Saturday, December 7, 2013

Still (Part 1)

Kau masih menatapku, sambil memasang muka memelas minta diberikan sebuah anggukan iya agar aku menyetujuinya. Ini sudah kali ke empatnya dalam minggu ini kau memintaku untuk menemanimu jalan jalan sore sambil memutar mutar kenanganmu. Ah kenangan. Selalu seperti itu. Setelah menyelesaikan beberapa fotokopian materi yang harus aku bagikan besok kepada anggota tim debat, akhirnya akupun memutuskan untuk menemaninya, kembali.

“Ok ok aku mengerti, jangan pernah memasang muka seperti itu lagi padaku. Jujur, aku takkan mampu menolaknya. Kau mengerti.” Sedikit seruan diakhir kalimat yang ku ucapkan seharusnya. Aku memang benar benar tidak pernah bisa menolaknya, terutama demi kepentingan dirinya. Dia sudah begitu mahir memasang ekspresi muka yang membuatku takkan pernah bisa menolak ajakannya selama keempat kalinya untuk minggu ini meskipun jadwal ku begitu padat.

“Begitulah, kau seharusnya bisa mengerti masa masa kritisku. Terlebih dalam minggu ini. Terimakasih.” Ucapmu begitu antusias sambil membantuku mengangkat beberapa kertas fotokopian ditanganku. Sebenarnya tidak cukup banyak, aku bisa membawanya sendiri. Tetapi kali ini aku menyerahkan semua kertas kertas tersebut kepadanya.

“Sebagai ganti karena kau telah memaksaku untuk hari ini. Lagi.” Matanya sedikit mematung melihat kertas kertas tersebut sudah dipangkuan tangannya semua. “Kau tahu? Ini sudah kali keempatnya dalam minggu ini kamu mengajakku, oh tidak. Kamu memaksaku. Ya itu lebih tepat. Kau tahukan aku sedang sibuk minggu ini, kenapa tidak kau ajak orang lain saja menemanimu. Kenapa harus aku?” Aku berjalan sambil mengomel ngomel padanya yang tengah sibuk membereskan letak kertas kertas ditangannya agar tidak jatuh berhamburan.

“Ya tentu saja, kau tahu alasannya.” Jawabnya singkat

“Hah? Kenapa?” aku meliriknya sambil membenarkan letak tas ransel yang tergantung dipundakku. Kemudian menarik talinya sedikit lebih kencang. Karena aku merasa sedikit lebih berat dari sebelumnya. Kupikir dengan tali yang tidak kendur akan sedikit mengurangi beban dipundak.

“Kau tidak tahu?” tanyanya seolah olah aku bisa membaca semua pikirannya.

“Tidak, sudahlah katakan saja. Sebelum aku menyuruhmu atau memaksamu membawakan tas ranselku. Cukup berat. Apalagi untuk menimpukmu.” Kata ku sambil memandangnya dengan tatapan sok kejamku. Walaupun aku tahu itu tidak akan berhasil untuknya.

“Aku mengajakmu, karena tentu saja kamu tidak akan sanggup menolak ajakanku.” Ia tersenyum penuh kejahilan sambil menatapku. “ Jadi aku mengajakmu. Kalau aku mengajak kawan lainnya pasti ada saja alasan yang akan mereka berikan karena sibuk.”

Aku benar benar menimpuknya kali ini. Namun dengan kepalan tanganku yang sejak tadi menggenggam tali tas ransel. “Kau benar benar merepotkanku ya.” Kata ku sambil memberi pukulan bertubi tubi pada pundaknya.

“Haha sudahlah. Tetapi kau senangkan ku ajak jalan jalan seperti ini.” Senyum jailnya lagi lagi muncul sambil menjulurkan lidah padaku dan mengelak dari serangan bertubi-tubi ku. Tentu saja itu semakin membuatku kesal padanya.

