Sunday, October 13, 2019

Ego, let it go!

"Ketika kesetiaan menjadi barang mahal. Ketika kata maaf terlalu sulit untuk diucap. Ego siapa yang sedang kita beri makan?" – Fiersa Besari

Ego akan hadir ketika diri kita merasa tersinggung, baik di atas kebenaran atau malah sebaliknya. Ego, akan selalu merasa dirinya benar. Selalu merasa dirinya di atas segalanya. Padahal, dihadapan dunia, ego begitu lemah. Ia bisa kalah dengan sekali hempasan.

Akhirnya saya memutuskan untuk menulis cerita ini. Alasannya?
Baca saja.

So, lets start here.

Beberapa bulan lalu, saya dan beberapa teman melakukan sebuah perjalanan. Nah, bicara perjalanan, saya tipikal mabuk perjalanan di gunung. Kacau kan. Tapi, bukan masalah mabuk atau tidaknya tulisan kali ini, apalagi tips menghadapi mabuk perjalanan. Haha serius, bukan tentang itu.

Diperjalanan pulang, setelah mengantar salah satu teman di rumahnya, saya pindah duduk dari barisan kursi tengah ke kursi depan, di sebelah R (sebut saja begitu) yang membawa mobil. Perjalanan hingga sampai ke kota, membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 5 jam lagi. Saat itu jarum  jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Setelah berganti duduk paling depan, saya mulai dilanda rasa kantuk. Usai makan malam tadi saya memang langsung minum antimo. Sebelum benar-benar terlelap, saya sempat mengobrol sebentar dengan R, tetapi tidak lama. Benar-benar hanya sebentar, rasanya saya langsung tertidur. Dipertengahan jalan, mobil sempat berhenti sebentar di SPBU, beberapa orang turun ke kamar mandi, termasuk saya. Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan. Suasana di dalam mobil hening. Kenapa?

Alasan pertama, karena saya yang duduk di samping R -yang tengah mengendarai mobil- mulai mengantuk dan akan segera tidur. Selain itu, karena saya yang duduk di depan, teman-teman yang duduk dibarisan kursi tengah dan belakang sedikit sulit untuk membuka obrolan Panjang dengan R. Jadinya, sepanjang perjalanan menuju kota untuk pulang terasa sunyi dan sepi.

Saya yang saat itu sudah berada di alam mimpi, tentu saja tidak menyadari hal ini. Saat itu, yang ada dibenak saya hanyalah “harus tidur dan tidak boleh mabuk”. Jadi, tidur sepanjang perjalanan menjadi solusi terbaik yang saya lakukan.

Bagaimana dengan R, yang membawa mobil sepanjang perjalanan dimalam hari?

Keesokan harinya saya bertemu dengan seorang teman yang ikut dalam perjalanan (sebut saja Namanya A). Ia duduk di kursi barisan belakang malam itu. Singkat cerita, kami membahas tentang perjalanan kembali ke kota malam kemarin. Dari situ, saya menyesali sebuah keputusan, pindah duduk dari barisan kursi tengah ke depan. WHY?

Dari A saya tau, bahwa malam itu suasana mobil benar-benar hening dan sunyi. Entah berapa banyak R membunuh rasa kantuknya selama menyetir. Menyetir tanpa kawan mengobrol, tanpa diajak ngobrol juga. Padahal seharusnya kawan ngobrol dibutuhkan untuk perjalanan melelahkan seperti ini, yang hampir seharian terus menyetir mobil. Mendengar cerita A membuat hati saya patah, membuat saya menjadi orang buruk, karena egois. Tentu saja, saya ego, mementingkan diri sendiri, mengkhawatirkan rasa mabuk yang akan terjadi pada saya bila saya tidak tidur. Imbasnya? Tentu saja pada R, yang lelah menyetir sepanjang malam, membunuh rasa kantuk, merasa sepi tanpa kawan ngobrol.

Bagaimana tidak? Seharusnya, orang yang duduk di depan, di samping yang membawa mobil punya peran penting. Ia siap menemani dan menjadi kawan ngobrolnya. Seharusnya begitu. Tetapi yang terjadi adalah, saya justru melakukan hal sebaliknya. Rasanya ini benar-benar menjadi pelajaran buat saya.

Beberapa minggu lalu, saya kembali melakukan sebuah perjalanan ke beberapa kota. Rasanya, ini adalah perjalanan jauh dadakan pertama saya. Kami berangkat senin siang. Lagi, kekhawatiran rasa mabuk selalu menghantuin setiap perjalanan saya saat melewati gunung. Kali ini, saya memutuskan untuk tidak minum antimo (karena suatu hal). Setelah melewati gunung dengan spesial jalan kelok-keloknya, akhirnya pertahanan diri saya lumpuh. Rasa mabuk benar-benar menguasai diri, saya hanya bisa menelan kepahitan rasa mabuk ini. Berharap, ini semua bisa segera berakhir.

Nah, perjalanan kali ini berjumlah 4 orang. Saya bersama dengan seorang teman wanita, dan 2 orang laki-laki. Sebut saja salah satu namanya T. Saya baru saja bertemu dan berkenalan dengannya. Singkat cerita, kami punya beberapa teman yang sama. Hal itu membuat saya menjadi lebih akrab dengannya. T tipikal yang banyak bicara. Beda dengan saya lebih menutup diri pada orang-orang baru. Namun dengan T, saya merasa seperti teman lama yang kembali bertemu. Dalam perjalanan kali ini, T dan 1 lelaki lagi bergantian mengendarai mobil. Sedangkan saya seperti biasa, mencoba duduk tenang, mencoba menghilangkan rasa resah akan mabuk perjalanan dsb.

