Tuesday, November 8, 2016

Ku Sebut . . .

Dear 871200 Detik

Katakanlah ini waktu yang tidak singkat, untuk ku yang dipilih terlebih dahulu ditinggalkan. Seperti waktu itu, aroma udara kepergian masih tersisa dalam bulu-bulu hidungku meski flu melanda perjalanan yang kau sebut singkat ini.

Kisahnya begini, aku suka tempat ini karena di sini kita pernah dipersatukan dalam jarak yang menahan rindu. Saat orang berkata satu-satunya obat rindu itu adalah bertemu, kadang satu-satu obatnya itu pula yang tak mampu kita temukan. Namun pada tempat yang membuat aku jatuh cinta ini, akhirnya kita menemukan sesuatu yang ku sebut pertemuan.

Beribu langkah ku tuai dalam mentari pagi, mencari semangat hidup yang kian merosot dalam kerinduan. Akhirnya, aku menemukan suatu fakta. Aku membenci tempat ini. Tak usah kau bayangkan kenapa aku harus membencinya. Katakan saja padanya, tempat perpisahan ini mengulur-ngulur hati ku untuk menahan kembali rindu yang sudah terobati.

Lagi, aku membenci tempat ini. Semua perjalan yang kita habiskan harus terenggut paksa tanpa izin. Deruan suara itu membunuh perasaan bahagia ku untuk beberapa waktu yang lama. Kau, akhirnya memilih pergi dari genggamanku, entah untuk waktu berapa lama. Aku semakin membenci tempat ini, karena ia menjadi saksi kepergianmu dan penantianku. Aku benci harus mengatakan ini, tapi tempat ini seperti ‘kantor urusan perjanjian’. Kau pergi untuk berjanji 1 hal, dan aku menunggu untuk 1 hal.

Aku ingat, itu 871200 detik yang lalu. Di tempat yang sama, rindu yang sama, tapi kepergian yang berbeda. Aku terlalu bodoh saat itu untuk dapat mengartikan semuanya, menganalisa kepergianmu yang kesekian kali. Andai aku bisa secerdas itu untuk mengerti bahwa kau tak akan kembali seperti dahulu, aku akan melakukan bebagai cara untuk menahan mu pergi seperti yang sudah sudah. Aku mungkin bodoh, tapi ku pikir berada di sampingmu bisa membuatku lebih cerdas. Aku mungkin lemah, tapi kenyataan bahwa kau pergi untuk tidak pernah kembali membuatku semakin tidak pernah cerdas.

Aku ingat detik-detik sebelum itu. Kini, rasanya puzzle-puzzle yang telah ku susun bisa menjelaskan semuanya. Ending-nya, tentang kepergianmu. Terimakasih telah membuatku ingin menjadi cerdas, terimakasih telah meninggalkanku, dan terimakasih akhirnya aku (dipaksa) cerdas. Semua cinta dan benci tentang tempat itu mengubah hal baru dalam hidupku.

Aku, tidak lagi perlu membenci tempat itu, seperti yang sudah-sudah. Karena sekarang, rasanya sudah berbeda. Kau tau? Terkadang perjalanan bisa mengubah banyak orang, seperti kamu. Ku pikir, sekarang saatnya perjalanan mengubahku. Karena pada sesungguhnya, tidak ada yang perlu kita benci pada tempat ini. Ia hanya mengantarkan kepergian dan kerinduan dalam satu waktu, tanpa pernah ingin membuat orang-orang membenci. Entah aku harus mulai dari mana, tapi ternyata perjalanan ku masih panjang. Bukan, bukan entah harus mulai dari mana, tetapi mulai dari saat ini juga. Aku tidak lagi perlu menunggu seperti dahulu, karena sekarang yang kulakukan hanya cukup berjalan dan melihat ke depan.

Kau tau ku sebut apa tempat yang tidak lagi perlu ku benci saat ini?


AIRPORT
Bukan lagi tentang seberapa jauh kamu berjalan, tapi tentang perjalananku dalam menemukan

No comments:

Post a Comment