Sunday, September 1, 2019

Sunshine Becomes You


Halo September. Apa kabar?
Bisakah kau lihat tanda tanya itu? Bagaimana maknanya?

Malam ini, tulisan saya ditemani sebuah lagu yang menyayat hati.
Isyana Sarasvati - Untuk Hati Yang Terluka

Untuk hati yang terluka
Tenanglah, kau tak sendiri
Untuk jiwa yang teriris, tenang
Ku kan temani

Hidup itu sandiwara
Yang nyata ternyata delusi
Terlarut posesi berujung
Kau gila sendiri

Jika kau tak dapatkan
Yang kau impikan bukan berarti
Kau telah usai

Biarkan kegelapanmu
Menemukan titik terang baru
Basuhkan muka kembali
Memelukmu yang baru

Agustus mu, bagaimana?
Teman saya kehilangan ayah di Agustusnya. Teman saya lainnya, kehilangan Ibu di Agustusnya. Teman lainnya lagi, mengalami kecelakaan dan cidera yang cukup parah di Agustusnya.

September ini, saya punya kabar yang cukup buruk, untuk diri saya, untuk seseorang yang memberi pengaruh besar dalam hidup saya.
September ini, saya punya beberapa PR untuk diri sendiri. Punya beberapa tugas tersirat untuk hidup saya sendiri. Bahkan saya punya andil yang besar untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar saya.

Sejujurnya, saya bingung harus memulai tulisan ini dari mana. Jika kau ingin tau, sekarang saya sedang mendengar lagunya Agnes Monica - Things Will Get Better. Dan, saya benar-benar berharap demikian.

.
.
.
Saya berhenti menulis sejenak, dan saya memutuskan untuk memutar lagu Rara Sekar - Growing Up.
.
.
Growing up
How are we supposed to give, to take, collate
Growing up
How are we supposed to love, to breath, to be

Saya punya 1 orang dosen favorit. Entahlah, apakah predikat “Favorit” cukup untuk saya berikan padanya. Beberapa hari ini, media heboh dengan kasus yang tengah menimpanya, grub-grub WA aktif memberikan update seputar hal tersebut. Hashtag-hashtag mulai memenuhi IG story dan beberapa postingan. Mengingat krologis ini dari beberapa bulan lalu, hati saya pilu. Benar-benar pilu.

Oya, kalau kau ingin tau apa yang sedang terjadi pada nya, kau tidak akan menemukannya di tulisan ini. Karena saya tidak akan menyinggung itu sama sekali. Justru sebaliknya. Saya akan menunjukkan dunia yang saya miliki bersama dosen favorit ini. Jika kau merasa tulisan ini aneh, menepilah. Tutup. Tak perlu dilanjutkan.

2013
Itu tahun pertama saya mengenalnya. Tak perlu menunggu waktu 1 semester, saya dan Bapak sudah saling terkoneksi. Saya menyukai caranya mengajar, caranya memotivasi, bahkan caranya menunjukkan hal-hal baru. Dan Bapak, cukup sering menunjuk saya untuk beberapa hal. Intinya, benar-benar connected to each other, mulai sepaham dan sekepala.

2014
Meskipun baik dan penuh perhatian, Bapak terkenal sedikit pelit dengan nilai. Maksudnya, Bapak bukan tipikal dosen yang dengan mudah memberi nilai di atas 85 alias A kepada mahasiswanya. Dan entah mengapa, di mata kuliah itu (mata kuliah pilihan), saya satu-satunya mahasiswa yang mendapat nilai A. Alhamdulillah, saya bisa menunjukkan bahwa saya mampu.

2015
Sejujurnya, saya dan teman-teman seleting adalah angkatan pertama di program studi ini. Jadi, bisa dikatakan bahwa kami memiliki banyak duka dalam bidang akademik, mengingat tanpa sesosok kakak letingpun untuk tempat berkeluh kesah dan bertanya. Tetapi, Bapak selalu menjadi alasan kami untuk tidak pernah menyerah, selalu memberi harapan dan energi-energi baru. Bapak tidak pernah lelah memotivasi, memberi kami suapan demi suapan yang seharusnya tidak lagi kami terima di usia seperti ini. Rasanya, kami seperti anak kandungnya yang harus dibesarkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Bagian puncak terbaik di tahun ini adalah ketika kami mulai membangun Himpunan. PERDANA. Sudah bisa ditebak dong siapa yang paling gencar dan memotivasi kami untuk segera membuat Himpunan? Tentu saja, Ia, Dosen Favorit saya.

