“Saya lelah, Bi. Coba kamu
bayangin,setiap hari harus diperlakukan seperti itu. Kamu pikir, rasanya enak
apa jadi saya? Yang selalu dianggap ketika mereka membutuhkan saya. Saya bukan
barang, Bi.” Matanya mulai padam oleh sinar, sayup-sayup seperti pasir yang
disirami ombak, lembab. Dia tidak menangis, jiwanya masih kuat.
“Sudahlah, meskipun saya
tidak tahu rasanya menjadi seperti kamu, ayo bangkit. Kamu jangan mau terus-terusan
diperlakukan seperti ini. Saya bantu kamu, kita berjalan sama-sama. Kita cari
tujuan kita, meski tanpa mereka. Ayo, Fee.” Kesabaranku masih tersisa beberapa
senti meter kubik lagi dalam kepalaku, entahlah. Tetapi aku benar-benar tidak
ingin melihatnya terjatuh seperti ini lagi.
Kemarin, aku melihatnya masih
tertawa bersama mereka, mereka yang sampai hari ini melihat Fela hanya dari
satu sisi saja, sisi kapan mereka membutuhkannya. Mereka sering melakukan
hal-hal yang aku pikir terlalu menarik ulur hati Fela, tetapi kemudian
menendangnya sekuat tenaga mereka. Seperti beberapa jam lalu, saat mereka
sedang duduk di depan lapangan basket. Fela sedang berjalan di koridor depan
kelasnya, kemudian salah satu dari mereka meneriaki namanya, menyuruhnya untuk
segera ke lapangan basket, duduk bersama mereka. Fela berusaha menolak dan
menjelaskan keperluannya untuk menemui seorang guru di perpustakaan karena
telah membuat janji. Tetapi tanpa berpikir panjang lebar dan hanya menuruti
hawa nafsu, mereka tetap memaksa Fela dengan caranya untuk tidak menemui sang
guru. Satu lawan Sembilan, sudah tahu mana yang akan menang. Fela pun duduk
dengan sedikit rasa enggan di samping mereka, mendengar cerita-cerita dan tawa
mereka. Ia tidak bisa tertawa lebar seperti mereka, di benaknya hanya ada ingatan
sebuah janji dengan seorang guru.
Dua puluh menit berlalu. Seorang
dari mereka mengeluh lapar dan mengajak mencari makanan. Bincang demi bincang
akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke salah satu cafe seberang jalan
sekolah. Tanpa basa-basi yang terlalu panjang lagi, salah satu dari mereka
berbicara pada Fela. “Oya Fee, kamu ada janji sama gurukan katamu tadi. Yaudah gih,
temuin tuh guru.” Mendengar ucapan tersebut membuat Fela terkejut. Tanpa menunggu
jawaban yang keluar dari mulur Fela, mereka ber-9 pergi meninggalkan Fela
begitu saja. Fela langsung berlari ke perpustakaan mencari sang guru yang
hendak di temuinya. Setelah mencari-cari ternyata sang guru sudah tidak ada di
perpuskatakaan. Fela bertanya kepada pustakawan apakah sang guru berada di
perpustakaan beberapa menit lalu. Penjelasan pustakawan tersebut membuat hati
Fela hancur. Sang guru kesal padanya karena ia tak kunjung datang, kemudian
pulang dan menitipkan sebuah buku pada pustakawaan untuk di berikan pada Fela. Sambil
memegang buku bersampul cokelat tua itu, Fela keluar dari perpustakaan dengan
wajah lesu dan mata memerah. Dan di sinilah dia bersama ku, sedang duduk dengan
wajah yang tak seceria biasanya.
“Saya marah, saya ingin
berteriak sama mereka supaya jangan kacaukan hidup saya lagi, Bi. Tapi bagaimana?
Mereka terlalu mudah membuat saya jungkir balik seperti tadi. Setelah mengajak
saya berbincang-bincang cukup lama, tanpa sedikitpun ada niat untuk mengajak
saya pergi makan bersama mereka. Rasanya, saya itu apa? Barang? Sampah? Saya lelah,
Bi.”
Mata Fela semakin memerah. Tiba-tiba
bahunya bergetar, tangisnya pecah dan mengalir hingga menetas dari dagu. Aku langsung
memeluknya.
“Kemarin-kemarin kamu tidak
pernah menangis meski diperlakukan seperti itu oleh mereka. Kenapa hari ini
kamu bisa menangis?” aku masih memeluknya, mengelus punggungnya yang masih
bergetar. Ia tidak pernah menangis dan bergetar seperti ini sebelumnya.
“Saya lelah, Bi. Saya sudah
tidak sanggup.” Ucapannya tersembunyi oleh isak tangis. Aku masih memeluknya.
“Yasudah, mulai sekarang
jangan pernah pedulikan mereka lagi. Mereka begitu karena kamu lemah, Fee. Kamu
harus kuat. Lawan mereka, lawan ajakan mereka. Kamu harus bangkit dan terlepas
dari mereka. Ayolah, bukan hanya mereka temanmu, Fee.” Entahlah, kalimat
seperti apalagi yang harus ku utarakan pada Fela.
“Buat saya bangkit, Febi. Saya
tidak ingin lagi lemah dihadapan mereka. Buat saya kuat.”
Aku tersenyum padanya. “Ayo
kita bangkit.” Aku sedikit melepas pelukan padanya, kemudian menghapus sisa air
matanya. “Tidak boleh nangis lagi. Fela yang saya kenal harus jadi orang kuat.”
Kemudian senyumnya sedikit mengembang disela titik-titik air matanya yang kian
memudar di tiup angin.
Sayang Fela, ia sudah
terlalu lelah selama ini. Sekarang bukan lagi masanya mereka menyuruh-nyuruh
Fee sesuka hati, tetapi Fee akan berdiri tegak di hadapan mereka dan berkata “Tidak”
dengan lantang.
#Fasting15
No comments:
Post a Comment