Kau
masih menatapku, sambil memasang muka memelas minta diberikan sebuah anggukan
iya agar aku menyetujuinya. Ini sudah kali ke empatnya dalam minggu ini kau
memintaku untuk menemanimu jalan jalan sore sambil memutar mutar kenanganmu. Ah
kenangan. Selalu seperti itu. Setelah menyelesaikan beberapa fotokopian materi
yang harus aku bagikan besok kepada anggota tim debat, akhirnya akupun
memutuskan untuk menemaninya, kembali.
“Ok
ok aku mengerti, jangan pernah memasang muka seperti itu lagi padaku. Jujur,
aku takkan mampu menolaknya. Kau mengerti.” Sedikit seruan diakhir kalimat yang
ku ucapkan seharusnya. Aku memang benar benar tidak pernah bisa menolaknya,
terutama demi kepentingan dirinya. Dia sudah begitu mahir memasang ekspresi muka yang
membuatku takkan pernah bisa menolak ajakannya selama keempat kalinya untuk
minggu ini meskipun jadwal ku begitu padat.
“Begitulah,
kau seharusnya bisa mengerti masa masa kritisku. Terlebih dalam minggu ini.
Terimakasih.” Ucapmu begitu antusias sambil membantuku mengangkat beberapa
kertas fotokopian ditanganku. Sebenarnya tidak cukup banyak, aku bisa
membawanya sendiri. Tetapi kali ini aku menyerahkan semua kertas kertas
tersebut kepadanya.
“Sebagai
ganti karena kau telah memaksaku untuk hari ini. Lagi.” Matanya sedikit mematung
melihat kertas kertas tersebut sudah dipangkuan tangannya semua. “Kau
tahu? Ini sudah kali keempatnya dalam minggu ini kamu mengajakku, oh tidak.
Kamu memaksaku. Ya itu lebih tepat. Kau tahukan aku sedang sibuk minggu ini,
kenapa tidak kau ajak orang lain saja menemanimu. Kenapa harus aku?” Aku
berjalan sambil mengomel ngomel padanya yang tengah sibuk membereskan letak
kertas kertas ditangannya agar tidak jatuh berhamburan.
“Ya
tentu saja, kau tahu alasannya.” Jawabnya singkat
“Hah?
Kenapa?” aku meliriknya sambil membenarkan letak tas ransel yang tergantung
dipundakku. Kemudian menarik talinya sedikit lebih kencang. Karena aku merasa
sedikit lebih berat dari sebelumnya. Kupikir dengan tali yang tidak kendur akan
sedikit mengurangi beban dipundak.
“Kau
tidak tahu?” tanyanya seolah olah aku bisa membaca semua pikirannya.
“Tidak,
sudahlah katakan saja. Sebelum aku menyuruhmu atau memaksamu membawakan tas
ranselku. Cukup berat. Apalagi untuk menimpukmu.” Kata ku sambil memandangnya
dengan tatapan sok kejamku. Walaupun aku tahu itu tidak akan berhasil untuknya.
“Aku
mengajakmu, karena tentu saja kamu tidak akan sanggup menolak ajakanku.” Ia
tersenyum penuh kejahilan sambil menatapku. “ Jadi aku mengajakmu. Kalau aku
mengajak kawan lainnya pasti ada saja alasan yang akan mereka berikan karena
sibuk.”
Aku
benar benar menimpuknya kali ini. Namun dengan kepalan tanganku yang sejak tadi
menggenggam tali tas ransel. “Kau benar benar merepotkanku ya.” Kata ku sambil
memberi pukulan bertubi tubi pada pundaknya.
“Haha
sudahlah. Tetapi kau senangkan ku ajak jalan jalan seperti ini.” Senyum jailnya
lagi lagi muncul sambil menjulurkan lidah padaku dan mengelak dari serangan
bertubi-tubi ku. Tentu saja itu semakin membuatku kesal padanya.
“Kalau
begitu aku lebih baik pulang sekarang.”
