Thursday, April 4, 2019

Minion


Hai April.
Jadi, bulan ini harus di awali dengan sebuah duka ya?

Sekitar 5-6 tahun lalu, saya punya beberapa teman laki-laki yang baik. Entah ini sebuah komplotan apa, tetapi kami berasal dari berbagai jurusan. Mulai dari informatika, matematika, fisika, kimia bahkan biologi. Kegiatan favorit kami ketika tiba dikelas adalah mengambil posisi duduk paling belakang. See, saya pernah senakal itu dahulu. Saya bahkan tidak begitu dekat dengan teman se-jurusan dikelas itu. Dengan merekalah saya sering berbagi banyak hal. Dari bertukar cerita, alasan memilih jurusan saat itu, bahkan berbagi seperangkat headset dan musiknya saat pelajaran berlangsung.

Semenjak semester 2, karena terpisah kelas dan alasan jarang bertemu yang disebabkan oleh perbedaan jurusan, kami jadi jarang komunikasi. Tetapi itu tidak mengubah beberapa diantara kami. Sesekali, kami menyempatkan untuk komunikasi. Walau hanya sekedar bertemu dikantin, dijalan, di ruang kelas, setidaknya tegur sapa dan senyuman selalu mengisi pertemuan kami.

Penghujung Februari lalu, Dia (salah satu dari mereka) mengirim pesan melalui DM pada Instagram saya. Seperti biasa, membahas hal-hal yang penting-tidak penting dengan versi kami sendiri. Ia bertanya kabar saya dan kemajuan apa yang sudah berhasil saya dapatkan. Kemudian membahas tentang ‘kapan saya akan ke pelaminan’. Kemudian ia berkata “yang penting orang dapur siap ni”, maksudnya adalah sebagai konsumen,  tukang makan. Saya tertawa.

Setelah selama ini, ternyata hubungan kami masih tetap baik. Saya masih bisa menjadi diri sendiri dan ia pun begitu.

Kemarin malam, saya mendengar kabarnya, kabar terakhirnya.

Sedih. Harus saya akui. Saya seperti tidak percaya. Padahal baru 1 bulan yang lalu kami kembali komunikasi begitu akrab. Bahkan awal maret pun ia juga sempat mengomentari salah satu story IG saya. Tetapi, kabar tentang dirinya membuat perasaan saya sedikit kacau. Saya bahkan susah tidur kemarin malam, entah karena sanger yang saya minum atau memang kabar tentangnya yang memenuhi pikiran saya. Karena sejujurnya sampai saat ini ada sedikit sesak yang masih memenuhi dada dan pikiran saya.

“Wuiihh jadi artis film sekarang ya Minion?” tanyanya pada 9 Maret lalu melalui DM.
“Bukan, itu produk orang” jawab saya.
“Ahahahah kirain jadi artis film tadi, mau minta tanda tangan padahal.” Sambungnya kemudian memberikan emot tertawa.

Minion.
Sebuah nama, sebuah cerita.

Dia memanggil saya dengan sebutan Minion, saya pun begitu. Entah untuk alasan apa. Mungkin karena ia tau, bahwa saya menyukai Minion. Saat itu, kunci motor saya ada gantungan minion, flashdisk saya juga ada gantungan minion. Dan entah untuk alasan apa, pada akhirnya saya juga memanggilnya dengan sebutan yang sama.

Apa itu bertemu di kantin, di trotoar, di gelanggang, di jalan, di manapun, dia selalu menyapa saya dengan sebutan itu. Entah, apa dia benar-benar mengingat nama saya atau tidak. Tetapi sebutan Minion tidak pernah lepas.

Bahkan, setelah beberapa tahun, panggilan itu tidak pernah berubah. Minion.

Malam ini, saya sadari akan satu hal.
Apakah saya akan mendengar lagi panggilan “Minion”?
Atau
Apakah ada satu orang yang dengan ikhlas, rela untuk saya panggil dengan sebutan, Minion?

Hei, Minion.
Terimakasih sudah pernah mengisi beberapa cerita dalam lembaran hidup saya. Sudah menunjukkan beberapa keahlianmu. Ternyata, kau cukup hebat. Kau punya potensi di beberapa bidang. Terimakasih sudah berbagi cerita dan memanggil saya dengan sebutan, Minion. Kalau boleh jujur, hanya kau yang pernah memanggil saya dengan sebutan itu. Terimakasih, Minion.

Malam ini, saya sadari akan satu hal. Ternyata jawabannya adalah:
TIDAK!

Selamat jalan, Minion.

No comments:

Post a Comment