Wednesday, October 28, 2020

We Never Know

Ada 1 lagu yang sering menemani saya 2 minggu belakangan ini. Sebuah lagu rekomendasi dari seorang teman, yaitu Tatiana Manaois - Like You. 

'Cause you are strong, you are wise
You are worth beyond the thousand reasons why
And you can't be perfect, baby
'Cause nobody's perfect, darling
But, no, no, no, there's nobody in the world like you.


It’s about dream.
Bosan gak sih, ngomongin mimpi, tulisin mimpi, ceritain mimpi? Saya sih enggak. Berdasarkan pepatah diluar sana, ada banyak hal yang menjadi tolak ukur tentang mimpi. Bahwa, kamu bisa memilih kembali tidur untuk melanjutkan mimpi, atau bangun untuk mewujudkan mimpi. Tapi, kamu juga harus paham, bahwa mimpi terkadang lebih indah dari kenyataan. Dan lagi, beberapa mimpi memang harus tetap menjadi bunga tidur, bukan untuk diwujudkan, melainkan hanya sebagai penghias malam.

Jadi, sekarang tergantung pilihan dan sudut pandang masing-masing. Bagi saya, dua-duanya indah. Kembali tidur untuk melanjutkan mimpi-mimpi yang mustahil, dan bangun untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang memungkinkan. Tapi pertanyaannya adalah, dari mana kita tau bahwa mimpi yang ini mustahil, yang itu tidak? Dari mana kita bisa menerka, bahwa mimpi ini sebaiknya dilanjutkan dalam tidur, sedangkan mimpi yang itu diwujudkan saat terbangun?!

Di awal Oktober, saya mencari cari sebuah twit yang pernah saya tulis beberapa bulan lalu. Saya scroll profil twitter saya, dan akhirnya menemukan sebuah thread yang pernah saya tulis di sana, tanggal 5 Agustus 2020. Saya memulai sebuah intro dengan pengenalan salah satu buku yang sudah saya baca. One of my favorite books. Fiersa Besari, Tapak Jejak, sekuel dari Arah Langkah. Saya menyebutnya sebagai sebuah buku perjalanan menemukan diri sendiri.

Di Arah Langkah, kita akan dibawa oleh si penulis, Bung (Fiersa Besari), bagaimana awal mula ia memulai perjalanan menyusuri Indonesia bersama 2 temannya, yaitu Baduy dan Prem. Alih-alih berkelana, ternyata ini salah satu cara mengobati hati. Bung menjual semua isi studio musiknya, lalu memutuskan untuk berkelana bersama mereka di tahun 2013.

Nah, di Tapak Jejak, karena satu dan lain hal, kedua teman Bung mengakhiri niat awal mereka untuk mencapai bagian timur Indonesia. Mereka pulang dan tinggalah Bung seorang diri yang tetap keukeuh untuk melanjutkan perjalanan. Kita akan diajak untuk merasakan suka duka yang Bung alami dalam perjalanannya mencapai titik paling timur Indonesia.

How much I love this book. Karena pada akhirnya buku ini (Arah Langkah dan Tapak Jejak), membuat saya mengerti, mana mimpi yang harus diwujudkan saat terbangun.

Check my thread in twitter:

Terima Kasih, K.

Momen itu saya tulis setelah kepala saya menyetujuinya. Satu momen yang sampai sekarang masih terekam dikepala saya. Dimana satu pertanyaan itu terus menghantui, sebelum saya menemukan jawaban yang tepat. Saya memutuskan untuk berani membagi mimpi yang selama ini hanya ada di dalam kepala dan hati saya. And it works.

Ternate, Maluku Utara, salah satu bagian di Indonesia Timur, yang tidak pernah saya bayangkan akan menjadi titik awal mimpi-mimpi ini bermuara. Sebuah tempat, yang mengawali saya menggandeng mimpi, melangkah bersama dan tak lupa untuk terus berucap syukur. Ternate. Terima kasih, untuk kesempatan ini. Terus berdoa dan berusaha, K. Sebab Tuhan lebih tau, mimpi mana yang lebih dulu harus digenggam, diajak berjalan bersama.

Pemandangan Pulau Ternate dari laut

Pulau Hiri dari Pantai Jikomalamo

Pemandangan di Pantai Jikomalamo

Danau Tolire dan Puncak Gunung Gamalama

Pemandangan Pulau Maitara dan Pulau Tidore dari Danau Ngade

No comments:

Post a Comment