Thursday, March 21, 2019

Sepotong Senja untuk Pacarku


“Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan.”

Itulah bait pertama dari Trilogi Alina, Sepotong Senja untuk Pacarku.

Well, kali ini saya bukan ingin menulis referensi buku, apalagi mengupas tuntas isi buku Sepotong Senja untuk Pacarku karyanya Seno Gumira Ajidarma. Tetapi saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman setelah membaca buku ini.

Harus dimulai dari mana ya? Mungkin dari pertama kali terinspirasi? Atau keinginan untuk membeli buku ini?

Ya, jadi beberapa bulan lalu saya menonton sebuah video, Dian Sastro membacakan bagian kedua dari Trilogi Alina ini, dan seketika saya jatuh cinta. Jadi saya memutuskan untuk membeli buku ini. Rasanya ingin terbuai oleh cerita-ceritanya dengan membaca sendiri dari buku. Tentu saja, terbuai oleh potongan senja dari seorang pacar, seperti Sukab, pada cerita tersebut. Dan pada akhirnya, buku tersebut berhasil saya beli pada bulan Februari. Entah saya yang masih terlalu sibuk, atau sok sibuk, buku tersebut benar-benar belum terbaca dibulan Februari. Nah, karena kebetulan minggu lalu saya sakit, ingat ya ‘kebetulan’ saya sakit, saya pun jadi punya waktu untuk membaca buku karya Seno tersebut.

Dan benar saja, dalam keadaan sakit saya justru terbuai oleh ceritanya. Membaca sambil berimajinasi bagaimana sepotong senja bisa dipotong oleh seorang Sukab dan dimasukkan dalam sebuah amplop untuk dikirimkan pada Alina.

“Alina yang manis, Alina yang sendu.
Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu. Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada ombak yang menghempaskan itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah dan pasir tetap saja hangat ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. “Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kurekat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.”

Bisa kau bayangkan, bagaimana seseorang memotong senja hingga senja telah hilang dan cakrawala berlubang sebesar kartu pos? Bagaimana seorang Sukab lari dari polisi karena telah berbuat kriminal, memotong senja. Bagaimana Sukab bersembunyi di gorong-gorong hingga ia menemukan dunia lain yang juga memiliki senja. Ia potong senja dari dunia tersebut dan memasangnya pada cakrawala yang telah berlubang sebesar kartu pos. Bagaimana Sukab pada akhirnya mengirimkan sepotong senja dalam sebuah amplop melalui tukang pos.

“Sukab yang malang, goblok, dan menyebalkan. Kamu tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tukang pos itu tiba di depan rumah kami. Ya, rumah kami. Setelah sepuluh tahun banyak yang terjadi dong Sukab, misalnya bahwa aku kemudian kawin, beranak pinak, dan berbahagia. Jangan kaget. Dari dulu aku juga tidak mencintaimu kamu Sukab. Dasar bego. Dikasih isyarat tidak mau mengerti. Sekali lagi, aku tidak mencintaimu. Kalau aku toh kelihatan baik selama ini padamu, terus terang harus kukatakan sekarang, sebetulnya aku cuma kasian.”
Bait terfavorit dari bagian 2 Trilogi Alina, “Jawaban Alina”.

Bisa kau bayangkan, bagaimana keadaan saat Alina menerima sepotong senja dari Sukab? Bagaimana senja tersebut keluar dari dalam amplop lengkap dengan langit biru bercampur keemas-emasan, pantai yang terhampar seperti permadani, juga laut yang membanjiri bumi. Bisa kau bayangkan bagaimana orang-orang tidak panik dengan gelombang raksasa yang tidak datang dari pantai tapi dari atas bukit? Bisa kau imajinasikan seandainya kau menjadi Alina?

Bagian ketiga dari Trilogi ini menceritakan bagaimana surat (sepotong senja) tersebut bisa terlambat sampai pada Alina padahal itu adalah sebuah amplop Federal Express. Menceritakan tentang seorang tukang pos yang begitu unik, melakukan perjalanan panjang dengan sebuah sepeda untuk mengirimkan surat-surat tersebut. Ia telah mengantarkan surat ke berbagai pelosok bumi. Mengantar surat pada seorang pedati yang terus mengelilingi bumi. Mengantar surat kepada seorang pengemis yang paling susah dicari karena tidak memiliki alamat, hingga pada akhirnya pengemis itu sendiri yang menyapa tukang pos dan bertanya ‘kau bawa surat untukku?’. Dan juga beberapa surat yang lainnya, termasuk surat untuk Alina.

“Aku tidak ingin masuk, tapi aku tersedot ke dalamnya. Seperti mimpi saja rasanya, tiba-tiba aku sudah berada di dalam amplop dan berenang seperti ikan. Ternyata amplop ini memang berisi senja, sepotong senja dimana terdapat matahari yang sudah terbenam separuh di cakrawala. Tetapi di dalam amplop semesta adalah dunia air dan aku menjadi ikan yang bisa bernapas dengan insang. Aku menjadi manusia ikan. Sekarang, aku tahu bahasa ikan. Di dalam dunia air aku mendengar banyak sekali suara-suara, yang setelah kuperhatikan ternyata adalah kata-kata. Ikan-ikan adalah para penyair. Mereka bertukar kata dengan puisi yang tak terjemahkan dalam bahasa manusia.”

Itu sebabnya amplop Federal Express bisa terlambat sampai 10 tahun lamanya kepada Alina, karena tukang pos tersebut telah terbuai oleh cahaya keemas-emasan yang muncul dari dalam amplop.

Bisa kau bayangkan bagaimana dunia air di dalam amplop tersebut? Bagaimana tukang pos tersebut bisa terjebak di dalamnya selama 10 tahun namun ia tidak menua sama sekali di dalam sana. Bisa kau bayangkan bagaimana pada akhirnya amplop tersebut sampai pada Alina.

Sepotong Senja untuk Pacarku. Sebuah cerita yang begitu luar biasa. Bahkan sampai saat ini otak saya masih belum sampai pada titik bagaimana Sukab memotong senja hingga cakrawala berlubang. Bagaimana kehidupan dunia air dalam amplop. Bagaimana senja dan seperangkat pemandangannya keluar dari dalam amplop dan membanjiri dunia.

Cerita ini benar-benar punya warnanya sendiri, dunianya sendiri. Saya rasa, jika kau akan membaca ini, maka bersiap-siaplah untuk masuk dalam dunia yang Seno imajinasikan.

Selamat membaca.

Sepotong Senja untuk Pacarku

No comments:

Post a Comment