“Berhari-hari, tapi sepi tak kunjung
berganti”
Tubuhku mulai lunglai. Sinar matahari yang masuk ke mata semakin redup.
Padahal sore belum terlalu larut. Tapi rasanya tak ada lagi daya yang mampu
membuka mata ini menjadi sedikit lebih lebar.
Langkahnya tiba di puncak tangga terakhir. Perlahan menapaki lantai
yang entah terbuat dari bahan apa. Tak ada deskripsi yang tepat. Mata ini
terlalu lelah. Ia menghempaskan jaket abu-abu berbahan, aah sudah ku katakan,
mata ini benar-benar lelah. Tak tau bahan jaket apa yang ia gunakan. Yang
terlihat dari pelupuk mata yang lelah ini hanya seuntai jaket berwarna abu-abu.
Itu pun jika benar.
Jaketnya tergeletak di atas tas ransel biru muda kesukaanku. Ya, warna
tas nya adalah warna favorit ku. Entah itu menjadi warna favoritnya juga atau
tidak.
Lamunanku pecah. Ternyata kehadirannya benar-benar ada. Ku pikir, ini
sama seperti beberapa saat lalu. Imajinasi-imajinasiku yang nakal, membayangkan
kehadirannya. Menyuguhkan secangkir teh hangat. Tidak, bukan teh hangat.
Sebungkus eskrim cokelat dan vanilla.
Ini benar. Bukan hanya imajinasi, apalagi khayalanku. Lantas apa
bedanya? Aaah aku tidak peduli. Yang terpenting saat ini, dia nyata. Matanya
menatapku iba. Iba? Tidak, bisakah tatapan itu digantikan dengan sebuah tatapan
yang berarti “Kamu lelah? Sini, kamu pasti butuh sandaran”. Kemudian tersenyum,
manis, manis sekali hingga aku lupa bahwa ini masih menjadi imajinasi.
No comments:
Post a Comment