Thursday, July 2, 2015

Do Not Be Weak



“Saya lelah, Bi. Coba kamu bayangin,setiap hari harus diperlakukan seperti itu. Kamu pikir, rasanya enak apa jadi saya? Yang selalu dianggap ketika mereka membutuhkan saya. Saya bukan barang, Bi.” Matanya mulai padam oleh sinar, sayup-sayup seperti pasir yang disirami ombak, lembab. Dia tidak menangis, jiwanya masih kuat.
“Sudahlah, meskipun saya tidak tahu rasanya menjadi seperti kamu, ayo bangkit. Kamu jangan mau terus-terusan diperlakukan seperti ini. Saya bantu kamu, kita berjalan sama-sama. Kita cari tujuan kita, meski tanpa mereka. Ayo, Fee.” Kesabaranku masih tersisa beberapa senti meter kubik lagi dalam kepalaku, entahlah. Tetapi aku benar-benar tidak ingin melihatnya terjatuh seperti ini lagi.

Kemarin, aku melihatnya masih tertawa bersama mereka, mereka yang sampai hari ini melihat Fela hanya dari satu sisi saja, sisi kapan mereka membutuhkannya. Mereka sering melakukan hal-hal yang aku pikir terlalu menarik ulur hati Fela, tetapi kemudian menendangnya sekuat tenaga mereka. Seperti beberapa jam lalu, saat mereka sedang duduk di depan lapangan basket. Fela sedang berjalan di koridor depan kelasnya, kemudian salah satu dari mereka meneriaki namanya, menyuruhnya untuk segera ke lapangan basket, duduk bersama mereka. Fela berusaha menolak dan menjelaskan keperluannya untuk menemui seorang guru di perpustakaan karena telah membuat janji. Tetapi tanpa berpikir panjang lebar dan hanya menuruti hawa nafsu, mereka tetap memaksa Fela dengan caranya untuk tidak menemui sang guru. Satu lawan Sembilan, sudah tahu mana yang akan menang. Fela pun duduk dengan sedikit rasa enggan di samping mereka, mendengar cerita-cerita dan tawa mereka. Ia tidak bisa tertawa lebar seperti mereka, di benaknya hanya ada ingatan sebuah janji dengan seorang guru.

Dua puluh menit berlalu. Seorang dari mereka mengeluh lapar dan mengajak mencari makanan. Bincang demi bincang akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke salah satu cafe seberang jalan sekolah. Tanpa basa-basi yang terlalu panjang lagi, salah satu dari mereka berbicara pada Fela. “Oya Fee, kamu ada janji sama gurukan katamu tadi. Yaudah gih, temuin tuh guru.” Mendengar ucapan tersebut membuat Fela terkejut. Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulur Fela, mereka ber-9 pergi meninggalkan Fela begitu saja. Fela langsung berlari ke perpustakaan mencari sang guru yang hendak di temuinya. Setelah mencari-cari ternyata sang guru sudah tidak ada di perpuskatakaan. Fela bertanya kepada pustakawan apakah sang guru berada di perpustakaan beberapa menit lalu. Penjelasan pustakawan tersebut membuat hati Fela hancur. Sang guru kesal padanya karena ia tak kunjung datang, kemudian pulang dan menitipkan sebuah buku pada pustakawaan untuk di berikan pada Fela. Sambil memegang buku bersampul cokelat tua itu, Fela keluar dari perpustakaan dengan wajah lesu dan mata memerah. Dan di sinilah dia bersama ku, sedang duduk dengan wajah yang tak seceria biasanya.

“Saya marah, saya ingin berteriak sama mereka supaya jangan kacaukan hidup saya lagi, Bi. Tapi bagaimana? Mereka terlalu mudah membuat saya jungkir balik seperti tadi. Setelah mengajak saya berbincang-bincang cukup lama, tanpa sedikitpun ada niat untuk mengajak saya pergi makan bersama mereka. Rasanya, saya itu apa? Barang? Sampah? Saya lelah, Bi.”
Mata Fela semakin memerah. Tiba-tiba bahunya bergetar, tangisnya pecah dan mengalir hingga menetas dari dagu. Aku langsung memeluknya.
“Kemarin-kemarin kamu tidak pernah menangis meski diperlakukan seperti itu oleh mereka. Kenapa hari ini kamu bisa menangis?” aku masih memeluknya, mengelus punggungnya yang masih bergetar. Ia tidak pernah menangis dan bergetar seperti ini sebelumnya.
“Saya lelah, Bi. Saya sudah tidak sanggup.” Ucapannya tersembunyi oleh isak tangis. Aku masih memeluknya.
“Yasudah, mulai sekarang jangan pernah pedulikan mereka lagi. Mereka begitu karena kamu lemah, Fee. Kamu harus kuat. Lawan mereka, lawan ajakan mereka. Kamu harus bangkit dan terlepas dari mereka. Ayolah, bukan hanya mereka temanmu, Fee.” Entahlah, kalimat seperti apalagi yang harus ku utarakan pada Fela.
“Buat saya bangkit, Febi. Saya tidak ingin lagi lemah dihadapan mereka. Buat saya kuat.”

Aku tersenyum padanya. “Ayo kita bangkit.” Aku sedikit melepas pelukan padanya, kemudian menghapus sisa air matanya. “Tidak boleh nangis lagi. Fela yang saya kenal harus jadi orang kuat.” Kemudian senyumnya sedikit mengembang disela titik-titik air matanya yang kian memudar di tiup angin.

Sayang Fela, ia sudah terlalu lelah selama ini. Sekarang bukan lagi masanya mereka menyuruh-nyuruh Fee sesuka hati, tetapi Fee akan berdiri tegak di hadapan mereka dan berkata “Tidak” dengan lantang.



#Fasting15

No comments:

Post a Comment