Tuesday, December 29, 2020

It's 2019

Dear December
Apa kabar?
 
2020, nano nano. Ada banyak cerita, suka dan duka. Tak perlu dijelaskan lagi, apa yang terjadi di 2020. Banyak kehidupan yang tiba-tiba harus berubah. Harus bisa improvisasi jika mau bertahan. Harus lebih kreatif agar bisa bertahan.
 
Seperti lagunya Idgitaf:
“Sewaktu ia tiba kau tak akan menduga, bahwa hal indah butuh waktu untuk datang”
 
Terinspirasi dari seorang teman yang suka membeli dan membaca buku, pada akhirnya saya memulai sebuah projek untuk diri sendiri. Yaitu, membeli satu buku setiap bulan. Jika dulu, kapan ada uang beli buku, atau ketika kebetulan mampir ditoko buku kemudian ada buku yang menarik maka akan dibeli, sejak 2019 saya memutuskan untuk WAJIB membeli 1 buku bacaan setiap bulan, terserah genre apapun. Projek tersebut saya beri nama: 1 Bulan Beli 1 Buku.
 
Yah, karena ini dipenghujung 2020, saya mau share sesuatu yang ada di 2019 (gak nyambung ya?). Iya, tahun 2019. Kenapa? “Karena ada banyak hal yang harus di gapapa-in”, kata Rintik Sedu.
 
Saya mau share buku-buku yang pernah saya beli di 2019, yang sebagian saya baca di 2020. Jadi, sudah taukan alasan saya ngeshare sesuatu di 2019? Karena buku-buku yang saya beli di 2020 belum selesai di baca semua. Nanti kalau sudah selesai, akan saya share di 2021 ya. Semoga kita bisa bertemu lagi.
 
Ok, berikut list bukunya.
Januari : Rentang Kisah karya Gita Savitri Devi
Februari : 11:11 (Albuk) karya Fiersa Besari
Maret : Kata karya Rintik Sedu
April : Sepasang Sepatu karya Sapardi Djoko Damono
Mei : Senja & Pagi karya Alffy Rev & Linka Angelia
Juni : Perempuan Teduh karya Haruntsaqif, Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson
Juli : Am I There Yet karya Mari Andrew, Tidak Ada New York Hari Ini karya M. Aan Mansyur
Agustus : Tapak Jejak karya Fiersa Besari
September : Hilang karya Nawang Nidlo Titisari
Oktober : Residu karya Bernard Batubara
November : Distilasi Alkena karya Wira Nagara
Desember : Disforia Inersia karya Wira Nagara, Buku Latihan Tidur karya Joko Pinurbo
 
Well, ada 15 buku yang dibeli pada tahun 2019. Kalau ada pertanyaan, buku mana yang paling favorit? Yaa semua buku bisa masuk kategori itu. Kan, semua buku punya tempatnya masing masing bagi pembaca.
 
Nah seperti yang saya tulis sebelumnya, jadi sekarang saya akan share sedikit tentang cerita, resensi, ataupun kesan dari buku-buku tersebut. Semoga bisa menemani kamu yang sedang bingung mau menghadapi 2021 dengan buku bacaan apa.
 
Pertama, saya akan memulai dari buku perdana yang saya beli di 2019. Sebuah buku karya Gita Savitri, yang berjudul Rentang Kisah, yang sekarang sudah diangkat ke layar lebar. Sebenarnya buku ini sudah benyak diperbincangkan oleh teman sejawat saat kuliah. Tapi waktu itu rasanya belum begitu tertarik dengan “Rentang Kisah” ini. Namun semenjak menjadi subscriber Youtube Gitasav, saya mulai tertarik dengan perjalanan hidupnya di Jerman, dan memutuskan untuk membaca kisahnya dari buku tersebut. Dan waw, ternyata kehidupan seorang Gita seperti itu. Dari semenjak ia masih tinggal di Indonesia, bagaimana Ibunya Gita dengan senantiasa mengantar jemput ia sekolah dan les, sifat ambisius yang pernah dimiliki Gita. Sungguh super sekali. Wajar ia tumbuh menjadi seseorang yang penuh critical thinking.
 
