Halo
apa kabar?
Saya
ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan simpel.
“Benarkah tujuan hidup yang sudah kau
pilih saat ini?”
Silahkan
dijawab sendiri. Tak perlu tanya orang lain.
Tulisan
kali ini, saya akan sharing tentang
sesuatu yang terjadi pada saya. Entah, apa ini wajar disebut sharing, tetapi semoga menjadi sebuah
pelajaran.
Bicara
pedas, saya seorang maniak pedas, kali! Atau kalau kata anak milenial, banget! Entah itu makan nasi, mie atau
bakso, apapun deh. Yang bisa dipedas-in, harus pedas kalau bisa. Sempat
berhenti sebentar saat itu, karena tiba-tiba kondisi lambung saya drop. Tetapi setelah berobat, kecintaan
akan “PEDAS” selalu singgah. Bahkan tidak hanya singgah, ia memilih untuk
menetap. Jadi saya sudah terbiasa lagi makan makanan pedas. Salah satu contoh
makanan pedas yang akhir-akhir ini begitu sering saya makan adalah nasi ayam
geprek. Tidak tanggung-tanggung, saya sering memesan level 5, level tertinggi.
Dimana jika disediakan level 10, maka akan saya pastikan bahwa saya akan
memesan level 10.
Singkat
cerita, akhir-akhir ini saya juga sedang tertarik makan eskrim kerok pinggiran
jalan, eskrim masa kecil. Hampir setiap hari jadi jajanan rutin. Alasannya simpel,
enak. Dengan varian rasa yang berbeda, cokelat, vanila blue, alpokat, durian,
benar-benar hampir setiap hari saya makan deh.
Eskrim |
Eskrim corong |
Well, jumat sebelumnya, perut saya tiba-tiba berangin. Cukup banyak. Sabtu nya, perut mulai keram. Ditambah siang harinya saya keceplosan makan nasi padang. Ya, bayangkan saja isi nasi padang itu, cabai, cabai dan cabai. Minggu hari, saya keluar dari pagi, siangnya pulang. Alasannya karena kondisi perut sudah semakin tidak bersahabat. Jadi saya putuskan untuk istirahat dirumah. Senin pagi, saya tidak masuk kerja. Keram perut tidak hilang sama sekali, bahkan semakin menjadi-jadi. Sorenya, bersama Mamak, sayapun kedokter praktek spesialis penyakit dalam.
Kata
dokternya, kondisi lambung sudah mulai parah. Keram perut ini disebabkan radang
yang akut. Jadi, wajar saja jika sakit sudah mulai tak tertahankan. Setelah
mendapatkan obat, kami pulang, dan saya beristirahat sambil menahan rasa sakit.
Keesokan hari, keram belum juga pulih. Saya memilih istirahat di rumah. Keesokan
harinya, kondisi juga belum membaik, meskipun perlahan keram sudah mulai
menghilang. Tapi tetap saja, untuk melakukan aktifitas pekerjaan seperti biasa,
saya masih belum punya kekuatan. Malamnya, tubuh saya dilanda rasa dingin yang
luar biasa. Memang, kemarin-kemarin gejala demam ada, tetapi tidak sampai
hampir menggigil seperti malam itu. Begitupun besok malamnya, demam kembali
menerjang ditengah malam. Saya harus memeluk diri sendiri sekencang-kencangnya
saat pukul 1, antara khawatir membangunkan orang tua dan tidak punya tenaga
lagi untuk membangunkan mereka. Sekitar pukul 2, Mamak pun terbangun dan
langsung memeluk saya erat. Mengolesi minyak kayu putih, menyuruh saya minum
air putih, dan lain-lain. Hingga saat subuh hampir tiba baru saya mulai
tertidur kembali.
Setelah
dilanda demam yang cukup tinggi, akhirnya saya melakukan tes darah. Dokter
khawatir, bahwa saya terserang tipes atau DBD. Dan ternyata dugaan dokter
tersebut benar, saya positif DBD.
Mendengar
hal tersebut, saya hanya bengong. Hah DBD? Benarkah? Saya belum pernah kena
DBD, kenapa harus terkena DBD? Mana sih nyamuk-nyamuk nakal itu, berani
menggigit saya? Belum pernah saya gigit ya?
Dan,
ternyata selain fakta bahwa demam-demam yang saya alami dikarenakan DBD, ada sebuah fakta baru yang cukup mengejutkan saya.
Kau
ingin tau?
Yakin?
Tidak
menyesal?
Kalau
nanti menyesal, jangan minta saya untuk tanggung jawab ya. Perasaan ini mudah
terluka, jika kau menyesal karena saya, saya bisa kembali terluka. Apalagi sampai harus tanggung jawab.
Ok,
lupakan.
Ok,
faktanya adalah bahwa saya SUDAH PERNAH TERKENA DBD sebelum ini.
