Hari
ini sabtu, tetapi saya memutuskan untuk menuliskan cerita kemarin.
Siang
hari, setelah menyelesaikan beberapa urusan di sekitar kampus, pukul 3 lewat
saya memenuhi janji dengan seorang teman di Gramedia. Sebut saja, S, dan ia
sudah lebih dahulu tiba beberapa menit sebelum saya. Memasuki pagar Gramedia,
saya memencet tombol kartu parkiran. Secarik kertas keluar dari kotak setinggi
1 meter lebih, dan langsung saya masukkan ke saku celana kiri. Saya menjalankan
kembali sepeda motor, mencari spot parkir yang masih kosong.
Setelah
memarkirkan motor dengan rapi, saya menyimpan kunci disaku kiri celana yang
sama dengan kertas parkir yang beberapa saat lalu saya simpan. Meski sedikit
kunyek-kunyek, yang penting tersimpan aman. Saya pun memasuki Gramedia sambil
mengetik chat untuk S, menanyakan posisinya.
Dilantai
1, saya pun bertemu dengan S di sudut lemari map, ia sibuk memilih-milih map
yang begitu variasi. Setelah memutar-mutar setengah lantai 1, saya pun mengajak
S naik ke lantai 2, cuci mata.
Tiba
di rak kesekian, kami memutuskan untuk memilih arah yang berbeda. S entah ke rak
buku apa, dan saya tentu saya ke rak buku novel. Pilihan pertama jatuh pada rak
“Best Seller”. Mata saya langsung
terbuka lebar melihat sebuah cover buku yan sejak beberapa bulan lalu ingin
saya beli. Aah, begitulah, jika sudah
disibukkan hal lain, saya jadi lupa dengan beberapa hal yang cukup penting.
Tentu saja, buku ini begitu penting.
Mau
tau apa buku yang saya maksud?
.
.
.
Maaf,
lain kali saja saya ceritakan ya. Saat ini sedang malas mengetik judul buku dan
penulisnya. Yaaah begitulah.
Semoga
nanti-nanti (entah kapan itu) ketika saya rajin, saya akan mengulas isi buku
itu.
Well, setelah berkeliling
beberapa rak buku lainnya, saya kembali bertemu dengan S. Karena sudah pukul 4
lewat, mengingat pukul 5 kami berjanji bertemu teman lainnya, kami pun
memutuskan untuk mengakhiri ‘cuci mata’ ini dan membayar buku. Setelah membayar
buku, kami turun ke lantai 1 mencari mushala untuk shalat asar.
Jam
5 kurang 10 menit, kami keluar dari mushala untuk pergi. Tetapi,…
Beberapa
meter dari parkiran, seketika saya panik. Begitu panik dalam hitungan detik
saja. Aah, dasar kebiasaan lama yang
sulit diubah. Saya merogoh saku celana kiri berulang kali. Tetapi barang
yang begitu cukup penting untuk saat ini tidak saya temukan.
Bukan.
Kamu
pasti mengira saya kehilangan kunci motor, kan? Tenang saja, bukan kok. Tetapi
hanya sebuah kertas kecil yang hilang, kertas yang cukup berarti untuk saat
ini. Kepanikan saya tidak bisa tertolong lagi, saya rasa wajah saya mulai pucat
saat itu. S yang berada disamping saya, hanya memandang saya sekejab, dengan
wajah hmm mungkin datar. Ia sudah
begitu hafal tampang wajah saya yang panik ini. Jadi ia tak perlu ikut-ikutan
panik, bukan hal yang begitu besar.
Saya
berkata pada S, bahwa saya benar-benar meletakkan kertas parkiran disaku celana
kiri saya. Ia meminta saya memeriksa didalam tas. Setelah diperiksapun, tetap
tidak ada. Kepanikan saya tidak surut sedikitpun. Akhirnya saya mengelus dada,
mencoba ikhlas. Tentu saja, mencoba ikhlas untuk direpotkan ketika keluar dari
gerbang Gramedia ini nanti. Saya sudah membayangkan seperti apa kegiatan yang
akan saya lakukan beberapa menit kemudian.
Saya
akan menepi disudut entah mana, kemudian si penjaga akan menyuruh saya
menyerahkan SIM, KTP, STNK dan tentu saja uang denda. Aah, cerita lamakan? Klise sekali. Entah untuk yang keberapa kalinya
saya harus repot-repot keluar dari suatu tempat gara-gara kehilangan secarik
kertas. Kebiasaan buruk! TENTU SAJA.
