Wednesday, April 29, 2020

Still (Alive)


Pernah enggak kamu berada di satu posisi, di mana kamu harus siap mengambil sebuah keputusan, ketika di sana ada begitu banyak pilihan dan kamu cuma bisa memilih satu yang terbaik atau bahkan tidak ada pilihan sama sekali, hanya itu saja?

Saya rasa, menjadi dewasa, seperti itu.

“Kamu tau? Waktu aku masih kecil, aku ingin sekali jadi orang dewasa. Tapi kini, jadi orang dewasa adalah hal paling menakutkan. Seram sekali memikirkan tentang proses menjadi tua. Ya, tapi itukan hidup. Proses. Perubahan. Perjalanan. Seperti perasaan aku sekarang. Yang sempat dilahirkan kembali, tapi harus dimatikan oleh kekecewaan yang berat. Harus dimatikan lagi. Tunggu tunggu. Agak cepat rasanya bila harus menceritakan endingnya…” – Rintik Sedu

Terlalu cepat.
Tapi seakan tumbuh dewasa memang terasa begitu cepat. Seperti terasa baru kemarin boleh menangis sesuka hati, boleh makan es krim se-ceremotan apapun, boleh minta ini minta itu sesuka hati lantas merengek jika tidak berhasil. Rasanya baru kemarin boleh menangis sebesar apapun ketika terjatuh, tapi kini, jatuh bukan lagi sesuatu yang perlu ditangisi.

Menjadi dewasa itu rumit. Beranjak dewasa, seakan tidak punya pilihan lain, hanya ada ‘menjadi dewasa’. Pilihan, untuk kembali menjadi anak-anak, tetap menjadi remaja, hanyalah pilihan pilihan imajinasi.

Bahkan setelah tumbuh dewasa, pilihan pilihan rumit terus membuntuti kehidupan.

Saya jadi teringat, salah satu, apa ya sebutan untuk dia? Hmm, Pemusik? Penulis? Pengelana? Sudah tau dong, siapa kan? Yup, Fiersa Besari. Saya jadi teringat, bahwa tidak semua orang siap untuk menjadi terkenal. Menjadi seorang entertainer, diliput kehidupan pribadinya oleh media, dan keresahan keresahan lainnya. Tapi, ada 1 hal yang saya saluti dari pribadi Bung (panggilan Fiersa Besari). Ia tidak perlu mengubah dirinya seperti orang lain (ketika sudah terkenal seperti saat ini) atau kebanyakan entertainer diluar sana. Ia sangat bangga dengan dirinya apa adanya. Ia bebas berekspresi semau dirinya di social media. Di hujat, pernah. Punya haters, banyak. But, he chose the best choice for his life. Dia senang memilih untuk menjadi Kang Cilok (sebutan lainnya) yang apa adanya.

Dan saya jadi mikir, ada beberapa pilihan dan keterpaksaan yang datang ketika kita dewasa. Sayangnya, ketika kita belum benar-benar cukup dewasa, kita akan salah memilih. Justru sebaliknya, pikiran dewasa bisa menuntun kita pada pilihan terbaik, meskipun beresiko (semua pilihan selalu punya resiko). Atau bahkan, kita perlu salah memilih terlebih dahulu, untuk membuat kita menjadi dewasa pada akhirnya?!

Jadi, sebenarnya dewasa itu pilihan atau tuntutan?

Note:
Saya jadi teringat chat seorang teman beberapa waktu lalu.
“Ntar juga biasa” tulisnya.
Apa iya, dewasa akan menjadi ‘biasa’?

No comments:

Post a Comment