2016
Bagian paling menarik adalah ketika kami berhasil membangun Himpunan. Meski jatuh bangun, sakit dan tersakiti, kepada Bapaklah kami selalu berlari, mengadu. Benar-benar selayak anak yang baru saja belajar naik sepeda, terjatuh, kemudian berlari menghampiri Bapaknya. And, we did it.
Tahun ini, saya mengalami sebuah patah hati luar biasa. Hari hari saya terasa kelabu. Dan kau tau? Bapak rutin bertanya kabar saya, mungkin melihat perubahan aneh yang terjadi pada diri saya. Menurutnya, saya sedang galau. Lucu ya. Saya galaupun, Bapak bisa tau. Padahal saya tidak pernah bercerita. Akhir tahun, saya diajak ikut sebuah projek penelitian ke Ipoh, Perak, sebagai asisten dari asistennya Bapak. Rasanya ini benar-benar awal titik balik dari semua rasa galau yang saya alami. Diberi kesempatan luar biasa yang unforgettable. Dari sana, pelan-pelan saya mulai menemukan jati diri. Mulai fokus pada beberapa pencapaian yang seharusnya bisa saya kembangkan dari dulu. Karena, tanpa saya sadari, Bapak telah hadir dan menanamkan benih kepercayaan diri pada saya. Saya yang dulunya, hanya sekedar ikut-ikutan tanpa saya benar-benar tau apa yang tengah saya ikuti, apa yang tengah saya hadapi, perlahan mulai memahami bahwa everyone is special, saya spesial dan saya berbeda. Saya selalu punya kesempatan untuk bisa jadi diri sendiri. Bapak selalu berkata, bahwa kami semua harus jauh lebih hebat dari nya.

2017
Saya sadar. Menjadi lebih hebat dari seorang dosen hebat, tidaklah mudah. Jangankah lebih hebat, untuk setara dengannya saja, pasti begitu sulit. Tahun ini, perlahan saya mulai sadar bahwa definisi ‘lebih hebat’ yang Bapak maksud bukan semata kami (anak didiknya) harus bisa lebih jago analisis data darinya, punya lebih banyak koneksi darinya, dapat beasiswa kuliah yang lebih keren darinya, bisa kuliah di universitas terhebat di dunia. BUKAN. Bukan itu! Saya sadar, saya tidak akan pernah bisa mencapai itu semua. Tapi, adalah bagaimana saya bisa mencintai apa pilihan hidup saya. Menjadi hebat dipilihan hidup saya sendiri.
Dan, salah satu hal luar biasa yang saya alami ditahun ini adalah masa-masa akhir kuliah. Kegalauan mulai tumbuh dan merajalela di setiap centi kehidupan saya. Depresi kian hari kian bertambah. Nama dan wajah saya rasanya sudah terkenal hingga seantero dunia dengan sebutan “galau”. Tiap bertemu Bapak, ada 1 pertanyaan yang tidak pernah lupa ia tanyakan. “Masih galau?”.
Suatu hari, saya dibawa oleh seorang teman bertemu Bapak. Kami duduk di ruang pustaka kecil. Dihadapannya, saya menceritakan semua kepahitan yang sedang saya rasakan. Dan rasanya tak sampai 5 menit bercerita, saya sudah menumpahkan air mata. Meski terisak, saya terus melanjutkan cerita. Nasihat demi nasihat yang Bapak berikan memenuhi rongga kepala saya. Memutar kilas balik kejadian-kejadian yang ada. Menimang-nimang pilihan dan resiko kedepan yang akan saya ambil. Jujur, ada rasa lega setelah itu. Dan saya benar-benar bisa menentukan pilihan.

2018
Saya mulai fokus pada definisi “lebih hebat” yang berhasil saya pahami. Nasihat Bapak, tidak akan pernah saya lupakan. Semua kebaikan Bapak, serta waktu yang telah Bapak luangkan akan selalu saya kenang.

31 Agustus 2019
“Bapak. Semoga semua masalah ini segera selesai, dengan kebenaran yang mutlak. Bahwa yang benar akan selalu benar. Saya dan teman-teman percaya, apa yang guru kami lakukan adalah benar. Kami sayang Bapak. Kami mendukung Bapak. Kami berdoa untuk kelancaran semua ini. You’ll never walk alone. Terimakasih Pak.”
Sebuah pesan dari hati yang saya kirim untuk Bapak.


-K, Mahasiswa Bapak yang selalu terbayang wajah Bapak ketika sedang galau. Rasanya ingin segera berlari menemui Bapak dan menceritakan semuanya.

No comments:

Post a Comment