Buku di bulan kedua. Hmm entah tahun keberapa, saya mulai mengoleksi hal hal yang berkenaan dengan Bung. Mungkin semenjak terpikat dengan bukunya, atau lagunya, atau bahkan petualangannya. Yang jelas, ini salah satu buku menarik yang cukup ringan. Ada 11 cerita dan 11 lagu dalam satu buku ini.
 
Kemudian ada Kata, dari Rintik Sedu. Setelah menamatkan karya pertama Rintik Sedu, Geez & Ann, saya kembali melanjutkan menjadi pembaca setia Rintik Sedu. Jujur saja, dari sebelum Geez & Ann terbit, saya sudah membaca karya tersebut di Wattpad. Bahkan buku Kata, beberapa episode awal juga saya baca dari Wattpad. Tsana, pemilik nama Rintik Sedu, adalah seorang gadis yang hebat. Saya percaya, bahwa dia menulis sesuatu dari yang paling dekat dengan dirinya, yaitu dirinya sendiri. She ever told about that.
 
Di Bulan April, saya memillih “Sepasang Sepatu Tua”. Itu adalah buku terbaru (alm) Pak Sapardi Djoko Damono di 2019. Sinopsisnya keren dan menggugah selera. Terutama, salah satu cerita yang berjudul Sepasang Sepatu Tua. Cerita itu mengisahkan tentang sepasang sepatu tua, yang menemani kehidupan seseorang. Cerita ini bahkan diangkat dari sudut pandang si sepatu itu sendiri. Bagaimana sepasang sepatu, kiri dan kanan, yang saling bertengkar, menjelaskan asal muasal mereka, jika dari kulit sapi, sapi jerman atau prancis. Intinya, ceritanya unik.
 
Kemudian ada Senja & Pagi karya Alffy Rev & Linka Angelia. Semenjak kisah pertemuan dua sejoli ini viral di tahun 2018, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah, saya cukup tertarik dengan perjalanan keduanya. Ibarat langit dan bumi, mereka benar-benar berasal dari dua dunia berbeda, yang kemudian dipertemukan, lalu dipersatukan. Jadi, buku Senja & Pagi menceritakan perjalanan Alffy (yang bernama asli Awwalur Rizqi Al-firori) dalam bermusik. Saya jadi tau, bahwa bermodalkan uang yang seharusnya digunakan untuk biaya kuliah, kemudian Alffy meminta izin ayahnya untuk berhenti kuliah dan menggunakan uang tersebut membeli launchpad. Sebuah alat musik, yang katanya adalah alat musik masa depan. Buku tersebut juga menceritakan bagaimana akhirnya Alffy dan tim nya berusaha tampil di panggung Asian Games. Juga pertemuannya dengan Linka. Buku ini membuka mata saya lebih lebar, bahwa mimpi-mimpi liar yang diciptakan oleh Alffy harus punya tanggung jawab untuk diwujudkan. A millions Dreams!
 
Perempuan Teduh. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Ini adalah salah satu buku yang tiba-tiba random saja saya pilih saat sedang di Gramedia. Intinya, buku ini menjelaskan bagaimana fitrah seorang perempuan. Seorang perempuan dimata ayah dan ibunya. Ada sebuah quote yang saya suka dari buku ini. “Kau tahu, putriku sayang, laki-laki adalah layang-layang dan perempuan adalah benang. Tanpa perempuan, laki-laki tak akan menjadi apa-apa. Di balik ketinggian (kesuksesan) laki-laki, ada kita dibaliknya. Putriku, jadilah benang yang berkualitas terbaik. Buatlah layang-layangmu kelak terbang setinggi-tingginya. Karena setinggi apa pun dia terbang, dia selalu terikat olehmu dan akan bergantung denganmu. Jagalah dia agar tidak putus dan hilang arah, ingatlah bahwa layang-layang selalu ingin terbang tinggi.” – Kurniawan Gunadi.
Ada juga buku sejuta umat. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson.
 
