Saturday, June 19, 2021

Tenggelam Dalam Diam

Bulan lalu, sebuah film documenter muncul di beranda youtube saya. Judulnya sangat estetik, Tenggelam Dalam Diam, dengan tampilan tumbnail yang tak kalah estetik juga. Tapi baru benar-benar saya tonton dibulan Juni ini. Jujur, ini adalah video dokumenter Watchdoc Documentary durasi terpanjang perdana yang saya tonton, yaitu sekitar 1 jam. Nontonnya selalu nyicil, dan baru saya selesaikan setelah satu minggu. Yang menarik perhatian saya, pembukaan dokumenter ini disajikan dalam bentuk dua percakapan orang, yaitu Doly Harahap dan Irene Barlian. Irene, serorang fotografer documenter, menelfon Doly, seorang pemusik sekaligus fotografer, mengajaknya terjun dalam sebuah projek mengenai krisis iklim. Mereka berdua berpencar menyusuri pesisir pantai utara Pulau Jawa untuk menangkap gambaran realita yang terjadi. Irene berangkat dari Surabaya, dan Doly berangkat dari Jakarta. Mereka memutuskan untuk bertemu di Jawa Tengah sambil mengerjakan projek tersebut. Yang membuat ini tambah menarik lagi adalah, mereka berdua mengajak orang-orang yang berbeda tiap menyulusuri daerah baru, rata-rata dari mereka adalah pekerja seni.


Doly memulai perjalanannya dari daerah Muara Batu, sebuah teluk di Jakarta. Sedangkan Irene dari Mangare, Gresik, Jawa Timur. Dari Film Dokumenter Tenggelam Dalam Diam ini, saya jadi tau tentang realita daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Miris. Permukaan air laut jadi lebih tinggi dari daratan karena setiap tahunnya permukaan air laut terus naik. Wilayah ini diselamatkan oleh tanggul yang memisahkan antara laut dan pemukiman. Sejak dibangun, tanggul tersebut sudah tiga kali ditinggikan karena air laut terus naik. Belum lagi rembesan air dari bawah karena tekanan air laut yang membuat warga harus memompa dan membuang air rembesan tersebut kembali ke laut. Persoalan warga Muara Batu tidak hanya itu, mereka bahkan sulit mendapatkan air bersih untuk mandi, mencuci dsb. Dengan mayoritas penduduk adalah golongan menengah ke bawah, mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk sekedar membeli air bersih. Sedih saat menonton bagian ini. Belum lagi mereka harus memikirkan biaya biaya untuk kebutuhan lainnya.
 
Saya jadi ingat apa yang Doly katakan. Sampai kapan tanggul tersebut bertahan dan menjadi penyelamat Ibu Kota Jakarta? Karena permukaan air laut terus naik dan permukaan tanah di Jakarta turun setiap tahun sekitar 2.5 cm menurut Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia.


Di sisi lain, Irene bersama Ade Putri (pencerita kuliner Indonesia) menyusuri Kawasan tambak di Pulau Mengare, yang kini menyatu dengan pulau Jawa akibat pengendapat lumpur sungai bengawan solo. Tambak tersebut menghasilkan ikan bandeng yang kian berkurang akibat tanggul penahan arus air laut hancur, serta abrasi yang terjadi. Ada satu scene yang sangat menyentuh menurut saya, itu adalah saat Irene dan Ade Putri menghampiri pekerja di tambak. Mereka sedang membangun tanggul dengan tanah dan lumpur secara manual.
“Jadi kalau ini nanti ombaknya besar, tambak di sini bisa hilang, Pak?”
“Ya kalau enggak dibentengi dengan tanggul, enggak gini. Bisa hancur.”
“Sejauh ini efektif, Pak?”
(Si Bapak diam sejenak) “Untuk sementara aja.”
“Berapa lama itu?”
“Paling lama, setengah tahun.”
 
Mereka terkejut dan saling tatap-tatapan. Saya justru semakin merinding saat melihat mereka ikut terkejut dan bertatapan. Bagaimana tidak. Tanggul yang dibangun dari tanah lumpur yang entah berapa lama pengerjaannya itu, hanya bertahan ‘paling lama setengah tahun’.


Selama ini pohon pohon mangrovelah yang ikut menyelamatkan tambak dan daratan dari abrasi. Saya jadi belajar sedikit tentang jenis mangrove. Untuk melindungi tambak dari arus laut, tidak boleh sembarangan menanam mangrove. Ada beberapa jenis mangrove, seperti bentuk akar yang keluar dari batang pohon lalu menancap ke tanah, dan ada juga akar yang muncul dari bawah tanah muncul ke atas.
 
Perjalanan terus membawa mereka bertemu dan melihat realita baru. Berbagi tentang temuan yang sudah mereka kumpulkan dengan masyarakat, bertemu dengan para musisi yang lagu-lagunya menceritakan tentang lingkungan dan sosial, dan juga mengunjungi langsung rumah warga yang terendam air. Ternyata, daerah pesisir memang sangat terancam dengan banjir rob, banjir yang disebabkan oleh permukaan air laut yang menutupi daratan. Sebagian dari masyarakat yang hidup dipemukiman yang sudah tergenang air selama beberapa tahun terakhir, memilih pindah. Sisanya bertahan karena beberapa alasan. Mereka yang bertahan, terpaksa menimbun lantai rumah setiap tahunnya. Mirisnya, karena terus ditimbun, isi rumah semakin sempit, bahkan kepala bisa menyentuh sisi atap jika tidak berjalan sambil menunduk.
 
 



Di daerah Tambakrejo terdapat area pemakaman umum, yang bisa dikunjungi hanya saat air laut sedang surut. Menurut pengakuan salah satu warga yang anggota keluarganya dimakamkan di sana, beberapa kerangka anggota keluarga yang sudah meninggal dipindahkan oleh keluarganya, sisanya tetap di sana, tenggelam.


Ada hal keren yang saya tangkap dari penyelusuran mereka di daerah-daerah yang rawan terkena banjir. Selain masyarakat diajak untuk ikut menahan laju abrasi dengan menanam mangrove, mereka juga berinisiatif mengolah tanaman mangrove menjadi aneka olahan makanan. Seperti produk dari buah mangrove yang dibuat sirup, dodol, stik, kerupuk, dan sebagainya.
 
Krisis iklim memang membawa dampak pada anomali cuaca dan abrasi yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat di pesisir utara Jawa. Seorang pengelola tanaman mangrove di Pekalongan, berinisiatif menanam mangrove karena takut akan terkena tsunami seperti di Aceh. Namun kini justru usahanya dalam menanam mangrove berperan penting dalam menahan laju abrasi. Meskipun menanam mangrove bukanlah solusi utama dalam mengatasi krisis iklim, setidaknya ini bisa menjadi langkah awal dalam menahan abrasi.
 
Cepat pulih, Bumi.

No comments:

Post a Comment