Bukan.
Saya tidak bohong mengenai saya yang belum pernah kena DBD. Memang dari dulu
saya belum pernah, atau sebenarnya dari dulu saya tidak pernah tau.
Hasil:
Anti
Dengue IgG positif.
Anti
Dengue IgM positif.
Kata
dokternya, jika dua-duanya positif itu menandakan bahwa ini bukan lagi DBD
pertama yang saya alami. Bisa jadi yang kedua, ketiga atau kesekian kali.
Mendengar
itu, saya terkejut sih. Sempat merespon, tetapi ya begitulah hasilnya. Dan
alhamdulillah, trombosit saya cukup normal, tidak di bawah rata-rata. Jadi saya
hanya perlu perbanyak minum air. Namun dokternya berpesan untuk melakukan tes
darah rutin esok hari, untuk melihat perkembangan trombosit. Dan alhamdulillah
kembali, meskipun masih dilanda demam, trombosit saya terus meningkat.
Jadi,
sekitar 1 minggu (lebih) saya menahan rasa keram dan perih dilambung sekaligus
demam DBD. Sekitar 1 minggu, saya menghabiskan waktu dirumah. Dari pagi sampai
pagi lagi. Jika diingat-ingat, kegiatan saya dari awal tahun 2019, saya hampir
tidak pernah berada di rumah selain malam hari. Weekend? Jangan tanya, tidak pernah ada sejarah berada di rumah
sebelum mulai sakit. Terapi, selama sakit, saya benar-benar di rumah. Dari bosan
hingga bosan kembali, saya tetap di rumah. (Sakit) ini rasanya jadi melunasi
waktu hari minggu saya yang sudah lewat.
Berbicara
sakit, saya jadi teringat diri saya di 2 – 3 tahun lalu. Saya merasa saat itu,
saya sudah menjadi orang yang kuat. Saya pernah jatuh sakit sampai harus opname
tengah malam. Menjelang siang hari, saya pulang, dan setelahnya saya pergi ke kampus,
meskipun bukan untuk belajar. Saya merasa, waktu itu saya sudah menjadi orang
yang kuat, tidak lemah seperti saat ini, yang sering dilanda sakit. Dan jika
saya ingat-ingat lagi, terakhir saya sakit sebelum ini adalah bulan November
2018. Hanya berselang 3 bulan, saya sudah drop lagi.
Mungkin,
harus ada yang saya ubah dalam hidup. Setidaknya, saya bisa kembali kuat
seperti dahulu. Ya, walaupun sebenarnya memang tidak kuat, setidaknya tidak gampang sakit lagi lah, sampai harus
disuruh mengkonsumsi vitamin.
Apa
yang harus saya ubah?
Pola pikir.
Menurut
saya, kalau ada sedikit masalah jangan langsung dibebankan ke pikiran. Apalagi
sampai harus menangis dan memikirkan jalan keluar seorang diri. Make it simple.
Setidaknya, saya selalu punya tempat bercerita, jadi tidak meletakkan semua beban
pada diri sendiri. Ada tempat dimana saya bisa berbagi duka, bukan hanya suka.
Pola hidup.
Pola
hidup saya memang abstrak sekali semenjak akhir tahun lalu, saya akui itu.
Ceplos sana ceplos ini. Ambil kegiatan ini ikut kegiatan itu. Benar-benar pola
hidup sembarangan dan menderita deadline. Jadi senikmat-nikmat saya tertawa, itu
rasanya belum benar-benar sebuah tawa. Begitulah.
Pola makan.
Kenapa
haru pola makan? Karena saya punya riwayat penyakit lambung (yang mulai parah).
Dan jika terus-terusan mengikuti hawa nafsu untuk makan pedas, sampai kapan
lambung saya bisa bertahan? Lagi pula, saya akui, lidah saya seperti sudah
kebal dengan rasa pedas. Bayangkan saja, ketika orang disamping saya kepedasan
makan nasi ayam geprek level 2, saya masih begitu sangat santai makan level 5. Tetapi
jangan tanya lambung saya. Ia jauh berbeda dengan lidah saya. Sayanya saja yang
baru sadar sekarang.
Ok,
itu sih yang menurut saya perubahan-perubahan yang harus saya lakukan. Karena,
balik lagi deh, pada pertanyaan “Benarkah tujuan hidup yang sudah kau
pilih saat ini?”
Kalau
jawabannya iya, tapi sering sakit-sakitan, ya untuk apa?
Jadi
mulai sekarang, saya harus mengubah 3 pola dalam hidup, yaitu; pola pikir, pola
hidup, dan pola makan. Semoga pengalaman saya ini bisa membuat kau menemukan
jawaban “apakah pola hidup mu selama ini sudah benar?”
Find the answer!
Find the answer!
No comments:
Post a Comment