Lalu ada Am I There Yet. Nah buku ini sebenarnya sudah sejak beberapa bulan sebelumnya jadi incaran saya. Tapi baru terealisasi di Juli 2019. Alasan pertama membeli buku ini karena isinya yang unik. Ada perpaduan antara ilustrasi dan tulisan. Saya tidak tau jenis ilustrasi apa yang dibuat oleh Mari Andrew, tapi rasanya cocok saja dengan cerita bukunya. Meskipun ini adalah buku terjemahan, mengambil latar di New York, dan tidak cocok dengan lingkungan yang saya alami, secara keseluruhan ada cukup banyak hal positif yang bisa saya ambil. Buku ini sangat cocok dibaca untuk orang orang yang sedang berumur 20-30 tahun. Karena buku ini menceritakan pengalaman seseorang dalam menemukan tujuan hidup. Kita akan diajak melompat dari satu titik ke titik lainnya. Ya intinya tentang cinta, persahabatan, rumah, karier, sakit hati, dan menemukan diri sendiri.
 
Selain Am I There Yet, saya juga membeli buku puisi, Tidak Ada New York Hari Ini karya M. Aan Mansyur. Entah sejak kapan, tapi yang pasti saya menyukai saat Rangga alias Nicholas Saputra membacakan puisi. Setelah puisi di film Soe Hoe Gie dan AADC, saya benar-benar jatuh cinta dengan puisinya Aan Mansyur di film AADC yang dibawakan oleh Nic. Rasanya puisi tersebut benar-benar hidup. Dengan paduan foto monokromnya Mo Riza di kota New York, buku Tidak Ada New York Hari Ini berhasil membuat saya memiliki lebih dari 5 puisi favorit di buku tersebut. Penggalan puisi yang membuat hari saya berbunga sekaligus teriris adalah bagian “Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang”.
 
Lalu di Bulan Agustus, sebuah buku yang saya nantikan, yaitu Tapak Jejak-nya Fiersa Besari, sekuel dari Arah Langkah. Pasti bosan ya kalau saya bahas buku ini lagi? Enggak papa ya, jangan bosan. Lagi dan lagi, ini adalah salah satu buku yang berhasil membuka mata saya lebih lebar dan juga mengajari saya melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Sedikit berbeda dengan Arah Langkah, dimana Bung menjelaskan sejarah ia memulai petualangannya menyusuri Indonesia bersama dua sahabatnya, di beberapa bab buku ini akan terselip cerita masa kecil Bung. Tentang orang tuanya, kedua ayahnya, rumah tempat tinggalnya. Ada banyak kenangan masa kecil yang Bung hidupkan dalam buku ini.
 
Nah, dan yang membuat saya berkesan lagi saat menulis ini adalah, cerita di bab pertamanya dimulai ketika Bung dan Swarandee (salah satu temannya) tiba di Ternate. Yeah, Ternate. Sambil membuka lembar-lembar buku itu lagi, saya kembali mengenang beberapa momen. Ada beberapa kesamaan unik yang saya jumpai di halaman-halaman buku tersebut. Berikut:
“Ini sudah jam sebelas”, katanya. Ia lalu menunjuk sepiring pisang goreng berhiaskan sambal di sebelah kasur kecil tempat aku tidur. Aku mengerutkan kening. Pisang goreng, diberi sambal? Bukan hal yang wajar di kampung halamanku. Ku coba satu. Di luar ekspektasi, rasanya sangat enak!
 
Serius. I feel you, Bung. Pisang goreng di beri sambal, memang aneh. Tetapi ternyata enak! Menurut saya karena itu adalah Pisang Mulu Bebe, pisang khas yang hanya hidup di Maluku Utara.
Pisang Mulu Bebe yang digoreng tipis-tipis kemudian dimakan dengan sambal

Next, ada Buku Hilang karya Nawang Nidlo Titisari, buku dengan cover full hitam kecuali judulnya. Buku ini saya beli karena waktu itu, beranda twitter saya sedang heboh dengan buku yang satu ini. Penasaran, beli deh. Ini bukan buku cerita atau kisah seperti di novel pada umumnya. Buku ini adalah sekumpulan pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Penggalan-penggalan isi hati dan kepala yang ingin diabadikan.
 
Di Bulan Oktober, saya memutuskan membaca buku puisinya Bernard Batubara dalam buku yang berjudul Residu. Rasanya, asik saja. Residu, sisa, ampas. Puisi dalam buku ini tidak jauh dari pembahasan soal cinta. Sebab, Residu adalah semua yang tersisa dari cinta.
 
