"Hei,
pernah mengalami ’kehilangan’? Bagaimana rasanya? Apakah hidup terasa jauh
lebih berat dari kemarin? Ada berapa macam bentuk kehilangan yang pernah kamu
rasakan? Kalau harus merasakan kehilangan lagi, apakah kamu siap? Sudah sesiap
apa?"
Beberapa
waktu belakangan ini, circle pertemanan saya sedang banyak berduka.
Dunia memang masih belum membaik, teman. Apakah harimu cukup baik untuk kamu
lewatkan sendirian tanpa merasa perlu berbagi sedikit rasa sakit?
Beberapa
hari menjelang Idul Fitri, notif di HP bertebaran ucapan berduka. Salah satu teman
saya kehilangan ibunya. Tak berapa lama setelah notif digrub ramai, masuklah
sebuah pesan pribadi, sebut saja namanya Mawar.
“Kak,
Mawar enggak kebayang gimana rasanya meninggal orang tua di hari-hari menjelang
lebaran.”
Menerima
pesan itu, saya merenung sejenak. Benar.
Kita
bahkan mempersiapkan segala urusan yang bersangkutan dengan lebaran bersama
mereka. Seperti memilih dresscode lebaran, jenis-jenis kue kering dalam toples,
lontong/ketupat dihari lebaran, dekorasi rumah, dan segala bentuk per-lebaran-an
lainnya. Tetapi, saat hari lebaran tiba, justru sosoknya sudah tidak bersama
kita lagi untuk menikmati semua keriweuhan yang sudah dipersiapkan.
Selang
seminggu setelah Mawar mengirimkan chat tersebut, malam hari pukul 22.30, notif
dari Mawar kembali masuk.
“Kak,
Ayah Mawar meninggal, sekitar 21.50 tadi”. Saya membaca 2 kali pesan
tersebut, untuk memastikan itu benar dari Mawar. Tanpa menunggu perintah
siapapun, saya segera menekan tombol panggilan. Sambil menunggu suara
diseberang sana mengangkat telfon, keresahan menyelimuti seluruh tubuh. Saya
cemas, jika tiba-tiba lidah ini bisu, tidak ada satu katapun yang dapat keluar.
Tak lama, terdengar suaranya.
“Halo
kak.” ucapnya. Nada bicaranya memang berbeda dari yang biasa. Tapi saya
tau, saat itu ia sedang tidak menangis (atau sudah selesai menangis sejak
tadi).
Kami
tak mengobrol lama, saya hanya tau sedikit kronologisnya. Sebab Mawar sedang
menuju klinik untuk melakukan rapid tes dan akan pulang ke rumah esok pagi. Ia
sedang berada diluar kota karena bekerja, jadi saat mendapat kabar duka
tersebut, saya rasa ia sedang sendirian di kos nya. Saya menawari untuk
menjemputnya di bandara esok hari ketika ia tiba. Setelah menunggu dan tidak
ada kabar, pesan dari Mawar esok hari kembali masuk. Ia mengabarkan bahwa ia
dijemput oleh saudaranya dan sudah di rumah mau melakukan shalat jenazah.
Hanya
berselang seminggu dari pernyataan Mawar. Kehilangan bisa secepat itu, tanpa
memberi celah untuk kita bersiap. Saya jadi ingat salah satu pertanyaan saya
pada seseorang beberapa waktu lalu. Ia baru saja mengalami salah satu bentuk
kehilangan yang berbeda dari yang Mawar rasakan. Kehilangan membuatnya
melakukan aktivitas tanpa rasa. Mati rasa. Lalu saya bertanya padanya. “Dari
semua kehilangan yang sudah pernah kamu rasakan, kalau kamu harus kehilangan
lagi, apa kamu siap?” Ia diam.
“Enggak
ada orang yang pernah siap dengan kehilangan. Bahkan ketika kita sudah melalui
berbagai macam bentuk kehilangan, tetap saja, kehilangan bukan sesuatu yang
harus kita syukuri seperti bentuk syukur lainnya. Tetapi, akan selalu ada
hikmah dari kehilangan, hikmah itu yang perlu kita syukuri.”