Dear 871200 Detik
Katakanlah ini waktu yang
tidak singkat, untuk ku yang dipilih terlebih dahulu ditinggalkan. Seperti
waktu itu, aroma udara kepergian masih tersisa dalam bulu-bulu hidungku meski
flu melanda perjalanan yang kau sebut singkat ini.
Kisahnya begini, aku suka
tempat ini karena di sini kita pernah dipersatukan dalam jarak yang menahan
rindu. Saat orang berkata satu-satunya obat rindu itu adalah bertemu, kadang
satu-satu obatnya itu pula yang tak mampu kita temukan. Namun pada tempat yang
membuat aku jatuh cinta ini, akhirnya kita menemukan sesuatu yang ku sebut pertemuan.
Beribu langkah ku tuai
dalam mentari pagi, mencari semangat hidup yang kian merosot dalam kerinduan.
Akhirnya, aku menemukan suatu fakta. Aku membenci tempat ini. Tak usah kau
bayangkan kenapa aku harus membencinya. Katakan saja padanya, tempat perpisahan
ini mengulur-ngulur hati ku untuk menahan kembali rindu yang sudah terobati.
Lagi, aku membenci tempat
ini. Semua perjalan yang kita habiskan harus terenggut paksa tanpa izin. Deruan
suara itu membunuh perasaan bahagia ku untuk beberapa waktu yang lama. Kau,
akhirnya memilih pergi dari genggamanku, entah untuk waktu berapa lama. Aku
semakin membenci tempat ini, karena ia menjadi saksi kepergianmu dan
penantianku. Aku benci harus mengatakan ini, tapi tempat ini seperti ‘kantor
urusan perjanjian’. Kau pergi untuk berjanji 1 hal, dan aku menunggu untuk 1
hal.
Aku ingat, itu 871200
detik yang lalu. Di tempat yang sama, rindu yang sama, tapi kepergian yang
berbeda. Aku terlalu bodoh saat itu untuk dapat mengartikan semuanya,
menganalisa kepergianmu yang kesekian kali. Andai aku bisa secerdas itu untuk
mengerti bahwa kau tak akan kembali seperti dahulu, aku akan melakukan bebagai
cara untuk menahan mu pergi seperti yang sudah sudah. Aku mungkin bodoh, tapi
ku pikir berada di sampingmu bisa membuatku lebih cerdas. Aku mungkin lemah,
tapi kenyataan bahwa kau pergi untuk tidak pernah kembali membuatku semakin
tidak pernah cerdas.
Aku ingat detik-detik
sebelum itu. Kini, rasanya puzzle-puzzle yang telah ku susun bisa menjelaskan
semuanya. Ending-nya, tentang
kepergianmu. Terimakasih telah membuatku ingin menjadi cerdas, terimakasih
telah meninggalkanku, dan terimakasih akhirnya aku (dipaksa) cerdas. Semua
cinta dan benci tentang tempat itu mengubah hal baru dalam hidupku.
Aku, tidak lagi perlu
membenci tempat itu, seperti yang sudah-sudah. Karena sekarang, rasanya sudah
berbeda. Kau tau? Terkadang perjalanan bisa mengubah banyak orang, seperti
kamu. Ku pikir, sekarang saatnya perjalanan mengubahku. Karena pada
sesungguhnya, tidak ada yang perlu kita benci pada tempat ini. Ia hanya
mengantarkan kepergian dan kerinduan dalam satu waktu, tanpa pernah ingin
membuat orang-orang membenci. Entah aku harus mulai dari mana, tapi ternyata
perjalanan ku masih panjang. Bukan, bukan entah harus mulai dari mana, tetapi
mulai dari saat ini juga. Aku tidak lagi perlu menunggu seperti dahulu, karena
sekarang yang kulakukan hanya cukup berjalan dan melihat ke depan.
Kau tau ku sebut apa
tempat yang tidak lagi perlu ku benci saat ini?

No comments:
Post a Comment