Saturday, July 21, 2018

Jangan Parkir di Hatiku


Hari ini sabtu, tetapi saya memutuskan untuk menuliskan cerita kemarin.

Siang hari, setelah menyelesaikan beberapa urusan di sekitar kampus, pukul 3 lewat saya memenuhi janji dengan seorang teman di Gramedia. Sebut saja, S, dan ia sudah lebih dahulu tiba beberapa menit sebelum saya. Memasuki pagar Gramedia, saya memencet tombol kartu parkiran. Secarik kertas keluar dari kotak setinggi 1 meter lebih, dan langsung saya masukkan ke saku celana kiri. Saya menjalankan kembali sepeda motor, mencari spot parkir yang masih kosong.

Setelah memarkirkan motor dengan rapi, saya menyimpan kunci disaku kiri celana yang sama dengan kertas parkir yang beberapa saat lalu saya simpan. Meski sedikit kunyek-kunyek, yang penting tersimpan aman. Saya pun memasuki Gramedia sambil mengetik chat untuk S, menanyakan posisinya.
Dilantai 1, saya pun bertemu dengan S di sudut lemari map, ia sibuk memilih-milih map yang begitu variasi. Setelah memutar-mutar setengah lantai 1, saya pun mengajak S naik ke lantai 2, cuci mata.

Tiba di rak kesekian, kami memutuskan untuk memilih arah yang berbeda. S entah ke rak buku apa, dan saya tentu saya ke rak buku novel. Pilihan pertama jatuh pada rak “Best Seller”. Mata saya langsung terbuka lebar melihat sebuah cover buku yan sejak beberapa bulan lalu ingin saya beli. Aah, begitulah, jika sudah disibukkan hal lain, saya jadi lupa dengan beberapa hal yang cukup penting. Tentu saja, buku ini begitu penting.

Mau tau apa buku yang saya maksud?

.
.
.
Maaf, lain kali saja saya ceritakan ya. Saat ini sedang malas mengetik judul buku dan penulisnya. Yaaah begitulah.
Semoga nanti-nanti (entah kapan itu) ketika saya rajin, saya akan mengulas isi buku itu.

Well, setelah berkeliling beberapa rak buku lainnya, saya kembali bertemu dengan S. Karena sudah pukul 4 lewat, mengingat pukul 5 kami berjanji bertemu teman lainnya, kami pun memutuskan untuk mengakhiri ‘cuci mata’ ini dan membayar buku. Setelah membayar buku, kami turun ke lantai 1 mencari mushala untuk shalat asar.

Jam 5 kurang 10 menit, kami keluar dari mushala untuk pergi. Tetapi,…

Beberapa meter dari parkiran, seketika saya panik. Begitu panik dalam hitungan detik saja. Aah, dasar kebiasaan lama yang sulit diubah. Saya merogoh saku celana kiri berulang kali. Tetapi barang yang begitu cukup penting untuk saat ini tidak saya temukan.

Bukan.
Kamu pasti mengira saya kehilangan kunci motor, kan? Tenang saja, bukan kok. Tetapi hanya sebuah kertas kecil yang hilang, kertas yang cukup berarti untuk saat ini. Kepanikan saya tidak bisa tertolong lagi, saya rasa wajah saya mulai pucat saat itu. S yang berada disamping saya, hanya memandang saya sekejab, dengan wajah hmm mungkin datar. Ia sudah begitu hafal tampang wajah saya yang panik ini. Jadi ia tak perlu ikut-ikutan panik, bukan hal yang begitu besar.

Saya berkata pada S, bahwa saya benar-benar meletakkan kertas parkiran disaku celana kiri saya. Ia meminta saya memeriksa didalam tas. Setelah diperiksapun, tetap tidak ada. Kepanikan saya tidak surut sedikitpun. Akhirnya saya mengelus dada, mencoba ikhlas. Tentu saja, mencoba ikhlas untuk direpotkan ketika keluar dari gerbang Gramedia ini nanti. Saya sudah membayangkan seperti apa kegiatan yang akan saya lakukan beberapa menit kemudian.

Saya akan menepi disudut entah mana, kemudian si penjaga akan menyuruh saya menyerahkan SIM, KTP, STNK dan tentu saja uang denda. Aah, cerita lamakan? Klise sekali. Entah untuk yang keberapa kalinya saya harus repot-repot keluar dari suatu tempat gara-gara kehilangan secarik kertas. Kebiasaan buruk! TENTU SAJA.

