Ini hari rabu.
Saya berada di kampus dan sekitarnya untuk setengah hari ini, ada hal yang
harus saya lakukan. Pukul 9 lewat saya sudah tiba di kampus, memasuki ruang
administrasi jurusan dan bertemu dengan kakak cantik bernama Kak Andri. Saya
menanyakan beberapa info terkait transkip nilai. Singkat cerita saya harus
mengurusnya di ruang akademik fakultas. Jadi di sanalah saya bolak balik,
memberikan secarik kertas dengan transkip nilai untuk di tanda tangani oleh
kepala akademiknya. Namun, perjuangan saya untuk memulai pagi yang tidak
membosankan tidak cukup sampai di situ. Saya harus meminta tanda tangan
perwalian saya terlebih dahulu sebagai mengetahui, yaitu Pak Saiful. Hampir
satu jam saya menunggu beliau di kantornya yang terletak tidak terlalu jauh
dari kampus. Kemudian Kak Una datang, saya langsung menghampirinya dan
menanyakan tentang Bapak, apakah ia akan datang ke kantor hari ini. Mendengar
penjelasan Kak Una, akhirnya saya meminta izin pamit dan akan kembali pukul 2
siang untuk menemui bapak.
Saya kembali lagi
ke kampus, mengambil berkas yang saya butuhkan. Saat di parkiran dengan pikiran
melayang-layang memikirkan apa yang harus saya lakukan saat ini sambil menunggu
pukul 2 siang, seorang teman menyapa saya. Ternyata ia menjadi korban PHP dosen
saat itu, mata kuliah yang seharusnya masuk pukul 11.30 ditiadakan. Ia pun
mengajak saya pergi ke kos-annya. Setelah berpikir satu menit saya
menyetujuinya. Jadi beradalah saya di kos-annya selama dua jam hingga pukul
13.30 sambil berbagi cerita dan meng-kepo-kan instagram orang-orang kece. Ok,
bagian terakhir lupakan saja.
Pukul 13.10 tiba,
saya mengambil wudhu dan shalat zuhur, setelah itu berkemas untuk ke kampus.
Saya harus mengembalikan buku cerita (novel inspiratif) pada Aldi, yang saya
pinjam dua bulan lalu mungkin, atau tiga bulan lalu? Entahlah, sudah cukup lama saya
meminjamnya, namun baru beberapa hari ini saya dapat menyelesaikan buku tersebut. Juga
sebuah buku pelajaran mata kuliah yang sedang di ambil selama semester pendek
oleh beberapa teman saya.
Deru motor saya
kembali menghiasi jalanan yang tidak terlalu sepi siang itu. Mengitari satu
arah jalan kampus dan kemudian memarkirkan motor saya di depan kantor Pak
Saiful, berharap ia akan ada di sana. Saya menunggu di ruang tunggu selama
beberapa menit, kemudian Pak Saiful datang, namun bukan untuk menghampiri saya,
melainkan seorang wanita paruh baya yang juga sedang
menunggu Pak Saiful. Saya menyibukkan diri dengan smartphone di tangan kanan saya, membuka situs-situs informasi dari
facebook yang di share oleh
orang-orang. Tidak berapa lama kemudian Pak Saiful menghampiri dan berbicara,
menyuruh saya untuk menunggu. Saya meng-iya-kannya dengan harapan agar ia tidak
lupa bahwa saya sedang menunggunya –menunggu tanda tangannya.
Ruang tunggu
sudah sunyi, dan beberapa staf yang awalnya duduk di ruang dekat ruang tunggu
pun pergi ke ruang rapat bersama Pak Saiful. “Sepertinya saya akan menunggu lama”, batin saya melukai sedikit
harapan yang telah saya tumbuhkan. Tidak ingin membangun pikiran negatif, saya
langsung memasang headset pada
telinga dan memutar lagu Ed Sheeran – Thinking out loud. Empat lagu sudah saya
lewati sambil bernyanyi dengan suara kecil. Tanpa saya duga, Pak Saiful datang
menghampiri saya sambil mengantar wanita yang tadi ditemuinya. Setelah saling
mengucapkan salam, Pak Saiful melihat ke arah saya dan menanyakan apa yang
dapat ia bantu. Saya langsung menceritakan keperluan saya.
Setelah selesai ‘urusan’
yang saya butuhkan, saya sedikit bercerita tentang ‘kekecewaan’ saya terhadap
sebuah mata kuliah yang menurut saya itu ‘tidak adil’. Tetapi mau bagaimana
lagi, Pak Saiful terus menyemangati saya untuk jangan menyerah, kejar kembali
harapan-harapan itu di semester berikutnya. Jiwa saya menjadi lebih tenang dan
ikhlas terhadap apa yang saya dapatkan, itu adalah yang terbaik buat saya. Alhamdulillah.
Tiba-tiba Pak
Saiful menanyakan tentang sebuah aktifitas di luar kampus saya. Saya sedikit
terkejut mendengarnya. Dari mana bapak bisa tahu mengenai hal itu, seingat
saya, saya tidak pernah menceritakan hal tersebut. Tetapi, mungkin dari
seseorang, ya seseorang yang sekilas pernah saya ceritakan mengenai hal itu. “Lalu
bagaimana? Kenapa tidak?” tanya Pak Saiful kembali. Hmm saya berpikir untuk
sesaat. “Di sana saya seperti menjadi pencilan, Pak. Blablablablaa. Oleh karena
itu, mungkin saya memang tidak ditakdirkan untuk blablablaa.” Saya menceritakan
pengalaman yang saya lalui sebulan lalu itu, bagaimana saya merasa benar-benar
menjadi makhluk yang berbeda di antara mereka. “Baiklah kalau begitu,
sepertinya kita bisa membuat club sendiri, yang tidak membuat kamu menjadi
pencilan.” Pak saiful tertawa usai mengutarakan kalimat tersebut. Saya pun
begitu antusias mendengarnya, ada rasa bahagia dari lubuk hati saya, ternyata
sejauh ini masih ada yang mendukung saya –dosen wali saya sendiri. “Boleh pak,
saya begitu senang dan bersemangat. Kapan bisa kita buat, pak?” tanya saya
tanpa sabar. “Secepatnya.” Jawaban yang tidak pernah saya duga, saya tertawa
dalam kebahagiaan. Secepatnya. “Baiklah, Pak.” Saya merasa hidup kembali setelah
melewati masa-masa seperti menjadi pencilan tersebut. Terimakasih, Pak, untuk
mendengar keluhan saya hari ini, dan juga untuk semangat serta motivasi dari
bapak. I feel better now.
Beginilah
hidup.
Ada
hal-hal kecil yang tanpa kita sadari bisa membuat kita bahagia. Terkadang tidak
mudah, ada lika-liku yang harus dilalui. Namun, ketika sabar
menyelimuti setiap langkah kita yang terkadang sudah teramat lelah, maka buah
hasil jerih payah yang kita peroleh akan sebanding, bahkan lebih dari itu.
Ini
sepenggal cerita kebahagiaan yang tidak saya rencanakan untuk hari ini. Bagaimana
ceritamu?
#Fasting14
No comments:
Post a Comment