"Ketika kesetiaan
menjadi barang mahal. Ketika kata maaf terlalu sulit untuk diucap. Ego siapa
yang sedang kita beri makan?" – Fiersa Besari
Ego akan hadir ketika diri kita merasa
tersinggung, baik di atas kebenaran atau malah sebaliknya. Ego, akan selalu
merasa dirinya benar. Selalu merasa dirinya di atas segalanya. Padahal, dihadapan
dunia, ego begitu lemah. Ia bisa kalah dengan sekali hempasan.
Akhirnya saya memutuskan untuk menulis cerita
ini. Alasannya?
Baca saja.
So, lets start here.
Beberapa bulan lalu, saya dan beberapa teman
melakukan sebuah perjalanan. Nah, bicara perjalanan, saya tipikal mabuk
perjalanan di gunung. Kacau kan. Tapi, bukan masalah mabuk atau tidaknya
tulisan kali ini, apalagi tips menghadapi mabuk perjalanan. Haha serius, bukan tentang
itu.
Diperjalanan pulang, setelah mengantar salah
satu teman di rumahnya, saya pindah duduk dari barisan kursi tengah ke kursi
depan, di sebelah R (sebut saja begitu) yang membawa mobil. Perjalanan hingga
sampai ke kota, membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 5 jam lagi. Saat itu
jarum jam sudah menunjukkan pukul 9
malam. Setelah berganti duduk paling depan, saya mulai dilanda rasa kantuk.
Usai makan malam tadi saya memang langsung minum antimo. Sebelum benar-benar
terlelap, saya sempat mengobrol sebentar dengan R, tetapi tidak lama.
Benar-benar hanya sebentar, rasanya saya langsung tertidur. Dipertengahan
jalan, mobil sempat berhenti sebentar di SPBU, beberapa orang turun ke kamar
mandi, termasuk saya. Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan. Suasana di dalam
mobil hening. Kenapa?
Alasan pertama, karena saya yang duduk di
samping R -yang tengah mengendarai mobil- mulai mengantuk dan akan segera
tidur. Selain itu, karena saya yang duduk di depan, teman-teman yang duduk
dibarisan kursi tengah dan belakang sedikit sulit untuk membuka obrolan Panjang
dengan R. Jadinya, sepanjang perjalanan menuju kota untuk pulang terasa sunyi
dan sepi.
Saya yang saat itu sudah berada di alam mimpi,
tentu saja tidak menyadari hal ini. Saat itu, yang ada dibenak saya hanyalah
“harus tidur dan tidak boleh mabuk”. Jadi, tidur sepanjang perjalanan menjadi
solusi terbaik yang saya lakukan.
Bagaimana dengan R, yang membawa mobil
sepanjang perjalanan dimalam hari?
Keesokan harinya saya bertemu dengan seorang
teman yang ikut dalam perjalanan (sebut saja Namanya A). Ia duduk di kursi
barisan belakang malam itu. Singkat cerita, kami membahas tentang perjalanan
kembali ke kota malam kemarin. Dari situ, saya menyesali sebuah keputusan,
pindah duduk dari barisan kursi tengah ke depan. WHY?
Dari A saya tau, bahwa malam itu suasana mobil
benar-benar hening dan sunyi. Entah berapa banyak R membunuh rasa kantuknya
selama menyetir. Menyetir tanpa kawan mengobrol, tanpa diajak ngobrol juga.
Padahal seharusnya kawan ngobrol dibutuhkan untuk perjalanan melelahkan seperti
ini, yang hampir seharian terus menyetir mobil. Mendengar cerita A membuat hati
saya patah, membuat saya menjadi orang buruk, karena egois. Tentu saja, saya
ego, mementingkan diri sendiri, mengkhawatirkan rasa mabuk yang akan terjadi
pada saya bila saya tidak tidur. Imbasnya? Tentu saja pada R, yang lelah
menyetir sepanjang malam, membunuh rasa kantuk, merasa sepi tanpa kawan ngobrol.
Bagaimana tidak? Seharusnya, orang yang duduk
di depan, di samping yang membawa mobil punya peran penting. Ia siap menemani
dan menjadi kawan ngobrolnya. Seharusnya begitu. Tetapi yang terjadi adalah,
saya justru melakukan hal sebaliknya. Rasanya ini benar-benar menjadi pelajaran
buat saya.
Beberapa minggu lalu, saya kembali melakukan sebuah
perjalanan ke beberapa kota. Rasanya, ini adalah perjalanan jauh dadakan
pertama saya. Kami berangkat senin siang. Lagi, kekhawatiran rasa mabuk selalu
menghantuin setiap perjalanan saya saat melewati gunung. Kali ini, saya
memutuskan untuk tidak minum antimo (karena suatu hal). Setelah melewati gunung
dengan spesial jalan kelok-keloknya, akhirnya pertahanan diri saya lumpuh. Rasa
mabuk benar-benar menguasai diri, saya hanya bisa menelan kepahitan rasa mabuk
ini. Berharap, ini semua bisa segera berakhir.
Nah, perjalanan kali ini berjumlah 4 orang.
Saya bersama dengan seorang teman wanita, dan 2 orang laki-laki. Sebut saja salah
satu namanya T. Saya baru saja bertemu dan berkenalan dengannya. Singkat
cerita, kami punya beberapa teman yang sama. Hal itu membuat saya menjadi lebih
akrab dengannya. T tipikal yang banyak bicara. Beda dengan saya lebih menutup
diri pada orang-orang baru. Namun dengan T, saya merasa seperti teman lama yang
kembali bertemu. Dalam perjalanan kali ini, T dan 1 lelaki lagi bergantian
mengendarai mobil. Sedangkan saya seperti biasa, mencoba duduk tenang, mencoba
menghilangkan rasa resah akan mabuk perjalanan dsb.