Disela-sela kepasrahan yang entah bagaimana endingnya, saya berusaha tetap tegar sambil melangkah perlahan ke parkiran. Dengan kondisi tubuh yang lemas, tiba tiba mata saya fokus ke salah satu titik dimotor saya, tertempel sebuah kertas kecil yang belum terlihat wujud tulisannya. Tanpa harapan yang begitu berarti, saya mengambil kertas tersebut, membukanya perlahan dan betapa terkejutnya mendapati tulisan Gramedia di sana. Tentu saja, itu adalah sebuah kertas parkir kendaraan. Entah panik dengan tipe apa kali ini, saya memekik kecil ke arah S. Ia hanya tertawa kecil. Saya mencoba menjelaskan dengan usaha yang maksimal. Saya berkata pada S, tidak mungkin. Saya yakin sekali kertas parkiran tadi saya masukkan ke saku celana saya dengan keadaan sedikit terkucek. Kali ini saya benar-benar mencoba membuat S percaya pada saya, bahwa saya bukan tipikal seorang pelupa, yang tentu saja sering lupa dimana meletakkan barang-barang.

S, tersenyum.
Baiklah. Saya pun menyerah, tidak perlu menjelaskan hal-hal yang mungkin logika manusia sendiri pun sering melakukan kesalahan. S beranjak menunju parkiran motornya sendiri. Sedangkan saya? Masih bingung, bahkan terlalu bingung.

Bagaimana mungkin bisa,..?
Baiklah. Mungkin saya yang lupa. Saya sendiri yang menempelkan kertas parkiran ini dimotor sendiri. Kemudian saya berkhayal bahwa meletakannya di saku celana. Mungkin seperti itu. Baiklah, tidak perlu diperpanjang lagi. Yang penting sekarang kertas parkirannya ada, dan saya tidak lagi perlu panik bin repot-repot melakukan tanggung jawab kehilangan kertas diparkiran.

Baru beberapa detik saya mencoba tenang, masalah kembali muncul.
Saya membaca satu persatu kalimat yang ada di kertas parkiran, dan kepanikan seperti awal tadi kembali muncul. Seketika saya langsung berlari ke arah S, dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan, saya meminta S melihat kertas parkirannya.

Saya bertanya, apakah ada tulisan “mobil” di kertas S?
S hanya menggeleng kemudian menyebut kata “motor”.
Dan jangan ditanya, saya kembali panik yang entah seperti orang apa. Serius. Saya tak bisa berkata apa-apa lagi.

Bisa kau bayangkan? Saya keluar dari pagar Gramedia dengan sebuah kertas parkir mobil!
Dengan hati yang gundah gelisah, saya menjalankan motor perlahan menuju abang penjaga pintu keluar. Tiba disana saya memberikan kertas parkiran saya. Dalam hati saya sudah menyiapkan beberapa kalimat ‘masuk akal’ dan ‘sebaliknya’. Kau tau? Tentu saja, sebagai sebuah alasan, mengapa saya menggunakan motor padahal kertas parkir adalah milik mobil.
Sreeeet. Kertas parkir saya di scan. Sekilas (karena saya begitu parsah, sehingga tidak menyadari apa yang benar-benar terjadi), tampil sebuah mobil hitam dilayar berukuran kecil. Tak lama kemudian abang penjaga tersebut tersenyum sambil berkata “2 ribu”. Saya sedikit mengedipkan mata, mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya menyerahkan uang 2 ribu dan menjalankan motor keluar pagar.

S menyusul dari belakang. Saya hanya bisa tertawa ngakak dipinggiran jalan. S juga ikut tertawa sambil mengatakan bahwa si abang tersebut hanya tersenyum-senyum. Sepertinya ia tau kelakukan nakal saya. Tercyduk.

Kesimpulan:
Pertama, saya bukan tipikal yang pelupa. Ok, sesekali menjadi pelupa wajar sih, manusiawi, kan? Tetapi, apakah saya tipikal yang teledor? Hmm entahlah, ini bukan sebuah kesimpulan.
Kedua, siapa yang meletakkan kertas parkiran mobil dimotor saya? Penjagakah? Satpamkan? Tak ada kesimpulan yang berarti.
Ketiga, saya menggunakan kertas parkiran orang (yang naik mobil). Saya jadi bertanya, bagaimana nasibnya keluar dari Gramedia ya? Sama. Tidak menjawab kesimpulan yang sesungguhnya.
Keempat, saya berdoa, semoga kertas parkir motor saya ditemukan oleh pemilik mobil yang kertas parkirnya saya gunakan untuk keluar dari Gramedia (pahamkan?), semoga.

Note:
Maaf, judul tulisan ini tidak nyambung. Saya sendiri tidak mengerti.

No comments:

Post a Comment