Hai April.
Jadi, bulan ini harus di awali dengan
sebuah duka ya?
Sekitar 5-6 tahun lalu, saya punya beberapa
teman laki-laki yang baik. Entah ini sebuah komplotan apa, tetapi kami berasal
dari berbagai jurusan. Mulai dari informatika, matematika, fisika, kimia bahkan
biologi. Kegiatan favorit kami ketika tiba dikelas adalah mengambil posisi
duduk paling belakang. See, saya
pernah senakal itu dahulu. Saya bahkan tidak begitu dekat dengan teman
se-jurusan dikelas itu. Dengan merekalah saya sering berbagi banyak hal. Dari
bertukar cerita, alasan memilih jurusan saat itu, bahkan berbagi seperangkat
headset dan musiknya saat pelajaran berlangsung.
Semenjak semester 2, karena terpisah
kelas dan alasan jarang bertemu yang disebabkan oleh perbedaan jurusan, kami
jadi jarang komunikasi. Tetapi itu tidak mengubah beberapa diantara kami.
Sesekali, kami menyempatkan untuk komunikasi. Walau hanya sekedar bertemu
dikantin, dijalan, di ruang kelas, setidaknya tegur sapa dan senyuman selalu
mengisi pertemuan kami.
Penghujung Februari lalu, Dia (salah
satu dari mereka) mengirim pesan melalui DM pada Instagram saya. Seperti biasa,
membahas hal-hal yang penting-tidak penting dengan versi kami sendiri. Ia
bertanya kabar saya dan kemajuan apa yang sudah berhasil saya dapatkan.
Kemudian membahas tentang ‘kapan saya akan ke pelaminan’. Kemudian ia berkata “yang penting orang dapur siap ni”, maksudnya
adalah sebagai konsumen, tukang makan.
Saya tertawa.
Setelah selama ini, ternyata hubungan
kami masih tetap baik. Saya masih bisa menjadi diri sendiri dan ia pun begitu.
Kemarin malam, saya mendengar
kabarnya, kabar terakhirnya.
Sedih. Harus saya akui. Saya seperti
tidak percaya. Padahal baru 1 bulan yang lalu kami kembali komunikasi begitu
akrab. Bahkan awal maret pun ia juga sempat mengomentari salah satu story IG
saya. Tetapi, kabar tentang dirinya membuat perasaan saya sedikit kacau. Saya bahkan
susah tidur kemarin malam, entah karena sanger yang saya minum atau memang
kabar tentangnya yang memenuhi pikiran saya. Karena sejujurnya sampai saat ini
ada sedikit sesak yang masih memenuhi dada dan pikiran saya.
“Wuiihh
jadi artis film sekarang ya Minion?” tanyanya pada 9
Maret lalu melalui DM.
“Bukan,
itu produk orang” jawab saya.
“Ahahahah
kirain jadi artis film tadi, mau minta tanda tangan padahal.”
Sambungnya kemudian memberikan emot tertawa.
Minion.
Sebuah nama, sebuah cerita.
Dia memanggil saya dengan sebutan
Minion, saya pun begitu. Entah untuk alasan apa. Mungkin karena ia tau, bahwa
saya menyukai Minion. Saat itu, kunci motor saya ada gantungan minion, flashdisk
saya juga ada gantungan minion. Dan entah untuk alasan apa, pada akhirnya saya
juga memanggilnya dengan sebutan yang sama.
Apa itu bertemu di kantin, di trotoar,
di gelanggang, di jalan, di manapun, dia selalu menyapa saya dengan sebutan
itu. Entah, apa dia benar-benar mengingat nama saya atau tidak. Tetapi sebutan
Minion tidak pernah lepas.
Bahkan, setelah beberapa tahun,
panggilan itu tidak pernah berubah. Minion.
Malam ini, saya sadari akan satu hal.
Apakah saya akan mendengar lagi
panggilan “Minion”?
Atau
Apakah ada satu orang yang dengan
ikhlas, rela untuk saya panggil dengan sebutan, Minion?
Hei, Minion.
Terimakasih sudah pernah mengisi
beberapa cerita dalam lembaran hidup saya. Sudah menunjukkan beberapa
keahlianmu. Ternyata, kau cukup hebat. Kau punya potensi di beberapa bidang.
Terimakasih sudah berbagi cerita dan memanggil saya dengan sebutan, Minion.
Kalau boleh jujur, hanya kau yang pernah memanggil saya dengan sebutan itu.
Terimakasih, Minion.
Malam ini, saya sadari akan satu hal. Ternyata
jawabannya adalah:
TIDAK!
Selamat jalan, Minion.
No comments:
Post a Comment