“Bagiku, ingatan adalah mesin waktu.
Menyapa, mengais lupa, menemukan kita yang pernah kecewa di satu masa.” – Wira
Nagara
Kalau pada akhirnya, semua orang di
dunia ini punya perilaku dan sifat yang sama, saya akan memilih untuk tinggal
di planet lain. Planet yang memiliki varian karakter lebih besar. Mencari
tempat yang lebih nyaman. Tapi, kalau pada akhirnya semua tempat terlalu nyaman
untuk ditinggali, apalagi arti rumah? Harapan kosong yang kehilangan nyawa?
Sudah sarapan?
Sudah mengisi energi untuk
menghadapi hari-hari yang semakin rumit? Sudah merelakan sesuatu yang tak perlu
dipertahankan?
“K, gimana kabarnya?”
“Kabar aku? Lagi krisis kepercayaan
diri.”
“Tenang, masih ada aku dan mereka
yang percaya padamu.”
Kalau kita sering lupa untuk menaruh
kepercayaan pada diri sendiri, siapa yang harus membuat kita percaya kembali?
Saat menulis ini, saya sedang scrolling Instagram dan menemukan sebuah caption yang cukup berarti. “Kalo lagi
dihadapin sama hal buruk, anggap aja itu cuma mimpi. Bunga kehidupan yang emang
dikasih semesta biar lo gak serba terlalu terhadap apa pun. Gapapa. Slow down.
Lo kan punya rem tangan, lo yang pegang kendali, mau ke mana aja terserah tapi
pastiin petanya itu dari kata hati lo sendiri. Kalo manusia diciptain untuk ada
dan gak ada, printilan dunia juga kayak gitu. Gak boleh berat sebelah, sedih
dan bahagia, mudah dan susah, porsinya harus sama. Semangat rasanya terlalu
klise, lo lebih tau harus apa daripada isi kepala yang lain.” -ntsana
3 minggu lalu, saya dan teman teman
komunitas mengisi sebuah kegiatan, self-confidence, yaitu training
kepercayaan diri yang dilakukan di beberapa sekolah SMA sederajat. Mulai dari
membangun ingatan masa kecil, membangun mimpi-mimpi, belajar mengenal diri,
hingga melihat hal hal positif pada diri sendiri. Lucunya, saya tanpa beban
mengisi kegiatan tersebut, seolah kepercayaan diri sudah di atas rata-rata.
Beberapa hari setelah hari itu,
sesuatu yang keras mengetuk kepala saya, menyadarkan saya bahwa ternyata saya
yang sedang butuh mendapatkan kepercayaan diri tersebut. Seperti chat saya
dengan seorang teman beberapa waktu lalu, sedang krisis kepercayaan diri,
saya akui.
Entah sejak kapan, tetapi saya rasa
krisis kepercayaan diri sudah setahun lamanya hidup dalam diri saya. Saya
jarang nge-lead sebuah kegiatan atau acara. Padahal dulu, jaman kuliah
mau enggak mau, saya cukup sering ditunjuk, baik itu dengan senang hati atau
dengan sedikit rasa terpaksa.
“Udah, K aja. Enggak ada orang lain.
K paling cocok ngurus urusan beginian.”
“Jangan aku, K aja. Aku lagi sibuk
blabla, enggak kepegang.”
“K aja ya. Enggak susah kok, cuma
blablabla doang.”
Bahkan kalimat kalimat itu tidak
pernah membunuh saya untuk berdiri didepan, mengambil beberapa resiko,
menghadapi sesuatu yang itu itu aja, atau bahkan menghadapi hal-hal baru. Meski
ragu, beberapa teman selalu memberi support dan menaruh kepercayaan yang besar
kepada saya.
Kalau kepercayaan diri saya bisa
diukur dengan angka dan dibuatkan kurva, pasti saat ini sedang berada di nilai
bawah, atau bahkan minus. Miris sekali.
Saya jadi bertanya tanya, apa sih
penyebabnya? Padahal saya masih saja dicap sebagai “orang sibuk”. Tetapi
rutinitas tanggung jawab saya seperti dulu berkurang. Mungkin karena faktor
“waktu” yang saya miliki lebih banyak dihabiskan untuk satu hal. Akibatnya saya
jadi jarang terlibat dalam mengambil keputusan-keputusan besar. Saya selalu
sadar diri, saya tidak punya banyak waktu untuk me-manage sesuatu yang
besar. Akhirnya hidup saya hanya berakhir pada menunggu perintah dan perintah,
tanpa punya andil apa apa untuk sebuah perubahan besar.
Dan ini, bukan diri saya.
Karena saya sadar, saya mulai mengalami krisis
kepercayaan diri, maka sebelum 2019 ini berakhir, saya membuat sebuah keputusan
yang besar dalam hidup saya. Sebuah keputusan, yang ekspektasinya mampu
memberikan warna baru di tahun 2020 nanti.
Oya, tiba-tiba lagu Fiersa Besari
yang berjudul Hidupkan Baik Baik Saja, terlalu cocok menemani saya menulis ini.
“Kita memang bukan pasangan
sempurna. Bukankah Tuhan mengirim mu untuk melengkapiku. Aku tidak perlu punya
segalanya. Selama kau ada disini hidupkan baik baik saja.”
Meaning
dari ‘pasangan sempurna’, ‘mu’, ‘kau’, adalah diri kita sendiri.
Saya.
Paham?
Ah, enggak perlulah saya jelaskan.
Coba pahami saja. Anggap saja, bahwa hidup akan baik baik saja selama kita dan
diri kita selalu mampu berbicara, memahami isi kepala dan hati bersamaan. Dan
itu yang sedang saya lakukan selama 2 minggu ini.
Ngomong-ngomomg tentang warna baru
di 2020, dan juga tidak terlepas dari kepercayaan diri, saya sedang
mempersiapkan sebuah tanggung jawab dan
juga amanah yang akan saya laksanakan 2020 nanti. Tidak muluk-muluk memang. Tetapi,
semoga saya kembali menemukan kepercayaan diri. Dan, terimakasih, kepada yang
telah ‘memaksa’ saya untuk mengambil tanggung jawab ini.
“Hal-hal baru, seharusnya selalu
jadi titik balik hidup kita. Begitupun kenangan, dan rasa sakit. Entah itu
berhasil mengubah kita atau tidak, tetapi kita harus percaya, hidup akan baik
baik saja selama kita ada di sini, pada diri kita sendiri.” – K
No comments:
Post a Comment