Thursday, September 24, 2015

Mom, We Love You

Dear 21 September 2015

Mom, sepenggal tulisan ini tidak pernah mampu mengganti kasih luar biasa yang pernah kau tumbuhkan. Tidak pernah mampu menukar arti belaian dalam dekapmu yang begitu hangat. Tetapi lewat tulisan ini (yang entah mungkin akan kau baca), secarik harapan serta doa yang saya panjatkan akan mengalir tulus, Mom.

Happy birthday, Bu.
Akibat minggu malamnya saya kelelahan, hiasan surprise yang saya rencakan nyaris gagal karena harus tidur cepat. Padahal saya sudah menyiapkan sekitar 70%nya. Tetapi senin pagi yang terlalu dini, sekitar pukul 5, membuat saya melanjutkan pekerjaan ‘surprise’ tersebut. Teeeeng.
Meski tidak sesuai ekspektasi dari mimpi saya beberapa hari yang lalu, saya merasa senang (dan juga bangga) karena mampu membuat Ibu berdecak kaget dan juga kagum mungkin, sedikit.
Selamat bertambah juga berkurang umur, Bu. We love you –peluk Ibu erat.

Karena beberapa hal di luar dugaan, tiba-tiba kakak yang berada jauh sekitar 4 jam perjalanan dari rumah menghubungi kami semua, mengatakan bahwa ia sedang sakit. Singkat cerita esok hari (selasa) kakak harus pulang untuk berobat. Jadi beradalah saya pada senin malam dengan pikiran membelai bulan tanpa tangan, memikirkan kejutan yang sedang saya ciptakan harus berakhir dengan selang kepercayaan 90%, bahwa berakhirnya hari senin, 21 september itu tanpa cake untuk Ibu. Saya kembali memasukkan cake –yang tadinya hanya tunggu di pasang lilin– ke dalam kulkas. Berharap hari esok dengan kehadiran kakak di rumah bisa membuat malam ini kembali menjadi (lebih) baik seperti ekspektasi saya sebelumnya.

Esok hari.
Kakak sudah selesai berobat, malamnya kamipun makan bersama. Usai makan saya langsung memberi kode kepada kakak untuk masuk ke dalam kamar membantu saya menyiapkan surprise untuk Ibu. Bapak sudah menunggu di kursi dekat Ibu yang tengah asik main gameCandy Crash– sedangkan saya dan kakak menyoblos satu persatu lilin berwarna biru di atas cake. Kami bergerak perlahan ke luar dari kamar menuju ruang tempat Ibu sedang menyibukkan diri dengan dunia game-nya.

Dalam hitung ke-3 dengan kode tangan kami ber-3 (saya kakak dan bapak) serempak menyanyikan lagu “Happy Birthday” beserta cake yang berada di tangan kakak dan sebuah hadiah berbungkus kertas kado berpita biru di tangan saya. Ibu terkejut dan berdecak kagum melihat kami ber-3. Ia langsung melepas smartphone ditangannya dan langsung menatap kami dengan berbagai ekspresi. Lagu yang kami nyanyikan belum habis, tetapi air mata ibu sudah menetes dari sudut matanya yang terlihat begitu bahagia. Setelah lagu usai kami nyanyikan, ibu langsung memeluk dan mengecup kami satu persatu, kemudian menghapus air mata bahagianya.

Setelah itu, ibu terus menimpali kami dengan sederet pertanyaan yang sama.
“Kapan kalian menyiapkan ini (surprise)?”
“Siapa yang beli kuenya?”
“Katanya gak ada uang, kok beli hadiah?”
Dan sejurus pertanyaan lain yang masih menjadi tanda tanya  buat Ibu, tanpa saya maupun kakak menyelipkan  jawaban di antaranya.
Tenanglah, Bu. Hadiah ini tidak menyentuh sedikitpun uang yang Ibu berikan. Ini hasil kerja keras kami semua, Bu. Percayalah. Because we love you, Mom.

Saya jadi berpikir, mungkin inilah hikmah di balik sakitnya kakak saya. Benarkah? Kakak, yang pada akhirnya membuat Ibu kalang kabut di senin malamnya karena terus memikirkan bagaimana kakak pulang. Dan juga kakak, yang membatalkan surprise hasil ekspektasi saya yang cukup luar biasa dan menggantinya dengan surprise yang lebih luar biasa, kakak.

No comments:

Post a Comment