Aku mulai ngambek dan berhenti berjalan. Jelas saja, dia benar benar
membuatku kesal sekali. Seharusnya aku bisa menahan diri dari ekspresi mukanya
yang selalu bisa menghipnotisku.
“Jangan
ngambek seperti itu. Yaudah deh, kita berhenti di pertokoan simpang sana, beli
eskrim ya. Setelah itu kau temani aku jalan jalan.” Ia menarik jemari tanganku
dan aku pun kembali berjalan. Tukan, lagi lagi dia selalu bisa membuatku tunduk
padanya. Mungkin karena eskrim. Atau karena ia menarik tanganku?
Setelah
tiba di sebuah toko tempat tujuan kami, aku segera membuka penggeser kulkas dan
memilih eskrim vanilla berlapiskan coklat, eskrim favoritku. “Hei, kamu tidak
mau eskrim? Mau rasa apa biar aku ambilkan?.Aku vanilla ya.” Kemudian aku
melirik lirik eskrim lainnya dalam kotak kulkas tersebut. “Hey, kamu yang rasa
wafer coklat ini saja ya. Aku belum pernah mencicipi yang rasa ini, jadi nanti
aku akan mencicipi punya mu sedikit.” Kata ku sambil mengambil eskrim untuknya
kemudian menutup kembali kotak kulkasya.
“Kenapa
mesti mencicipi punya ku?” tanyanya sedikit bingung sambil berjalan ke kasir
untuk membayar dua buah eskrim yang berada ditanganku.
“Ini
eskrim rasa baru, kita belum pernah mencobanyakan. Jadi kamu yang coba dulu,
nanti aku cicipi sedikit. Kalau enak kapan kapan aku akan beli. Kalau tidak
enak, kau harus menghabiskannya sendiri karena aku kan hanya mencicipi punyamu.
Kamu yang punya eskrim ini.” kataku panjang lebar memberikan penjelas padanya.
Sedetik kemudian aku merasakan sesuatu menyentuh kepalaku. Dia mengetuk ngetuk
kepalaku dengan jari telunjuknya.
“Hebat
ya kamu. Enak? Sini aku ketukin lagi kepalamu biar otakmu berjalan lebih mulus
untuk memikirkan ide yang lebih baik.” Aku mulai merasakan ketukan ketukan
lainnya yang sedikit lebih keras. Kemudian menghindar dari tangan nakalnya yang
sedang bergerak bebas mempermainkan telunjuk jarinya diatas kepalaku.
“Sakit
tau, kamu iseng kali.” Aku mencoba menghindar dari serangan ketukannya diatas
kepalaku.
“Kamu
sih, siapa suruh punya ide jail gitu. Memanfaat aku secara diam diam ya.”
Katanya setelah membayar di karsir. Kemudian kami pun berjalan beriringan di
koridor jalan. Tidak banyak lalu lintas sore ini. Mungkin karena belum waktunya jam pulang lagi, jadi belum
terlihat macet.
“Siapa
duluan yang memanfaatkan? Kamu kan yang memanfaatkanku, dengan memasang
eskpresi muka yang sulit ku tolak. Jadi ya, wajar dong aku balas dendam.” Aku
menjulurkan lidah padanya. Yes satu kosong pikirku.
“Iyaiya
deh boleh asal kamu senang dan tidak menimpukku lagi.” Katanya sambil tersenyum
kearahku. Akupun membalasnya.
Kami
berjalan kesebuah taman. Biasanya disana ramai pengunjung, namun sore ini
tidak, mungkin karena sedikit mendung. Kami memilih sebuah bangku panjang yang
didepannya terdapat air mancur yang mengalir indah dipancurannya. Disampingnya
terdapat beberapa macam bunga yang berwarna merah dan kuning, hampir mirip
bunga aster tetapi sepertinya berspecies lain. Disebelah kiri bangku yang kami
duduki terdapat beberapa ukiran patung angsa yang sedang bermain, seperti dalam
sebuah lingkaran kemudian juga kolamnya. Aku memerhatikan burung burung yang
sedang melintas diatasku, kemudian berhenti di atas kolam air pancur. Mungkin
hendak meneguk beberapa air untuk membasahkan kerongkongannya.