Nah di November saya memutuskan untuk mengenal lebih dekat dengan karyanya Wira Nagara dibuku Distilasi Alkena. Selama ini saya hanya menikmati puisi puisinya dari kanal youtube. Salah satu favorit saya diyoutubenya adalah puisi yang berjudul “Kopi, Lukisan, Kenangan” dan “Pesanku”. Karena dibawakan dengan bentuk Musikalisasi Puisi, puisi-puisinya terasa jadi lebih hidup. Yang membuat menarik dari buku ini adalah, seperti judulnya, “Distilasi Alkena”, semua bab diberikan judul dengan nama kimia. Jadi, disetiap bab berakhir, akan ada penjelasan makna kimia tersebut. Salah satu pembukaan yang ditulis Wira dalam buku ini:
Setiap tulisanku selalu menggunakan analogi istilah ilmiah, terutama kimia. Itu adalah caraku mencintai sekaligus berterima kasih kepada ibuku, seorang guru kimia SMA, yang sering ditanya guru lain di sekolah tempat beliau mengajar kenapa nilai kimia anaknya jelek, padahal ibunya seorang guru kimia.
 
Jadi, menurut saya buku ini bukan hanya sekedar kata, tapi penuh makna -melalui bahasa ilmiah. Salah satu quote yang saya sukai dibuku ini adalah “Berjalanlah, ambil sisa tawamu yang tertinggal di masa lalu. Semua orang berhak Bahagia, termasuk kamu.”
 
Ternyata, Distilasi Alkena tidak sendiri. Di Desember saya membeli kembarannya, Disforia Inersia. Kenapa saya sebut kembarannya? Karena kedua buku ini punya cover yang bisa disambung. Paham? Jika kamu punya kedua buku ini, sejejerkan saja bukunya. Sebelah kanan, ada setengah ilustrasi wajah dari Distilasi Alkena, dan sebelah kiri ada setengah ilustrasi wajah dari Disforia Inersia. Konsepnya sama, akan ada judul judul dengan bahasa ilmiah yang menghiasi buku ini. Disforia Inersia adalah buku pelengkap kesedihan dari Distilasi Alkena. Begitulah.
Distilasi Alkena & Disforia Inersia

Terakhir ada Buku Latihan Tidur karya Joko Pinurbo (Jokpin). Mungkin di sinilah saya mulai jatuh cinta dengan karya Jokpin, karena salah satu puisi di dalam buku ini mampu menghipnotis saya. Penyair yang satu ini memang punya warnanya sendiri. Ia sungguh piawai dalam membolak balikkan hati pembaca. Yah, namanya juga penyair legendaris Indonesia. Menariknya, hampir semua objek buku puisinya adalah benda benda. Seperti celana, kamar, sarung, dsb.  “Dongeng Puisi” adalah salah satu puisi di Buku Latihan Tidur yang berhasil menghipnotis saya, yaitu:
Ketika saya lahir, Tuhan sedang menulis puisi
dan minum kopi dan listrik mendadak mati.
Saat itu Bahasa Indonesia masih sangat muda
Dan pedoman ejaannya belum sempurna.
“Keren juga ini Bahasa”, Tuhan berkata “dapat
membuat negeri yang rumit cantik pada waktunya.”
Kata-kata berdatangan dari berbagai penjuru,
Awalan ber- dan me- bermunculan pula,
dan Tuhan melihat semua itu asyik adanya.
Di depan kata mengarang Tuhan berseru,
“Di atas karang kudirikan puisiku. Di atas karang
Kubakar arang untuk menjerat air kopiku.”
Kemudian gelap. Tuhan meraih kata kopi
dan melemparkannya ke bumi. Listrik menyala.
Hujan kopi berderai lembut di atas rumah saya.
 
That’s all.
15 buku yang saya beli di 2019, yang menemani perjalanan 2019 dan 2020 saya.
Terima kasih sudah hadir dan membaca penggalan tulisan ini, yang sebenarnya adalah tulisan terpanjang yang saya posting di blog saya selama 2020 ini. Semoga 2020 menjadi tahun yang berarti, tidak hanya untuk saya, tapi juga untuk kamu, untuk kita semua.


PS: Foto ke-15 buku ini akan menyusul. Terima kasih :) 

No comments:

Post a Comment