Menatap
senja hari ini tidak pernah sama seperti menatap senja kemarin. Kenapa? karena
ternyata senja (telah) berubah.
Waktu
telah mengubah senja menjadi lebih jingga ternyata. Karena waktu, senja yang
pernah ku tatap dahulu kini tidak lagi sama. Karena waktu, senja yang dulu
pernah membuat air mata rindu kini berubah menjadi air mata luka, duka. Bukan hanya
karena waktu, tetapi mungkin juga karena langit. Langit telah mengubahnya hingga
terlihat benar-benar jingga, maka tangis itu akan pecah segera.
Menatap
senja, membuatku rindu akan tawa. Sebuah kebiasaan yang dulu selalu melengkapi
hari-hariku. Ketika hanya senja yang selalu bersedia membuatku tertawa, bahkan
dalam keadaan sakit sekalipun. Ketika hanya senja yang mampu berada disisiku,
menguatkanku, meskipun mata-mata itu tidak pernah jera menatapku seperti
seonggok daging yang tak mampu berjalan. Ketika hanya senja, dimana air mata
mengalir disitu pula ia selalu mampu mengubah air mata ini menjadi tawa.
Menatap
senja akhirnya membuat ku menangis. Merasa kehilangan sesuatu yang berharga
dalam hidup ini. Hingga akhirnya aku sadar, bahwa senja bukanlah senja. Seperti
kataku dahulu:
Faktanya
dunia berubah. Jadi tidak ada
alasannya bagi mereka untuk tetap bertahan. Faktanya mereka berubah. Jadi tidak ada alasan pula untuk saya agar tetap
bertahan. Sayapun, akhirnya berubah.
Tetapi, haruskah senja berubah?
No comments:
Post a Comment