“Kalau begitu aku lebih baik pulang sekarang.”  Aku mulai ngambek dan berhenti berjalan. Jelas saja, dia benar benar membuatku kesal sekali. Seharusnya aku bisa menahan diri dari ekspresi mukanya yang selalu bisa menghipnotisku.

“Jangan ngambek seperti itu. Yaudah deh, kita berhenti di pertokoan simpang sana, beli eskrim ya. Setelah itu kau temani aku jalan jalan.” Ia menarik jemari tanganku dan aku pun kembali berjalan. Tukan, lagi lagi dia selalu bisa membuatku tunduk padanya. Mungkin karena eskrim. Atau karena ia menarik tanganku?

Setelah tiba di sebuah toko tempat tujuan kami, aku segera membuka penggeser kulkas dan memilih eskrim vanilla berlapiskan coklat, eskrim favoritku. “Hei, kamu tidak mau eskrim? Mau rasa apa biar aku ambilkan?.Aku vanilla ya.” Kemudian aku melirik lirik eskrim lainnya dalam kotak kulkas tersebut. “Hey, kamu yang rasa wafer coklat ini saja ya. Aku belum pernah mencicipi yang rasa ini, jadi nanti aku akan mencicipi punya mu sedikit.” Kata ku sambil mengambil eskrim untuknya kemudian menutup kembali kotak kulkasya.

“Kenapa mesti mencicipi punya ku?” tanyanya sedikit bingung sambil berjalan ke kasir untuk membayar dua buah eskrim yang berada ditanganku.

“Ini eskrim rasa baru, kita belum pernah mencobanyakan. Jadi kamu yang coba dulu, nanti aku cicipi sedikit. Kalau enak kapan kapan aku akan beli. Kalau tidak enak, kau harus menghabiskannya sendiri karena aku kan hanya mencicipi punyamu. Kamu yang punya eskrim ini.” kataku panjang lebar memberikan penjelas padanya. Sedetik kemudian aku merasakan sesuatu menyentuh kepalaku. Dia mengetuk ngetuk kepalaku dengan jari telunjuknya.

“Hebat ya kamu. Enak? Sini aku ketukin lagi kepalamu biar otakmu berjalan lebih mulus untuk memikirkan ide yang lebih baik.” Aku mulai merasakan ketukan ketukan lainnya yang sedikit lebih keras. Kemudian menghindar dari tangan nakalnya yang sedang bergerak bebas mempermainkan telunjuk jarinya diatas kepalaku.

“Sakit tau, kamu iseng kali.” Aku mencoba menghindar dari serangan ketukannya diatas kepalaku.

“Kamu sih, siapa suruh punya ide jail gitu. Memanfaat aku secara diam diam ya.” Katanya setelah membayar di karsir. Kemudian kami pun berjalan beriringan di koridor jalan. Tidak banyak lalu lintas sore ini. Mungkin karena  belum waktunya jam pulang lagi, jadi belum terlihat macet.

“Siapa duluan yang memanfaatkan? Kamu kan yang memanfaatkanku, dengan memasang eskpresi muka yang sulit ku tolak. Jadi ya, wajar dong aku balas dendam.” Aku menjulurkan lidah padanya. Yes satu kosong pikirku.

“Iyaiya deh boleh asal kamu senang dan tidak menimpukku lagi.” Katanya sambil tersenyum kearahku. Akupun membalasnya.

Kami berjalan kesebuah taman. Biasanya disana ramai pengunjung, namun sore ini tidak, mungkin karena sedikit mendung. Kami memilih sebuah bangku panjang yang didepannya terdapat air mancur yang mengalir indah dipancurannya. Disampingnya terdapat beberapa macam bunga yang berwarna merah dan kuning, hampir mirip bunga aster tetapi sepertinya berspecies lain. Disebelah kiri bangku yang kami duduki terdapat beberapa ukiran patung angsa yang sedang bermain, seperti dalam sebuah lingkaran kemudian juga kolamnya. Aku memerhatikan burung burung yang sedang melintas diatasku, kemudian berhenti di atas kolam air pancur. Mungkin hendak meneguk beberapa air untuk membasahkan kerongkongannya.