Seseorang pernah berkata;
‘Jika ingin mengenal seseorang lebih
dalam, lakukanlah perjalanan bersamanya, minimal 2 hari. Kau akan tau tentang
dirinya.’
Bicara tentang T, kami banyak bertukar cerita
selama perjalanan. Saya jadi lebih banyak tau tentangnya. Padahal baru kemarin
saya dan T saling berkenalan. Ia banyak bercerita tentang kehidupannya di
jogja. Selama kuliah di jogja, ia bekerja sebagai Tour Guide. Jadi,
semua jalan dan daerah di Jogja sudah seperti makanan sehari-harinya. Tak
heran, ia mudah akrab dengan orang baru dan lingkungan baru. Hingga kami tiba
di satu topik yang tidak pernah selesai, bahkan hingga akhir perjalanan.
“T, katanya makanan di jogja
murah-murah ya. Nasi pake ayam harganya 5 ribu” ucap saya.
Saya hanya mengawali percakapan dengan 1
kalimat tersebut. Tetapi penjelasan yang ia berikan bisa sampai ke kota
tetangga. Dari sana saya jadi tau, bahwa setelah 2 tahun hidup di jogja,
akhirnya Ia pindah ke Jakarta karena alasan tertentu.
Lantas, saya jadi teringat perjalanan beberapa
bulan lalu. Sebuah ego, sebuah kesalahan. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan
yang sama.
Ketika T merasa ngantuk dalam perjalanan (saat
1 laki-laki lagi yang menyetir) saya memulai percakapan baru dengan T,
alasannya agar T tidak tidur dan bisa menjadi teman ngobrol yang mengendarai
mobil disebelahnya.
“Jadi, kalau nasi pake ayam 5ribu.
Pake ikan berapaan, T?”
Kemudian 1 mobil (yang hanya berisi 4 orang)
pecah tertawa, kecuali saya.
Dengan antusias T kembali bangkit dari rasa
kantuk yang mulai menghampirinya. Saya tertawa kecil di kursi belakang.
Mendengar kalimat demi kalimat penjelas yang ia utarakan.
“Terus terus, kalau pake telor sama
juga?”
See, sebenarnya menjadi tidak ego semudah ini. Kita hanya perlu
mencari topik-topik sederhana, tapi harus diimbangi rasa pengorbanan, nah ini
mungkin yang menjadi bagian tersulitnya.
Di malam kedua, usai memesan makan malam, kami
kembali melanjutkan beberapa cerita.
Setelah hening sekitar beberapa menit dan sibuk
dengan HP masing-masing, saya kembali membuka obrolan tidak kreatif yang
sederhana tapi bermakna.
“Kalau nasi 5 ribu, pakai udang, ada
enggak?” sedetik kemudian saya tertawa
jahil.
T diam sejenak. Mungkin dalam hatinya sudah menggerutu
dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dari saya. Hahaha. Tapi, saya yakin, T bukan
tipikal yang seperti itu.
Bukan T Namanya kalau ia tidak menjabarkan
jawaban tersebut dalam bentuk paragraf.
Jujur saja ni, jika saya yang menerima
pertanyaan tidak kreatif seperti itu, saya akan menjawab.
“Ya sama aja. Namanya juga nasi
kucing, 5 ribu bisa dapat dengan lauk apa aja.”
Dari sekedar pertanyaan nasi kucing pake udang,
cerita berlanjut hingga T menceritakan masa lalunya. Nah, ini selalu jadi
bagian paling menarik buat saya. Karena, masa lalu setiap orang selalu menjadi
inspirasi dalam hidup saya. Bagaimana jatuh bangun yang dihadapi, kesulitan
serta cara mengatasinya.
Rabu sore, perjalanan pulang pun dimulai.
Seperti biasa, melewati gunung. Kali ini
giliran T yang mengendarai mobil, karena yang 1 lagi ingin istirahat dan tak berapa
lama kemudian tertidur pulas. Teman wanita yang duduk di samping saja juga
sama, katanya kepalanya mulai pening. Ia ingin memejamkan mata. Saya? Sama,
pening. Ditambah perjalanan mulai memasuki area pegunungan untuk jangka waktu
yang lama.
2 manusia sudah tertidur dalam perjalanan ini. Tinggalah
T dan saya. Saya kembali teringat dengan janji pada diri sendiri. Saya tidak
ingin mengulangi kesalahan yang sama.
“T, ngantuk? Butuh teman ngobrol?” tanya saya dari kursi belakang.
“Boleh.” Ucapnya.
“Jadi selama kuliah di Jogja, pernah
ikut organisasi atau komunitas apa saja?”
Hampir 1 jam, kami larut dalam beberapa cerita.
T bercerita. Saya bercerita. T kembali bercerita, Saya kembali bercerita dan
seterusnya. Jujur saja, dalam cerita-cerita tersebut, sebenarnya saya sedang
bertarung keras melawan rasa pening dan mabuk yang mulai melanda tubuh saya.
Tetapi, saya tetap keukeuh untuk menemaninya.
And you know what?
Di pemberhentian selanjutnya, saya benar-benar
mabuk dan begitulah…
Jadi, disetiap perjalanan akan selalu ada hal
baru yang kita terima. Entah itu berhasil mengubah cara pandang kita atau
tidak, perjalanan selalu memiliki ‘rasa’ baru yang seharusnya membuat kita
lebih menghargai sesuatu.
Ego, let it go!
No comments:
Post a Comment