Dear 21 September
2015
Mom,
sepenggal tulisan ini tidak pernah mampu mengganti kasih luar biasa yang pernah
kau tumbuhkan. Tidak pernah mampu menukar arti belaian dalam dekapmu yang
begitu hangat. Tetapi lewat tulisan ini (yang entah mungkin akan kau baca), secarik
harapan serta doa yang saya panjatkan akan mengalir tulus, Mom.
Happy birthday, Bu.
Akibat minggu malamnya saya kelelahan, hiasan surprise yang saya rencakan nyaris
gagal karena harus tidur cepat. Padahal saya sudah menyiapkan sekitar 70%nya. Tetapi
senin pagi yang terlalu dini, sekitar pukul 5, membuat saya melanjutkan
pekerjaan ‘surprise’ tersebut. Teeeeng.
Meski tidak sesuai ekspektasi dari mimpi saya
beberapa hari yang lalu, saya merasa senang (dan juga bangga) karena mampu
membuat Ibu berdecak kaget dan juga kagum mungkin, sedikit.
Selamat bertambah juga berkurang umur, Bu. We love you –peluk Ibu erat.
Karena beberapa hal di luar dugaan, tiba-tiba kakak
yang berada jauh sekitar 4 jam perjalanan dari rumah menghubungi kami semua,
mengatakan bahwa ia sedang sakit. Singkat cerita esok hari (selasa) kakak harus
pulang untuk berobat. Jadi beradalah saya pada senin malam dengan pikiran
membelai bulan tanpa tangan, memikirkan kejutan yang sedang saya ciptakan harus
berakhir dengan selang kepercayaan 90%, bahwa berakhirnya hari senin, 21 september
itu tanpa cake untuk Ibu. Saya kembali
memasukkan cake –yang tadinya hanya
tunggu di pasang lilin– ke dalam kulkas. Berharap hari esok dengan kehadiran
kakak di rumah bisa membuat malam ini kembali menjadi (lebih) baik seperti
ekspektasi saya sebelumnya.
Esok hari.
Kakak sudah selesai berobat, malamnya kamipun makan
bersama. Usai makan saya langsung memberi kode kepada kakak untuk masuk ke
dalam kamar membantu saya menyiapkan surprise
untuk Ibu. Bapak sudah menunggu di kursi dekat Ibu yang tengah asik main game –Candy Crash– sedangkan saya dan kakak menyoblos satu persatu lilin
berwarna biru di atas cake. Kami bergerak
perlahan ke luar dari kamar menuju ruang tempat Ibu sedang menyibukkan diri
dengan dunia game-nya.
Dalam hitung ke-3 dengan kode tangan kami ber-3
(saya kakak dan bapak) serempak menyanyikan lagu “Happy Birthday” beserta cake
yang berada di tangan kakak dan sebuah hadiah berbungkus kertas kado berpita
biru di tangan saya. Ibu terkejut dan berdecak kagum melihat kami ber-3. Ia langsung
melepas smartphone ditangannya dan
langsung menatap kami dengan berbagai ekspresi. Lagu yang kami nyanyikan belum
habis, tetapi air mata ibu sudah menetes dari sudut matanya yang terlihat begitu
bahagia. Setelah lagu usai kami nyanyikan, ibu langsung memeluk dan mengecup
kami satu persatu, kemudian menghapus air mata bahagianya.
Setelah itu, ibu terus menimpali kami dengan
sederet pertanyaan yang sama.
“Kapan kalian menyiapkan ini (surprise)?”
“Siapa yang beli kuenya?”
“Katanya gak ada uang, kok beli hadiah?”
Dan sejurus pertanyaan lain yang masih menjadi tanda
tanya buat Ibu, tanpa saya maupun kakak
menyelipkan jawaban di antaranya.
Tenanglah, Bu. Hadiah ini tidak menyentuh
sedikitpun uang yang Ibu berikan. Ini hasil kerja keras kami semua, Bu. Percayalah.
Because we love you, Mom.
Saya jadi berpikir, mungkin inilah hikmah di balik
sakitnya kakak saya. Benarkah? Kakak, yang pada akhirnya membuat Ibu kalang
kabut di senin malamnya karena terus memikirkan bagaimana kakak pulang. Dan juga
kakak, yang membatalkan surprise
hasil ekspektasi saya yang cukup luar biasa dan menggantinya dengan surprise yang lebih luar biasa, kakak.
No comments:
Post a Comment