Halo September
Sore tadi saya membuka twitter dan
menemukan twit paling romantis hari ini. WHAT? Romantis? NOPE.
Twit yang menampar saya, setelah
sekian lama tidak ditampar oleh kehidupan.
Bernard
Batubara:
Saya sering dapet
curhatan dari followers: “Bang saya dulu seneng nulis, tapi dibilang baperan
sama temen, trus saya berhenti.”
Saya gak paham
kenapa berhenti nulis cuma karena dibilang baperan. Passion kamu serapuh itu
sampai bisa hancur oleh sebutan yang juga gak jelas maknanya?
Nampar kamu gak?
Gila sih memang, beberapa kalimatnya
langsung nampar saya sore-sore.
Si follower ini menyampaikan apa yang
ingin saya sampaikan. Dan jawaban Bg Bara adalah versi terbaik dari yang selama
ini saya harapkan.
Ya benarkan, apasih yang diharapkan
dari komentar-komentar negatif netizen selain hanya keterpurukan?
Well,
untuk beberapa waktu lalu saya pernah berada di titik “Duh, nulis ini dibilang baper, nulis itu dibilang galau.” and suddenly I stopped.
Dan yang bikin semakin kecewanya
adalah komentar-komentar itu berasal dari ‘teman’.
How to describe it? I think, friends are
those who will encourage all of our efforts. Bukan justru sebaliknya.
Sebagian besar dari mereka, saya katakan
bahwa ‘saya sedang tidak galau, saya tidak baper’. Sebagian kecilnya paham,
sisanya, hanya mereka yang tau. Tetapi, penjelas itu seperti terdengar SIA-SIA,
dan saya sedih seketika.
Benar! Bg Bara benar sekali. Kenapa
harus berhenti menulis karena dibilang baperan atau galau?
Passion menulis kamu se-RAPUH itu!!!
Hanya karena kata ‘baper’ dan ‘galau’!
Beberapa menit setelah merasa ditampar dengan cukup keras, saya memasang tulisan tersebut di
stori IG dan WA -berharap ada yang ikut tertampar. Ada beberapa pesan masuk, menyetujui. Dari pesan-pesan itu
saya belajar, bahwa ternyata tidak sedikit orang yang minder, khawatir dianggap
seperti itu, sehingga berhenti, atau bahkan malas untuk memulai. Apa itu menulis, bisnis, public speaking, karya apapun.
Rasanya, siapapun yang sering men-judge tulisan-tulisan orang itu, baiknya
dipikir dulu. Kenapa? Setidaknya jika
tidak bisa berkarya, jangan mencela.
Sambil menulis ini, saya mendengar lagu dengan headset favorit seperti biasa, sebuah lagu dari Monita - Memulai Kembali, terputar dan saya sadar betapa cocoknya lagu ini.
Matahari sudah di penghujung
petang
Kulepas hari dan sebuah kisah
Tentang angan pilu yang dahulu
melingkupiku
Sejak saat itu langit senja tak
lagi sama
Sebuah janji terbentang di langit
biru
Janji yang datang bersama pelangi
Angan-angan pilu pun
perlahan-lahan menghilang
Dan kabut sendu pun berganti
menjadi rindu
Aku mencari
Aku berjalan
Aku menunggu
Aku melangkah
Pergi
Saya rasa setelah selama ini berhenti, inilah waktunya
untuk memulai kembali. Mencari, berjalan, menunggu, melangkah, pergi, apapun
itu, yang penting memulai kembali.
No comments:
Post a Comment