juga menceritakan bagaimana akhirnya Alffy dan
tim nya berusaha tampil di panggung Asian Games. Juga pertemuannya dengan
Linka. Buku ini membuka mata saya lebih lebar, bahwa mimpi-mimpi liar yang
diciptakan oleh Alffy harus punya tanggung jawab untuk diwujudkan. A
millions Dreams!
Perempuan
Teduh. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Ini adalah salah satu buku yang tiba-tiba
random saja saya pilih saat sedang di Gramedia. Intinya, buku ini
menjelaskan bagaimana fitrah seorang perempuan. Seorang perempuan dimata ayah
dan ibunya. Ada sebuah quote yang saya suka dari buku ini. “Kau tahu,
putriku sayang, laki-laki adalah layang-layang dan perempuan adalah benang.
Tanpa perempuan, laki-laki tak akan menjadi apa-apa. Di balik ketinggian
(kesuksesan) laki-laki, ada kita dibaliknya. Putriku, jadilah benang yang
berkualitas terbaik. Buatlah layang-layangmu kelak terbang setinggi-tingginya.
Karena setinggi apa pun dia terbang, dia selalu terikat olehmu dan akan
bergantung denganmu. Jagalah dia agar tidak putus dan hilang arah, ingatlah
bahwa layang-layang selalu ingin terbang tinggi.” – Kurniawan Gunadi.
Ada juga buku sejuta umat. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson.
Lalu
ada Am I There Yet. Nah buku ini sebenarnya sudah sejak beberapa bulan
sebelumnya jadi incaran saya. Tapi baru terealisasi di Juli 2019. Alasan
pertama membeli buku ini karena isinya yang unik. Ada perpaduan antara ilustrasi
dan tulisan. Saya tidak tau jenis ilustrasi apa yang dibuat oleh Mari Andrew, tapi
rasanya cocok saja dengan cerita bukunya. Meskipun ini adalah buku terjemahan,
mengambil latar di New York, dan tidak cocok dengan lingkungan yang saya alami,
secara keseluruhan ada cukup banyak hal positif yang bisa saya ambil. Buku ini
sangat cocok dibaca untuk orang orang yang sedang berumur 20-30 tahun. Karena
buku ini menceritakan pengalaman seseorang dalam menemukan tujuan hidup. Kita
akan diajak melompat dari satu titik ke titik lainnya. Ya intinya tentang cinta,
persahabatan, rumah, karier, sakit hati, dan menemukan diri sendiri.
Selain
Am I There Yet, saya juga membeli buku puisi, Tidak Ada New York Hari Ini karya
M. Aan Mansyur. Entah sejak kapan, tapi yang pasti saya menyukai saat Rangga
alias Nicholas Saputra membacakan puisi. Setelah puisi di film Soe Hoe Gie dan
AADC, saya benar-benar jatuh cinta dengan puisinya Aan Mansyur di film AADC
yang dibawakan oleh Nic. Rasanya puisi tersebut benar-benar hidup. Dengan
paduan foto monokromnya Mo Riza di kota New York, buku Tidak Ada New York Hari
Ini berhasil membuat saya memiliki lebih dari 5 puisi favorit di buku tersebut.
Penggalan puisi yang membuat hari saya berbunga sekaligus teriris adalah bagian
“Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang”.
Lalu
di Bulan Agustus, sebuah buku yang saya nantikan, yaitu Tapak Jejak-nya Fiersa
Besari, sekuel dari Arah Langkah. Pasti bosan ya kalau saya bahas buku ini
lagi? Enggak papa ya, jangan bosan. Lagi dan lagi, ini adalah salah satu buku
yang berhasil membuka mata saya lebih lebar dan juga mengajari saya melihat
dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Sedikit berbeda dengan Arah Langkah,
dimana Bung menjelaskan sejarah ia memulai petualangannya menyusuri Indonesia bersama
dua sahabatnya, di beberapa bab buku ini akan terselip cerita masa kecil Bung.
Tentang orang tuanya, kedua ayahnya, rumah tempat tinggalnya. Ada banyak
kenangan masa kecil yang Bung hidupkan dalam buku ini.