Disela-sela
kepasrahan yang entah bagaimana endingnya, saya berusaha tetap tegar sambil
melangkah perlahan ke parkiran. Dengan kondisi tubuh yang lemas, tiba tiba mata
saya fokus ke salah satu titik dimotor saya, tertempel sebuah kertas kecil yang
belum terlihat wujud tulisannya. Tanpa harapan yang begitu berarti, saya
mengambil kertas tersebut, membukanya perlahan dan betapa terkejutnya mendapati
tulisan Gramedia di sana. Tentu saja, itu adalah sebuah kertas parkir
kendaraan. Entah panik dengan tipe apa kali ini, saya memekik kecil ke arah S.
Ia hanya tertawa kecil. Saya mencoba menjelaskan dengan usaha yang maksimal.
Saya berkata pada S, tidak mungkin. Saya yakin sekali kertas parkiran tadi saya
masukkan ke saku celana saya dengan keadaan sedikit terkucek. Kali ini saya
benar-benar mencoba membuat S percaya pada saya, bahwa saya bukan tipikal
seorang pelupa, yang tentu saja sering lupa dimana meletakkan barang-barang.
S,
tersenyum.
Baiklah.
Saya pun menyerah, tidak perlu menjelaskan hal-hal yang mungkin logika manusia
sendiri pun sering melakukan kesalahan. S beranjak menunju parkiran motornya
sendiri. Sedangkan saya? Masih bingung, bahkan terlalu bingung.
Bagaimana
mungkin bisa,..?
Baiklah.
Mungkin saya yang lupa. Saya sendiri yang menempelkan kertas parkiran ini
dimotor sendiri. Kemudian saya berkhayal bahwa meletakannya di saku celana.
Mungkin seperti itu. Baiklah, tidak perlu diperpanjang lagi. Yang penting sekarang
kertas parkirannya ada, dan saya tidak lagi perlu panik bin repot-repot
melakukan tanggung jawab kehilangan kertas diparkiran.
Baru
beberapa detik saya mencoba tenang, masalah kembali muncul.
Saya
membaca satu persatu kalimat yang ada di kertas parkiran, dan kepanikan seperti
awal tadi kembali muncul. Seketika saya langsung berlari ke arah S, dengan
nafas yang sedikit ngos-ngosan, saya
meminta S melihat kertas parkirannya.
Saya
bertanya, apakah ada tulisan “mobil” di kertas S?
S
hanya menggeleng kemudian menyebut kata “motor”.
Dan
jangan ditanya, saya kembali panik yang entah seperti orang apa. Serius. Saya
tak bisa berkata apa-apa lagi.
Bisa
kau bayangkan? Saya keluar dari pagar Gramedia dengan sebuah kertas parkir
mobil!
Dengan
hati yang gundah gelisah, saya menjalankan motor perlahan menuju abang penjaga
pintu keluar. Tiba disana saya memberikan kertas parkiran saya. Dalam hati saya
sudah menyiapkan beberapa kalimat ‘masuk akal’ dan ‘sebaliknya’. Kau tau? Tentu
saja, sebagai sebuah alasan, mengapa saya menggunakan motor padahal kertas
parkir adalah milik mobil.
Sreeeet.
Kertas parkir saya di scan. Sekilas (karena saya begitu parsah, sehingga tidak
menyadari apa yang benar-benar terjadi), tampil sebuah mobil hitam dilayar
berukuran kecil. Tak lama kemudian abang penjaga tersebut tersenyum sambil
berkata “2 ribu”. Saya sedikit mengedipkan mata, mengumpulkan kesadaran sebelum
akhirnya menyerahkan uang 2 ribu dan menjalankan motor keluar pagar.
S
menyusul dari belakang. Saya hanya bisa tertawa ngakak dipinggiran jalan. S
juga ikut tertawa sambil mengatakan bahwa si abang tersebut hanya
tersenyum-senyum. Sepertinya ia tau kelakukan nakal saya. Tercyduk.
Kesimpulan:
Pertama, saya bukan tipikal yang pelupa. Ok, sesekali menjadi pelupa
wajar sih, manusiawi, kan? Tetapi, apakah saya tipikal yang teledor? Hmm entahlah,
ini bukan sebuah kesimpulan.
Kedua, siapa yang meletakkan kertas parkiran mobil dimotor saya?
Penjagakah? Satpamkan? Tak ada kesimpulan yang berarti.
Ketiga, saya menggunakan kertas parkiran orang (yang naik mobil). Saya jadi
bertanya, bagaimana nasibnya keluar dari Gramedia ya? Sama. Tidak menjawab
kesimpulan yang sesungguhnya.
Keempat, saya berdoa, semoga kertas parkir motor saya ditemukan oleh
pemilik mobil yang kertas parkirnya saya gunakan untuk keluar dari Gramedia
(pahamkan?), semoga.
Note:
Maaf,
judul tulisan ini tidak nyambung. Saya sendiri tidak mengerti.
No comments:
Post a Comment