Thursday, July 16, 2020

Se-mauku


Aku ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku…
-Sal Priadi

Satu dua minggu belakangan ini, lagu Sal Priadi (Sal Priadi Live at Shoebox Sessions| Shoebox#39) menemani saya, dan mengobati perasaan kecil saya. Tidak terluka. Tetapi, rasanya perlu diobati saja.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, sebaiknya dengar dulu 3 lagu Sal Priadi ini, supaya apa? Tidak apa-apa. Biar ada sedikit kesamaan perasaan kita, ketika saya menulis ini dan saat kamu membacanya. Tapi, jika kamu sedang bahagia, jangan. Jangan dengarkan lagu itu, jangan lanjutkan membaca tulisan ini. Bukan ancaman, hanya peringatan.

Sudah dengar?

Bagaimana perasaan mu sekarang?

Pertama kali mendengar itu, hati saya kacau. Ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dada. Ada emosi kecil yang semakin membuncah tak tertahan, melompat dari ujung kepala hingga ujung kuku. Gelisah. Perasaan menggebu-gebu, semakin liar di dalam sana. Entah dengan kata apa lagi yang harus saya deskripsikan untuk membuatmu paham. Membuatmu merasa perlu memberi anggukan kecil saat membaca ini. Sudah se-irama-kah perasaan kita sekarang?

Sal Priadi membawakan 3 lagu tersebut dengan penuh penghayatan. “Rasa”nya tersampaikan, hingga membuat mata saya berkaca-kaca. Gerakan matanya, penghayatan bibirnya, tangannya, bahkan ruangan studionya sangat mendukung. Bait-bait awal yang dimulai tanpa musik, di sanalah pertama kali emosi saya hidup, terombang ambing sejak awal lagu.

Puncaknya, saat mata Sal menatap kamera, tepat:
“Aku ingin jadi jantungmu
dan berhenti semauku
Agar kau tahu
Rasanya hampir mati
Ditikam patah hati”
-Sal Priadi, Di Ubud

Lagu kedua, berjudul “Ikat Aku di Tulang Belikatmu”.
Intro awal lagu ini langsung mengingatkan saya pada salah satu scene AADC 2, di Jogja, saat Rangga dan Cinta pergi ke sebuah seni pertunjukan teater boneka. Ingat? Pertunjukan "Papermoon", sebuah kelompok seni milik sepasang suami istri, Ria dan Iwan Effendi. Karya yang ditampilkan dalam scene itu berjudul “Secangkir Kopi dari Playa”, diadaptasi dari kisah nyata sepasang kekasih yang harus terpisah oleh konflik politik pada 1965.

Perasaan dalam diri saya semakin berkecamuk saja rasanya, entah kearah mana. Gemuruh gemuruh kecil masih meledak dalam diri saya.
“Tentang bagaimana ku temukan
Rasi bintang di matamu
Agar aku tau kemana
Aku harus pulang”

Terakhir, Melebur Semesta.

Saat menulis ini, saya masih terus mengulang lagu Sal.
Saat denting-denting piano mulai memenuhi telinga saya, yang saya lakukan justru mengambil nafas dalam-dalam, menahannya sesaat, menahan semua keresahan, mengumpulkan semua beban, benar-benar menahannya sesaat, hingga saya siap melepaskannya, semuanya.

Lagu Sal mengajari saya satu hal, bahwa perasaan perlu dinikmati sesaat, untuk dilepaskan kemudian hari, ketika kita siap mengobati sesuatu yang (keliatan) tidak terluka.

No comments:

Post a Comment