“Ada
hal-hal yang tidak akan pernah bisa kita beli selain waktu. Sahabat.” – K
Pagi
ini saya bangun dengan keadaan yang cukup brutal. Brutal sekali, sekeliling
mata bengkak dan merah seperti habis ditonjok. Bibir atas bengkak dan merah
seperti salah operasi. Alergi.
Padahal saya sudah berjanji untuk tidak menyentuh makanan yang berdekatan
dengan seafood selama beberapa hari.
Tetapi, pagi ini justru keadaan saya kacau, entah apa penyebabnya.
Pukul
10 saya ke apotek, membeli obat alergi. Kemudian meminumnya. Menjelang pukul
11, mata saya diterjang kantuk yang berlebihan, Saya pun memutuskan untuk tidur
sejenak. Karena pukul 12 nanti saya sudah punya janji untuk ke RS (Rumah Sakit),
saya membuat alarm di HP pukul 11.59. Wkwkw, selisih 1 menit, karena saya
benar-benar ngantuk.
Saya
mencoba menghubungi, N, untuk memastikan bahwa ia ada di RS pukul 12 nanti,
karena saya dan beberapa teman ingin berkunjung ke RS untuk melihat Mamak N
yang sedang sakit. Ia mengangkat telfon saya, dan saya langsung mengutarakan
keinginan untuk berkunjung. Tetapi kemudian ia berkata, jangan. Saya sedikit
bingung. Saya tanya kenapa? Suaranya mulai terdengar begitu berat di telinga
saya, serak. Saya mulai mendengar tangisan N di seberang sana.
“N,
tunggu di sana. Saya ke sana sekarang.”
“Jangan,
K. Mamak sedang tidak bisa dijenguk.”
Well,
bahkan sebenarnya disaat seperti ini, bukan Mamak N yang ingin saya jenguk,
melainkan N sendiri.
“Aku
mau ketemu N, tunggu aku disana ya.” Saya memutuskan telfon. Jantung saya
berdebar lebih cepat. Ada rasa was-was yang menghantui pikiran saya. Tanpa
hitungan detik lagi, saya langsung beranjak bangun. Teringat dengan alarm yang
sudah saya hidupkan, saya pun segera menonaktifkanya, kemudian menghubungi
teman yang lain, meminta mereka untuk segera ke RS sekarang.
Sampai
di RS.
Saya
bertemu N, kami duduk di kursi tunggu. Saya merangkulnya sambil mendengar
cerita-ceritanya. Sedih mengetahui kepahitan yang ia rasakan. Saya jadi
teringat, titik terendah dalam hidup saya tahun lalu. Saat Bapak sakit, dan
saya menghabiskan waktu sebulan lamanya tidur di 2 RS yang berbeda.
N
kembali masuk ke kamar, melihat kondisi Mamaknya. Saya menunggu teman-teman
yang lain datang. Hingga mereka tiba, saya kembali ke kamar untuk mengajak N
bertemu dengan teman-teman lain. Entahlah, tetapi semoga kehadiran kami bisa
menumbuhkan sedikit kekuatan buatnya.
Mereka
memeluk N. Seketika saya jadi teringat, pelukan itu 1 tahun lalu. Saya menangis
sejadi-jadinya dihadapan mereka. Menumpahkan semua rasa sakit yang terpendam di
dada saya. Di mana titik terendah saat itu justru membuat saya harus semakin
kuat, memaksa saya untuk semakin dewasa. Melewati hari demi hari dengan warna
abu-abu. Dan rasanya saya tidak ingin melupakan itu, meski duka, saya selalu
dikelilingi oleh mereka. Jadi, jika sekarang keadaan terbalik, wajar saya dan
teman-teman lain melakukan hal serupa untuk N.
“N,
apapun yang terjadi, please, kabari
aku, atau siapapun. Jangan diam dan pendam sendirian. Kami teman kamu, sahabat
kamu. Please, jangan nutupin hal apapun. Kalau butuh bantuan, bilang.
InsyaAllah kalau bisa bantu, aku dan teman-teman pasti bantu. Tapi, please, kabari, bilang, cerita ya. Aku
akan marah dan kecewa kalau kamu enggak bilang apapun. Ok!” ucap saya sambil
memeluk N sebelum ia kembali masuk kamar.
Saya
menatap punggungnya dari belakang yang kian menjauh, masuk ke dalam kamar dan
menutup pintu. Saya tau bagaimana perasaan N, meski tidak sepenuhnya
benar-benar tau. Saya tau, N butuh waktu untuk menghadapi semua ini. Saya tau,
N pasti kuat. Saya tau, N bisa menguatkan Mamaknya. Saya tau, saya tidak
benar-benar tau, tetapi saya pernah merasakan luka semacam itu.
Tetap
kuat N. Kami semua sayang kamu.
No comments:
Post a Comment