Aku
ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku…
-Sal
Priadi
Satu
dua minggu belakangan ini, lagu Sal Priadi (Sal Priadi Live at Shoebox Sessions| Shoebox#39) menemani saya, dan mengobati perasaan kecil saya. Tidak terluka. Tetapi,
rasanya perlu diobati saja.
Sebelum
melanjutkan tulisan ini, sebaiknya dengar dulu 3 lagu Sal Priadi ini, supaya
apa? Tidak apa-apa. Biar ada sedikit kesamaan perasaan kita, ketika saya
menulis ini dan saat kamu membacanya. Tapi, jika kamu sedang bahagia, jangan.
Jangan dengarkan lagu itu, jangan lanjutkan membaca tulisan ini. Bukan ancaman,
hanya peringatan.
Sudah
dengar?
Bagaimana
perasaan mu sekarang?
Pertama
kali mendengar itu, hati saya kacau. Ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dada.
Ada emosi kecil yang semakin membuncah tak tertahan, melompat dari ujung kepala
hingga ujung kuku. Gelisah. Perasaan menggebu-gebu, semakin liar di dalam sana.
Entah dengan kata apa lagi yang harus saya deskripsikan untuk membuatmu paham.
Membuatmu merasa perlu memberi anggukan kecil saat membaca ini. Sudah se-irama-kah
perasaan kita sekarang?
Sal
Priadi membawakan 3 lagu tersebut dengan penuh penghayatan. “Rasa”nya tersampaikan,
hingga membuat mata saya berkaca-kaca. Gerakan matanya,
penghayatan bibirnya, tangannya, bahkan ruangan studionya sangat mendukung.
Bait-bait awal yang dimulai tanpa musik, di sanalah pertama kali emosi saya hidup,
terombang ambing sejak awal lagu.
Puncaknya,
saat mata Sal menatap kamera, tepat:
“Aku ingin jadi jantungmu
dan berhenti semauku
Agar kau tahu
Rasanya hampir mati
Ditikam patah hati”
-Sal Priadi, Di Ubud
-Sal Priadi, Di Ubud
Lagu
kedua, berjudul “Ikat Aku di Tulang Belikatmu”.
Intro
awal lagu ini langsung mengingatkan saya pada salah satu scene AADC 2, di
Jogja, saat Rangga dan Cinta pergi ke sebuah seni pertunjukan teater boneka. Ingat?
Pertunjukan "Papermoon", sebuah kelompok seni milik sepasang suami
istri, Ria dan Iwan Effendi. Karya yang ditampilkan dalam scene itu berjudul
“Secangkir Kopi dari Playa”, diadaptasi dari kisah nyata sepasang kekasih yang
harus terpisah oleh konflik politik pada 1965.
Perasaan
dalam diri saya semakin berkecamuk saja rasanya, entah kearah mana. Gemuruh
gemuruh kecil masih meledak dalam diri saya.
“Tentang bagaimana ku temukan
Rasi bintang di matamu
Agar aku tau kemana
Aku harus pulang”
Terakhir,
Melebur Semesta.
Saat
menulis ini, saya masih terus mengulang lagu Sal.
Saat
denting-denting piano mulai memenuhi telinga saya, yang saya lakukan justru
mengambil nafas dalam-dalam, menahannya sesaat, menahan semua keresahan, mengumpulkan
semua beban, benar-benar menahannya sesaat, hingga saya siap melepaskannya,
semuanya.
Lagu
Sal mengajari saya satu hal, bahwa perasaan perlu dinikmati sesaat, untuk
dilepaskan kemudian hari, ketika kita siap mengobati sesuatu yang (keliatan) tidak terluka.
No comments:
Post a Comment