Monday, August 19, 2019

Feel The Same Way


“Ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa kita beli selain waktu. Sahabat.” – K

Pagi ini saya bangun dengan keadaan yang cukup brutal. Brutal sekali, sekeliling mata bengkak dan merah seperti habis ditonjok. Bibir atas bengkak dan merah seperti salah operasi. Alergi. Padahal saya sudah berjanji untuk tidak menyentuh makanan yang berdekatan dengan seafood selama beberapa hari. Tetapi, pagi ini justru keadaan saya kacau, entah apa penyebabnya.

Pukul 10 saya ke apotek, membeli obat alergi. Kemudian meminumnya. Menjelang pukul 11, mata saya diterjang kantuk yang berlebihan, Saya pun memutuskan untuk tidur sejenak. Karena pukul 12 nanti saya sudah punya janji untuk ke RS (Rumah Sakit), saya membuat alarm di HP pukul 11.59. Wkwkw, selisih 1 menit, karena saya benar-benar ngantuk.

Saya mencoba menghubungi, N, untuk memastikan bahwa ia ada di RS pukul 12 nanti, karena saya dan beberapa teman ingin berkunjung ke RS untuk melihat Mamak N yang sedang sakit. Ia mengangkat telfon saya, dan saya langsung mengutarakan keinginan untuk berkunjung. Tetapi kemudian ia berkata, jangan. Saya sedikit bingung. Saya tanya kenapa? Suaranya mulai terdengar begitu berat di telinga saya, serak. Saya mulai mendengar tangisan N di seberang sana.
“N, tunggu di sana. Saya ke sana sekarang.”
“Jangan, K. Mamak sedang tidak bisa dijenguk.”
Well, bahkan sebenarnya disaat seperti ini, bukan Mamak N yang ingin saya jenguk, melainkan N sendiri.
“Aku mau ketemu N, tunggu aku disana ya.” Saya memutuskan telfon. Jantung saya berdebar lebih cepat. Ada rasa was-was yang menghantui pikiran saya. Tanpa hitungan detik lagi, saya langsung beranjak bangun. Teringat dengan alarm yang sudah saya hidupkan, saya pun segera menonaktifkanya, kemudian menghubungi teman yang lain, meminta mereka untuk segera ke RS sekarang.

Sampai di RS.
Saya bertemu N, kami duduk di kursi tunggu. Saya merangkulnya sambil mendengar cerita-ceritanya. Sedih mengetahui kepahitan yang ia rasakan. Saya jadi teringat, titik terendah dalam hidup saya tahun lalu. Saat Bapak sakit, dan saya menghabiskan waktu sebulan lamanya tidur di 2 RS yang berbeda.
N kembali masuk ke kamar, melihat kondisi Mamaknya. Saya menunggu teman-teman yang lain datang. Hingga mereka tiba, saya kembali ke kamar untuk mengajak N bertemu dengan teman-teman lain. Entahlah, tetapi semoga kehadiran kami bisa menumbuhkan sedikit kekuatan buatnya.

Mereka memeluk N. Seketika saya jadi teringat, pelukan itu 1 tahun lalu. Saya menangis sejadi-jadinya dihadapan mereka. Menumpahkan semua rasa sakit yang terpendam di dada saya. Di mana titik terendah saat itu justru membuat saya harus semakin kuat, memaksa saya untuk semakin dewasa. Melewati hari demi hari dengan warna abu-abu. Dan rasanya saya tidak ingin melupakan itu, meski duka, saya selalu dikelilingi oleh mereka. Jadi, jika sekarang keadaan terbalik, wajar saya dan teman-teman lain melakukan hal serupa untuk N.

“N, apapun yang terjadi, please, kabari aku, atau siapapun. Jangan diam dan pendam sendirian. Kami teman kamu, sahabat kamu. Please, jangan nutupin hal apapun. Kalau butuh bantuan, bilang. InsyaAllah kalau bisa bantu, aku dan teman-teman pasti bantu. Tapi, please, kabari, bilang, cerita ya. Aku akan marah dan kecewa kalau kamu enggak bilang apapun. Ok!” ucap saya sambil memeluk N sebelum ia kembali masuk kamar.

Saya menatap punggungnya dari belakang yang kian menjauh, masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Saya tau bagaimana perasaan N, meski tidak sepenuhnya benar-benar tau. Saya tau, N butuh waktu untuk menghadapi semua ini. Saya tau, N pasti kuat. Saya tau, N bisa menguatkan Mamaknya. Saya tau, saya tidak benar-benar tau, tetapi saya pernah merasakan luka semacam itu.

Tetap kuat N. Kami semua sayang kamu.


No comments:

Post a Comment