Nah,
dan yang membuat saya berkesan lagi saat menulis ini adalah, cerita di bab
pertamanya dimulai ketika Bung dan Swarandee (salah satu temannya) tiba di
Ternate. Yeah, Ternate. Sambil membuka lembar-lembar buku itu lagi, saya
kembali mengenang beberapa momen. Ada beberapa kesamaan unik yang saya jumpai
di halaman-halaman buku tersebut. Berikut:
“Ini sudah jam sebelas”, katanya. Ia lalu menunjuk sepiring pisang goreng berhiaskan sambal di sebelah kasur kecil tempat aku tidur. Aku mengerutkan kening. Pisang goreng, diberi sambal? Bukan hal yang wajar di kampung halamanku. Ku coba satu. Di luar ekspektasi, rasanya sangat enak!
Serius.
I feel you, Bung. Pisang goreng di beri sambal, memang aneh. Tetapi
ternyata enak! Menurut saya karena itu adalah Pisang Mulu Bebe, pisang khas
yang hanya hidup di Maluku Utara.
Apa kabar?
“Sewaktu ia tiba kau tak akan menduga, bahwa hal indah butuh waktu untuk datang”
Januari : Rentang Kisah karya Gita Savitri Devi
Februari : 11:11 (Albuk) karya Fiersa Besari
Maret : Kata karya Rintik Sedu
April : Sepasang Sepatu karya Sapardi Djoko Damono
Mei : Senja & Pagi karya Alffy Rev & Linka Angelia
Juni : Perempuan Teduh karya Haruntsaqif, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson
Juli : Am I There Yet karya Mari Andrew, Tidak Ada New York Hari Ini karya M. Aan Mansyur
Agustus : Tapak Jejak karya Fiersa Besari
September : Hilang karya Nawang Nidlo Titisari
Oktober : Residu karya Bernard Batubara
November : Distilasi Alkena karya Wira Nagara
Desember : Disforia Inersia karya Wira Nagara, Buku Latihan Tidur karya Joko Pinurbo
Ada juga buku sejuta umat. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson.
“Ini sudah jam sebelas”, katanya. Ia lalu menunjuk sepiring pisang goreng berhiaskan sambal di sebelah kasur kecil tempat aku tidur. Aku mengerutkan kening. Pisang goreng, diberi sambal? Bukan hal yang wajar di kampung halamanku. Ku coba satu. Di luar ekspektasi, rasanya sangat enak!
Pisang Mulu Bebe yang digoreng tipis-tipis kemudian dimakan dengan sambal |
Setiap tulisanku selalu menggunakan analogi istilah ilmiah, terutama kimia. Itu adalah caraku mencintai sekaligus berterima kasih kepada ibuku, seorang guru kimia SMA, yang sering ditanya guru lain di sekolah tempat beliau mengajar kenapa nilai kimia anaknya jelek, padahal ibunya seorang guru kimia.
Distilasi Alkena & Disforia Inersia |
Ketika saya lahir, Tuhan sedang menulis puisi
dan minum kopi dan listrik mendadak mati.
Saat itu Bahasa Indonesia masih sangat muda
Dan pedoman ejaannya belum sempurna.
“Keren juga ini Bahasa”, Tuhan berkata “dapat
membuat negeri yang rumit cantik pada waktunya.”
Kata-kata berdatangan dari berbagai penjuru,
Awalan ber- dan me- bermunculan pula,
dan Tuhan melihat semua itu asyik adanya.
Di depan kata mengarang Tuhan berseru,
“Di atas karang kudirikan puisiku. Di atas karang
Kubakar arang untuk menjerat air kopiku.”
Kemudian gelap. Tuhan meraih kata kopi
dan melemparkannya ke bumi. Listrik menyala.
Hujan kopi berderai lembut di atas rumah saya.
15 buku yang saya beli di 2019, yang menemani perjalanan 2019 dan 2020 saya.
Terima kasih sudah hadir dan membaca penggalan tulisan ini, yang sebenarnya adalah tulisan terpanjang yang saya posting di blog saya selama 2020 ini. Semoga 2020 menjadi tahun yang berarti, tidak hanya untuk saya, tapi juga untuk kamu, untuk kita semua.
PS: Foto ke-15 buku ini akan menyusul. Terima kasih :)
No comments:
Post a Comment