Wednesday, July 1, 2015

Sepenggal Cerita Hari Ini



Ini hari rabu. Saya berada di kampus dan sekitarnya untuk setengah hari ini, ada hal yang harus saya lakukan. Pukul 9 lewat saya sudah tiba di kampus, memasuki ruang administrasi jurusan dan bertemu dengan kakak cantik bernama Kak Andri. Saya menanyakan beberapa info terkait transkip nilai. Singkat cerita saya harus mengurusnya di ruang akademik fakultas. Jadi di sanalah saya bolak balik, memberikan secarik kertas dengan transkip nilai untuk di tanda tangani oleh kepala akademiknya. Namun, perjuangan saya untuk memulai pagi yang tidak membosankan tidak cukup sampai di situ. Saya harus meminta tanda tangan perwalian saya terlebih dahulu sebagai mengetahui, yaitu Pak Saiful. Hampir satu jam saya menunggu beliau di kantornya yang terletak tidak terlalu jauh dari kampus. Kemudian Kak Una datang, saya langsung menghampirinya dan menanyakan tentang Bapak, apakah ia akan datang ke kantor hari ini. Mendengar penjelasan Kak Una, akhirnya saya meminta izin pamit dan akan kembali pukul 2 siang untuk menemui bapak.

Saya kembali lagi ke kampus, mengambil berkas yang saya butuhkan. Saat di parkiran dengan pikiran melayang-layang memikirkan apa yang harus saya lakukan saat ini sambil menunggu pukul 2 siang, seorang teman menyapa saya. Ternyata ia menjadi korban PHP dosen saat itu, mata kuliah yang seharusnya masuk pukul 11.30 ditiadakan. Ia pun mengajak saya pergi ke kos-annya. Setelah berpikir satu menit saya menyetujuinya. Jadi beradalah saya di kos-annya selama dua jam hingga pukul 13.30 sambil berbagi cerita dan meng-kepo-kan instagram orang-orang kece. Ok, bagian terakhir lupakan saja.

Pukul 13.10 tiba, saya mengambil wudhu dan shalat zuhur, setelah itu berkemas untuk ke kampus. Saya harus mengembalikan buku cerita (novel inspiratif) pada Aldi, yang saya pinjam dua bulan lalu mungkin, atau tiga bulan lalu? Entahlah, sudah cukup lama saya meminjamnya, namun baru beberapa hari ini saya dapat menyelesaikan buku tersebut. Juga sebuah buku pelajaran mata kuliah yang sedang di ambil selama semester pendek oleh beberapa teman saya.

Deru motor saya kembali menghiasi jalanan yang tidak terlalu sepi siang itu. Mengitari satu arah jalan kampus dan kemudian memarkirkan motor saya di depan kantor Pak Saiful, berharap ia akan ada di sana. Saya menunggu di ruang tunggu selama beberapa menit, kemudian Pak Saiful datang, namun bukan untuk menghampiri saya, melainkan seorang wanita paruh baya yang juga sedang menunggu Pak Saiful. Saya menyibukkan diri dengan smartphone di tangan kanan saya, membuka situs-situs informasi dari facebook yang di share oleh orang-orang. Tidak berapa lama kemudian Pak Saiful menghampiri dan berbicara, menyuruh saya untuk menunggu. Saya meng-iya-kannya dengan harapan agar ia tidak lupa bahwa saya sedang menunggunya –menunggu tanda tangannya.

Ruang tunggu sudah sunyi, dan beberapa staf yang awalnya duduk di ruang dekat ruang tunggu pun pergi ke ruang rapat bersama Pak Saiful. “Sepertinya saya akan menunggu lama”, batin saya melukai sedikit harapan yang telah saya tumbuhkan. Tidak ingin membangun pikiran negatif, saya langsung memasang headset pada telinga dan memutar lagu Ed Sheeran – Thinking out loud. Empat lagu sudah saya lewati sambil bernyanyi dengan suara kecil. Tanpa saya duga, Pak Saiful datang menghampiri saya sambil mengantar wanita yang tadi ditemuinya. Setelah saling mengucapkan salam, Pak Saiful melihat ke arah saya dan menanyakan apa yang dapat ia bantu. Saya langsung menceritakan keperluan saya.

Setelah selesai ‘urusan’ yang saya butuhkan, saya sedikit bercerita tentang ‘kekecewaan’ saya terhadap sebuah mata kuliah yang menurut saya itu ‘tidak adil’. Tetapi mau bagaimana lagi, Pak Saiful terus menyemangati saya untuk jangan menyerah, kejar kembali harapan-harapan itu di semester berikutnya. Jiwa saya menjadi lebih tenang dan ikhlas terhadap apa yang saya dapatkan, itu adalah yang terbaik buat saya. Alhamdulillah.

Tiba-tiba Pak Saiful menanyakan tentang sebuah aktifitas di luar kampus saya. Saya sedikit terkejut mendengarnya. Dari mana bapak bisa tahu mengenai hal itu, seingat saya, saya tidak pernah menceritakan hal tersebut. Tetapi, mungkin dari seseorang, ya seseorang yang sekilas pernah saya ceritakan mengenai hal itu. “Lalu bagaimana? Kenapa tidak?” tanya Pak Saiful kembali. Hmm saya berpikir untuk sesaat. “Di sana saya seperti menjadi pencilan, Pak. Blablablablaa. Oleh karena itu, mungkin saya memang tidak ditakdirkan untuk blablablaa.” Saya menceritakan pengalaman yang saya lalui sebulan lalu itu, bagaimana saya merasa benar-benar menjadi makhluk yang berbeda di antara mereka. “Baiklah kalau begitu, sepertinya kita bisa membuat club sendiri, yang tidak membuat kamu menjadi pencilan.” Pak saiful tertawa usai mengutarakan kalimat tersebut. Saya pun begitu antusias mendengarnya, ada rasa bahagia dari lubuk hati saya, ternyata sejauh ini masih ada yang mendukung saya –dosen wali saya sendiri. “Boleh pak, saya begitu senang dan bersemangat. Kapan bisa kita buat, pak?” tanya saya tanpa sabar. “Secepatnya.” Jawaban yang tidak pernah saya duga, saya tertawa dalam kebahagiaan. Secepatnya. “Baiklah, Pak.” Saya merasa hidup kembali setelah melewati masa-masa seperti menjadi pencilan tersebut. Terimakasih, Pak, untuk mendengar keluhan saya hari ini, dan juga untuk semangat serta motivasi dari bapak. I feel better now.

Beginilah hidup.
Ada hal-hal kecil yang tanpa kita sadari bisa membuat kita bahagia. Terkadang tidak mudah, ada lika-liku yang harus dilalui. Namun, ketika sabar menyelimuti setiap langkah kita yang terkadang sudah teramat lelah, maka buah hasil jerih payah yang kita peroleh akan sebanding, bahkan lebih dari itu.

Ini sepenggal cerita kebahagiaan yang tidak saya rencanakan untuk hari ini. Bagaimana ceritamu?

#Fasting14

No comments:

Post a Comment