“Kau
lihat langit diatas sana. Mendung.” Katanya setelah beberapa saat kami duduk di
bangku. Ya aku bisa melihatnya. Sore ini langit memang sedikit lebih mendung
dari biasanya. Aku mulai mengetahui arah pembicaraanya.
“Makan
eskrim yuk. Cair nanti” usahaku mencairkan suasana yang mulai dingin ini. “Aku
cicipi sedikit eskrim rasa wafer cokelat punyamu ya.” Aku memberikan eskrim
padanya dari kantong plastik diatas pangkuanku. Setelah itu mulai membuka
plastik bagian atas eskrim ku sendiri. Dan langsung melahapnya.
“Bagaimana?”tanya ku setelah melihat ia memakan bagian atas eskrimnya.
“Apanya?”
“Eskrimnya,
enak?”
“Oh
eskrimnya. Haha kamu jadi mencicipinya?” ia menyodorkan eskrimnya dan mulai
tersenyum jahil kembali padaku. Aku jadi sedikit ragu mengambil eskrim tersebut
darinya.
“Kau
mengerjaiku. Enak atau tidak? Aku jadi ragu padamu. “ aku mulai memasang muka
masam padanya sambil tetap menikmati eskrim ku dengan sedikit rasa kesal.
Meskipun hampir tidak menikmati eskrim bagian ku sendiri garagaranya.
“Ayo,
ambil saja. Tadi katanya kau ingin mencicipi eskrim milik ku, eskrim yang kau
pilihkan dan kau paksakan untuk ku.” Ia mulai tertawa, sedikit keras. Mungkin
karena melihat ekspresi wajahku yang terlihat bodoh dibuat olehnya. Ku akui
untuk saat ini sepertinya aku benar benar dengan tidak sengaja memasang wajah
bodoh yang membuatnya pasti akan berkata ‘yes, satu kosong’. Ah. Aku sedikit
kesal dengan diriku. Aku benar benar bodoh sekarang menatapnya.
“Kau
tidak akan menunggu hingga eskrim ini cair diatas tanganku bukan? Atau kau
lebih suka eskrim ini mencair terlebih dahulu baru kau ingin mencicipinya?”
tawanya benar benar lepas kali ini. Aku terdiam dibuat olehnya. ‘ambil atau
tidak ya eskrimnya?’ pikirku dalam seluk batinku. ‘kalau aku cicipi eskrimnya,
ternyata tidak enak dan kemudian dia tidak membiarkanku mengembalikan eskrim
miliknya dengan kata lain aku terpaksa menghabiskan eskrim rasa baru yang tidak
enak tersebut sendiri, bagaimana?’ keraguanku mulai bertambah beberapa tingkat
ketika melihat senyum jahilnya yang tiada henti dipamerkan padaku. ‘atau
bagaimana jika ini hanya akal akalannya saja? Dia berpura pura memberikan
senyum maut kejahilannya itu agar aku berpikir bahwa eskrim tersebut tidak enak
kemudian aku tidak akan mencicipinya, karena dia takut aku ikut menghabiskan
eskrim miliknya’ aku benar benar dilanda rasa galau saat ini. Angin mulai
berhembus menyibakkan rambut bagian poni depannya. Aku terkesima sesaat.
“Kenapa
diam? Ambil eskrimnya.” Dia masih bertahan mengulurkan tangannya yang berisikan
eskrim tersebut sambil tetap memberikan senyum kejahilannya. Satu detik, dua
detik, tiga detik, empat detik. “Hahahaha” tawanya meledak kali ini. Kali ini
aku bukan terkesima karena poninya yang tersibak oleh angin yang bertiup,
tetapi karena ledakan tawanya. Tetapi kemudian aku ikut tertawa. Ah aku benar
benar terlihat bodoh kali ini di hadapannya.
Continued
No comments:
Post a Comment