“Kau lihat langit diatas sana. Mendung.” Katanya setelah beberapa saat kami duduk di bangku. Ya aku bisa melihatnya. Sore ini langit memang sedikit lebih mendung dari biasanya. Aku mulai mengetahui arah pembicaraanya.

“Makan eskrim yuk. Cair nanti” usahaku mencairkan suasana yang mulai dingin ini. “Aku cicipi sedikit eskrim rasa wafer cokelat punyamu ya.” Aku memberikan eskrim padanya dari kantong plastik diatas pangkuanku. Setelah itu mulai membuka plastik bagian atas eskrim ku sendiri. Dan langsung melahapnya. “Bagaimana?”tanya ku setelah melihat ia memakan bagian atas eskrimnya.

“Apanya?”

“Eskrimnya, enak?”

“Oh eskrimnya. Haha kamu jadi mencicipinya?” ia menyodorkan eskrimnya dan mulai tersenyum jahil kembali padaku. Aku jadi sedikit ragu mengambil eskrim tersebut darinya.

“Kau mengerjaiku. Enak atau tidak? Aku jadi ragu padamu. “ aku mulai memasang muka masam padanya sambil tetap menikmati eskrim ku dengan sedikit rasa kesal. Meskipun hampir tidak menikmati eskrim bagian ku sendiri garagaranya.

“Ayo, ambil saja. Tadi katanya kau ingin mencicipi eskrim milik ku, eskrim yang kau pilihkan dan kau paksakan untuk ku.” Ia mulai tertawa, sedikit keras. Mungkin karena melihat ekspresi wajahku yang terlihat bodoh dibuat olehnya. Ku akui untuk saat ini sepertinya aku benar benar dengan tidak sengaja memasang wajah bodoh yang membuatnya pasti akan berkata ‘yes, satu kosong’. Ah. Aku sedikit kesal dengan diriku. Aku benar benar bodoh sekarang menatapnya.

“Kau tidak akan menunggu hingga eskrim ini cair diatas tanganku bukan? Atau kau lebih suka eskrim ini mencair terlebih dahulu baru kau ingin mencicipinya?” tawanya benar benar lepas kali ini. Aku terdiam dibuat olehnya. ‘ambil atau tidak ya eskrimnya?’ pikirku dalam seluk batinku. ‘kalau aku cicipi eskrimnya, ternyata tidak enak dan kemudian dia tidak membiarkanku mengembalikan eskrim miliknya dengan kata lain aku terpaksa menghabiskan eskrim rasa baru yang tidak enak tersebut sendiri, bagaimana?’ keraguanku mulai bertambah beberapa tingkat ketika melihat senyum jahilnya yang tiada henti dipamerkan padaku. ‘atau bagaimana jika ini hanya akal akalannya saja? Dia berpura pura memberikan senyum maut kejahilannya itu agar aku berpikir bahwa eskrim tersebut tidak enak kemudian aku tidak akan mencicipinya, karena dia takut aku ikut menghabiskan eskrim miliknya’ aku benar benar dilanda rasa galau saat ini. Angin mulai berhembus menyibakkan rambut bagian poni depannya. Aku terkesima sesaat.

“Kenapa diam? Ambil eskrimnya.” Dia masih bertahan mengulurkan tangannya yang berisikan eskrim tersebut sambil tetap memberikan senyum kejahilannya. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik. “Hahahaha” tawanya meledak kali ini. Kali ini aku bukan terkesima karena poninya yang tersibak oleh angin yang bertiup, tetapi karena ledakan tawanya. Tetapi kemudian aku ikut tertawa. Ah aku benar benar terlihat bodoh kali ini di hadapannya.



Continued

No comments:

Post a Comment