Pernah
enggak kamu berada di satu posisi, di mana kamu harus siap mengambil sebuah
keputusan, ketika di sana ada begitu banyak pilihan dan kamu cuma bisa memilih
satu yang terbaik atau bahkan tidak ada pilihan sama sekali, hanya itu saja?
Saya
rasa, menjadi dewasa, seperti itu.
“Kamu
tau? Waktu aku masih kecil, aku ingin sekali jadi orang dewasa. Tapi kini, jadi
orang dewasa adalah hal paling menakutkan. Seram sekali memikirkan tentang
proses menjadi tua. Ya, tapi itukan hidup. Proses. Perubahan. Perjalanan.
Seperti perasaan aku sekarang. Yang sempat dilahirkan kembali, tapi harus
dimatikan oleh kekecewaan yang berat. Harus dimatikan lagi. Tunggu tunggu. Agak
cepat rasanya bila harus menceritakan endingnya…” – Rintik Sedu
Terlalu
cepat.
Tapi
seakan tumbuh dewasa memang terasa begitu cepat. Seperti terasa baru kemarin
boleh menangis sesuka hati, boleh makan es krim se-ceremotan apapun, boleh
minta ini minta itu sesuka hati lantas merengek jika tidak berhasil. Rasanya
baru kemarin boleh menangis sebesar apapun ketika terjatuh, tapi kini, jatuh
bukan lagi sesuatu yang perlu ditangisi.
Menjadi
dewasa itu rumit. Beranjak dewasa, seakan tidak punya pilihan
lain, hanya ada ‘menjadi dewasa’. Pilihan, untuk kembali menjadi anak-anak, tetap
menjadi remaja, hanyalah pilihan pilihan imajinasi.
Bahkan
setelah tumbuh dewasa, pilihan pilihan rumit terus membuntuti kehidupan.
Saya
jadi teringat, salah satu, apa ya sebutan untuk dia? Hmm, Pemusik? Penulis?
Pengelana? Sudah tau dong, siapa kan? Yup, Fiersa Besari. Saya jadi teringat, bahwa
tidak semua orang siap untuk menjadi terkenal. Menjadi seorang entertainer,
diliput kehidupan pribadinya oleh media, dan keresahan keresahan lainnya. Tapi,
ada 1 hal yang saya saluti dari pribadi Bung (panggilan Fiersa Besari). Ia tidak
perlu mengubah dirinya seperti orang lain (ketika sudah terkenal seperti saat
ini) atau kebanyakan entertainer diluar sana. Ia sangat bangga dengan
dirinya apa adanya. Ia bebas berekspresi semau dirinya di social media. Di
hujat, pernah. Punya haters, banyak. But, he chose the best choice for his life.
Dia senang memilih untuk menjadi Kang Cilok (sebutan lainnya) yang apa adanya.
Dan
saya jadi mikir, ada beberapa pilihan dan keterpaksaan yang datang ketika kita
dewasa. Sayangnya, ketika kita belum benar-benar cukup dewasa, kita akan salah
memilih. Justru sebaliknya, pikiran dewasa bisa menuntun kita pada pilihan
terbaik, meskipun beresiko (semua pilihan selalu punya resiko). Atau bahkan,
kita perlu salah memilih terlebih dahulu, untuk membuat kita menjadi dewasa pada
akhirnya?!
Jadi,
sebenarnya dewasa itu pilihan atau tuntutan?
Note:
Saya
jadi teringat chat seorang teman beberapa waktu lalu.
“Ntar
juga biasa”
tulisnya.
Apa
iya, dewasa akan menjadi ‘biasa’?
No comments:
Post a Comment