Listening Fiersa Besari – Samar
“Lupakah kau cara
tersenyum
Apa sayapmu patah
Jika begitu tak
mengapa
Izinkan ku
memapah
Berhentilah
memaki
Semua yang telah
dicuri
Buka sedikit hati
Agar kau tau kau
tidak sendiri”
Kenapa saya mengawali tulisan kali
ini dengan lagu Samar? Karena lagunya seperti bait-bait puisi, yang ingin
pulang ke rumah. Bait-bait puisi yang seakan butuh tempat pulang.
Di awal November, saya sedang senang
- senangnya mendengar lagu Bung Fiersa yang terbaru, judulnya “Pelukku untuk
Pelikmu”. Jujur, kata pelik membuat saya membuka kamus online dan mencari arti
kata pelik. Bukan saya jarang dengar kata pelik, memang tidak pernah. Tapi,
tenang saja, saya tidak akan membahas arti kata pelik di tulisan kali ini.
Pelukku untuk Pelikmu hanyalah sebuah intro acak, yang sengaja saya tulis untuk
membuat mu bingung dan berpikir, “K, kamu nulis apaan, sih.”
Wkwkwkwkwk…
Sudah.
Enggak perlu diterusin kalau kamu
merasa dirugikan. Kita manusia memang gitu, tau nya cuma kebahagiaan diri
sendiri.
Seseorang pernah cerita sama saya
tentang hubungannya dengan teman-temannya. Dulu, beberapa tahun lalu, mereka
berteman. Kemana-mana pergi bareng, ngerjain tugas kampus bareng, makan siang
bareng, dan semuanya. Namanya juga hidup. Ada yang bilang kita enggak selamanya
berada di roda atas, akan ada masanya kita berada di roda bawah. Atau ada yang
bilang, hidup kayak roda, terus bergelinding, terus maju. Sebut saja, seseorang
yang cerita ke saya ini Namanya A. Suatu waktu, hidup A jatuh dari lantai
kesekian, ketimpa tangga, ketimpa reruntuhan, ketimpa masalah yang
bertubi-tubi. Lucunya, dengan masalah yang sedang A hadapi, teman-temannya
justru menjauh. Bukan pergi perlahan, mereka justru pergi dengan cepat dan
tiba-tiba. Dari sana A mulai menyadari bahwa lingkaran pertemanan mereka salah.
Mereka hanya akan ada ketika A berada di puncak gedung tertinggi, di atas sana.
Dari sana, A banyak belajar hal baru.
Dan tentu saja banyak hal yang mengubah pribadi A menjadi orang lain. A
percaya, bahwa Ia tidak perlu percaya pada teman.
Kalau saya jadi A, saya bingung, mau
nyalahin siapa atas semua kejadian ini. Mau nyalahin teman-teman yang enggak
setia, tapi gimana? Bukannya salah diri sendiri ya? Karena memilih lingkar
pertemanan yang mau bareng – bareng ketika senang saja. Tapi kan, di awal
ketemu mereka enggak tau kalau sifatnya gitu. Salah mereka dong, manis di awal.
Tapi ya salah diri sendiri juga sih, enggak teliti milih teman. Seharusnya tau,
teman kalau enggak baik, ya jahat.
Tuh kan, manusia memang gitu. Tau
nya mencari kesalahan. Siapapun. Ujung-ujungnya, enggak tau mau nyalahin siapa
ya nyalahin diri sendiri. Miris.
Beberapa hari lalu, sebuah video
dari Analisa Channel muncul di beranda youtube saya. Judulnya Berdamai dengan Diri
Sendiri. Padahal, waktu itu saya sudah ngantuk dan ingin segera tidur. Tapi,
judul dari postingan video tersebut seakan memanggil dan berteriak keras di
telinga saya, menyuruh saya untuk menontonnya. Ok, baik, saya turuti.
Ngomon-ngomong tentang Analisa
Channel, saya enggak tau kenapa youtube ngerekomendasiin video itu.
Seakan-akan, youtube tau bahwa saya sedang membutuhkan jalan terang dan titik
balik dari sesuatu yang tengah saya alami. Analisa Channel adalah sebuah
channel dari seorang psikiater, yang isinya banyak membahas tentang psikologi.
Oh iya, saya belum bilang, bahwa setelah malam itu, saya jadi ketagihan
menonton beberapa videonya.
Jadi, di MengAnalisa - Berdamaidengan Diri Sendiri, saya jadi belajar tentang lingkar pertemanan.
Dari video tersebut saya jadi tau, bahwa
ternyata ada ilmu tentang: Dinamika Psikologis, Pertemanan level yang berbeda. Contohnya,
saat SMP ada pertemanan seperti kepompong, saat SMA seperti AADC, dan saat
kuliah mulai individualis, meskipun tetap ada yang akrab sekali. Tetapi itu
semua akan berubah ketika dunia kita mulai berbeda. Saat kita mulai memasuki
dunia pada tahap yang baru, seperti mulai bekerja, mulai menikah, atau bahkan mulai
punya anak. Tingkat pertemanan itu akan berubah. Dan itu akan selalu terjadi
pada manusia.
Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, kita harus menganalisis dan
merefleksi, apa yang kira kira salah? No, bukan maksudnya untuk mencari
kesalahan, dia atau saya yang salah. Tetapi kita harus tau, bahwa dalam hidup
ini ada lingkaran-lingkaran yang terjadi dengan sendirinya, dan ada pula lingkaran
– lingkaran yang bisa kita atur.
Paham?
Begini.
Pernah dengar gak;
“Kita enggak bisa memaksakan semua
orang suka sama kita. Kita juga enggak bisa membuat semua orang bahagia sama
kita.”
Kenapa?
Karena dalam hidup, kita punya
beberapa lingkaran. Misalnya:
Lingkaran pertama; keluarga, orang
tua, anak, saudara, sahabat.
Lingkaran kedua; teman kuliah/SMA,
teman kerja
Lingkaran ketiga; dll
Tentu saja, lingkaran setiap orang
bisa berbeda-beda.
Nah, kita punya kewajiban untuk
membahagiakan orang – orang yang kita letakkan di lingkaran pertama ini.
Kenapa? Karena mereka juga membahagiakan kita. Jelaskan!
Kalau ada pertemanan yang tidak bisa
membuat kita bahagia dan membuat dia bahagia dengan kita, yasudah, letakkan
pertemanan itu di lingkaran kedua. Yang salah apa? Ketika kita tetap memaksakan
diri untuk meletakkan pertemanan itu di lingkaran pertama. Ini jadi tugas buat
diri kita masing-masing. Kita harus bisa menganalisis dan merefleksikan,
kira-kira siapa yang kita letakkan di lingkaran pertama, kedua, dan ketiga. Bisa
jadi, kita tidak perlu memaksakan teman kita untuk berada di lingkaran pertama
pertemanan hidup kita. Letakkan saja di lingkaran kedua, atau bahkan lingkaran
ketiga.
“Teman baik itu
akan datang dengan sendirinya, kita tidak perlu memaksa untuk berbuat baik
kepada mereka.” – Analisa
Thank You Mba
Analisa, sudah menghadirkan video ini. Saya jadi belajar sesuatu, tentang
lingkaran orang-orang dalam hidup kita. Yang paling penting adalah, kita harus
berbuat baik terlebih dahulu kepada diri sendiri, baru kemudian baik kepada
orang lain. Kemudian, tentukan lingkaran orang-orang dalam hidup kita.
Berusaha, Oke. Memaksakan, jangan!
No comments:
Post a Comment