Seseorang pernah berkata;
‘Jika ingin mengenal seseorang lebih dalam, lakukanlah perjalanan bersamanya, minimal 2 hari. Kau akan tau tentang dirinya.’

Bicara tentang T, kami banyak bertukar cerita selama perjalanan. Saya jadi lebih banyak tau tentangnya. Padahal baru kemarin saya dan T saling berkenalan. Ia banyak bercerita tentang kehidupannya di jogja. Selama kuliah di jogja, ia bekerja sebagai Tour Guide. Jadi, semua jalan dan daerah di Jogja sudah seperti makanan sehari-harinya. Tak heran, ia mudah akrab dengan orang baru dan lingkungan baru. Hingga kami tiba di satu topik yang tidak pernah selesai, bahkan hingga akhir perjalanan.

“T, katanya makanan di jogja murah-murah ya. Nasi pake ayam harganya 5 ribu” ucap saya.

Saya hanya mengawali percakapan dengan 1 kalimat tersebut. Tetapi penjelasan yang ia berikan bisa sampai ke kota tetangga. Dari sana saya jadi tau, bahwa setelah 2 tahun hidup di jogja, akhirnya Ia pindah ke Jakarta karena alasan tertentu.

Lantas, saya jadi teringat perjalanan beberapa bulan lalu. Sebuah ego, sebuah kesalahan. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Ketika T merasa ngantuk dalam perjalanan (saat 1 laki-laki lagi yang menyetir) saya memulai percakapan baru dengan T, alasannya agar T tidak tidur dan bisa menjadi teman ngobrol yang mengendarai mobil disebelahnya.

“Jadi, kalau nasi pake ayam 5ribu. Pake ikan berapaan, T?”
Kemudian 1 mobil (yang hanya berisi 4 orang) pecah tertawa, kecuali saya.

Dengan antusias T kembali bangkit dari rasa kantuk yang mulai menghampirinya. Saya tertawa kecil di kursi belakang. Mendengar kalimat demi kalimat penjelas yang ia utarakan.

“Terus terus, kalau pake telor sama juga?”

See, sebenarnya menjadi tidak ego semudah ini. Kita hanya perlu mencari topik-topik sederhana, tapi harus diimbangi rasa pengorbanan, nah ini mungkin yang menjadi bagian tersulitnya.

Di malam kedua, usai memesan makan malam, kami kembali melanjutkan beberapa cerita.

Setelah hening sekitar beberapa menit dan sibuk dengan HP masing-masing, saya kembali membuka obrolan tidak kreatif yang sederhana tapi bermakna.

“Kalau nasi 5 ribu, pakai udang, ada enggak?” sedetik kemudian saya tertawa jahil.
T diam sejenak. Mungkin dalam hatinya sudah menggerutu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dari saya. Hahaha. Tapi, saya yakin, T bukan tipikal yang seperti itu.

Bukan T Namanya kalau ia tidak menjabarkan jawaban tersebut dalam bentuk paragraf.
Jujur saja ni, jika saya yang menerima pertanyaan tidak kreatif seperti itu, saya akan menjawab.
“Ya sama aja. Namanya juga nasi kucing, 5 ribu bisa dapat dengan lauk apa aja.”

Dari sekedar pertanyaan nasi kucing pake udang, cerita berlanjut hingga T menceritakan masa lalunya. Nah, ini selalu jadi bagian paling menarik buat saya. Karena, masa lalu setiap orang selalu menjadi inspirasi dalam hidup saya. Bagaimana jatuh bangun yang dihadapi, kesulitan serta cara mengatasinya.

Rabu sore, perjalanan pulang pun dimulai.
Seperti biasa, melewati gunung. Kali ini giliran T yang mengendarai mobil, karena yang 1 lagi ingin istirahat dan tak berapa lama kemudian tertidur pulas. Teman wanita yang duduk di samping saja juga sama, katanya kepalanya mulai pening. Ia ingin memejamkan mata. Saya? Sama, pening. Ditambah perjalanan mulai memasuki area pegunungan untuk jangka waktu yang lama.
2 manusia sudah tertidur dalam perjalanan ini. Tinggalah T dan saya. Saya kembali teringat dengan janji pada diri sendiri. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
“T, ngantuk? Butuh teman ngobrol?” tanya saya dari kursi belakang.
“Boleh.” Ucapnya.
“Jadi selama kuliah di Jogja, pernah ikut organisasi atau komunitas apa saja?”

Hampir 1 jam, kami larut dalam beberapa cerita. T bercerita. Saya bercerita. T kembali bercerita, Saya kembali bercerita dan seterusnya. Jujur saja, dalam cerita-cerita tersebut, sebenarnya saya sedang bertarung keras melawan rasa pening dan mabuk yang mulai melanda tubuh saya. Tetapi, saya tetap keukeuh untuk menemaninya.

And you know what?
Di pemberhentian selanjutnya, saya benar-benar mabuk dan begitulah…

Jadi, disetiap perjalanan akan selalu ada hal baru yang kita terima. Entah itu berhasil mengubah cara pandang kita atau tidak, perjalanan selalu memiliki ‘rasa’ baru yang seharusnya membuat kita lebih menghargai sesuatu.

Ego, let it go!

No comments:

Post a Comment