Katamu bahagia
cukup dengan menikmati secangkir teh hangat, kemudian memandang sosok terindah
dimatamu.
Katamu bahagia
lebih dari cukup ketika menikmati bongkahan kecil es batu yang satu persatu
habis dari segelas teh dingin bersama seseorang yang kau sayangi.
Katamu, bahagia itu
sederhana. Sesederhana ketika kau membuka mata dipagi hari kemudian ada sosok
yang setia menjadi pendamping hidupmu.
Udara hari ini cukup
bersahabat, langit cerah, namun tidak panas. Aku masih berdiri di depan sebuah café
sambil sesekali melirik ke jarum jam yang terletak manis di jam tangan warna putih
–favorite ku. Tidak lama kemudian
sebuah motor yang begitu ku hafal deru suara mesinnya berhenti di depan café
yang sejak tadi ku tunggui.
“Maaf terlambat.” Katamu
sambil melepas helm putih bercorakkan zig-zag hitam dari kepalamu.
“It’s ok, yuk.” Sambutku dengan senyum lebar sambil menunggunya
turun dari motor dan bergerak kearahku. Setelah itu kamipun mencari tempat
duduk dipinggiran dekat sebuah jendela kaca agar bisa melihat pemandangan ke
luar.
“Bagaimana hasil ujian tadi?”
tanyamu lembut dengan harapan mendapat jawaban yang luar biasa dari ku.
“Ya aku sudah pernah
ceritakan, mata pelajaran yang satu ini begitu sulit untukku. Aku duduk-berdiri
hanya untuk memahaminya dan mungkin menghafalnya. Tetapi lagi-lagi tetap saja,
ketika ujian tiba aku terlalu terburu-buru mensugestikan diri bahwa ini akan
berjalan dengan sulit. Kau tau, aku begitu gugup ketika ujian. Terlebih lagi
untuk mata pelajaran yang satu ini.” Ceritaku panjang lebar dengan wajah yang
sedikit kecewa, seakan-akan soal yang sejak tadi menghantui ku selama 2 jam
ujian berlangsung kini hadir di atas meja tempat kami duduk.
“Aku pikir hasilnya tidak
akan terlalu buruk. Kamu sudah belajar dengan segiat mungkinkan. Sampai, apa
tadi katamu? Duduk-berdiri? Ya itu usaha yang bagus.” Sikap leluconmu keluar
begitu saja. Mendengar caramu mengulang kata ‘duduk-berdiri’ itu membuat ku
tertawa penuh hati. Dia tidak pernah
berubah.
“Baiklah, cukup sampai di
sini saja pembahasan ujian tadi.” Aku ingin mengakhiri pembicaraan itu, dari
pada harus terlihat begitu putus asa di depan sosok yang akan selalu siap
membuatku tertawa bahagia. Ia hanya tersenyum tipis, mengerti maksudku, maksud
kekecewaan ku terhadap mata pelajaran itu.
Tidak lama berselang waktu
dari itu, pelayan datang membawa segelas cappuccino dan segelas teh, tentu saja
keduanya dingin dilengkapi beberapa potongan kecil es batu. Kemudian kamu
mengambil sepiring spaghetti dari pelayan tersebut dan aku mengambil sebuah hamburger berukuran
sedang. Pelayan tersebut kemudian tersenyum dan pergi meninggalkan kami dengan
beberapa minuman dan makanan di atas meja. Aku mendekatkan segelas teh dingin
tersebut dan menyeruput kesegarannya perlahan. Ku lirik sosok yang berada
di depan ku. Ia mengambil sebuah es batu dari gelas cappuccinonya dengan sendok,
kemudian memakannya sambil menatapku. Aku tertawa melihat tingkahnya. Kemudian ku
ikuti caranya memamerkan cara tertampannya menggigit es batu tersebut. Kress kress
. . suara es batu yang kami gigit
berbarengan. Kemudian kami tertawa lepas dan saling menunjuk lucu kewajah
masing-masing.
“Gigimu bisa keropos jika
terlalu banyak menggigit es batu. Belum 50 tahun, nanti gigimu tinggal 2 lagi.”
Kataku setelah menyedot kesejukan teh dingin dihadapanku.
“Tidak masalah, kan gigimu
juga akan tinggal 2 nanti sama sepertiku.” Jawabmu kemudian tertawa begitu
saja. “Lihat, kau sendiri juga sering menggigit gigit es batu kan?” kemudian ia
menunjuk kearah es batu yang mengapung indah di dalam gelas teh dingin ditanganku.
“Yaya baiklah.” Aku mengangguk
kecil. “Hmm jadi kesimpulannya apapun yang kamu lakukan, apapun yang terjadi
padamu, asalkan tetap bisa bersamaku itu tidak akan menjadi masalah, bukan.” Aku
menyimpulkannya sendiri kemudian mengedipkan sebelah mata kepadanya. Ia kembali
tertawa.
“Sudah pandai sekarang kamu
ya, hmm bukan-bukan. Bukan pandai, tetapi cerdik. Ya, kata itu aku rasa lebih
tepat untukmu.” Katamu dengan gaya yang begitu khas sudah kukenali sejak dulu,
sambil memiringkan sedikit kepala ke samping kemudian mencoba menarik ulur
hatiku melalui kata-katamu.
“Apa bedanya?” Tanya ku
bingung mendengar ia mengganti kata ‘pandai’ menjadi ‘cerdik’.
“Kamu tidak tau?” tanyanya
sambil mengernyitkan dahi.
“Hmm seperti tidak.” Jawabku
setelah memutar-mutar isi kepalaku mencoba mencari kamus di dalamnya.
“Bedanya ituuuu,” ia
memanjangkan kata ‘itu’ terakhir sehingga membuatku penasaran.
“Apa?” tanyaku antusias.
Ia melirikku sesaat, kemudian
kembali membuka mulut. “Coba kamu perhatikan sendiri deh, cara baca ‘pandai’
dan ‘cerdik’ berbedakan, begitupun cara penulisannya.” Jelasnya kemudian
tertawa licik. Melihatku semakin mengernyitkan dahi karena semakin bingung
dibuat olehnya ia semakin tertawa menjadi-jadi. “Wajah polosmu keluar, tukan.” Ia
menunjuk ke arah wajah ku, kemudian tertawa geli. Aku mengepalkan tangan
kemudian meninju kecil bahunya.
“Aaauu sakit.” Ia berteriak,
kemudian menatap kearah ku. Melihat semberaut wajah kesal, ia kembali tertawa,
tentu saja menertawakan diriku.
Aku masih memasang wajah
pura-pura marah, kesal ditertawakan olehnya. Kemudian mengambil sebuah es batu
yang semakin mengecil dalam gelas teh di hadapanku, kemudian menggigitnya. ‘Kress kress’.
“Sudahlah, wajah polosmu
semakin jelek jika cemberut seperti itu. Katanya masih sweet 17, tapi kok sudah
banyak keriputnya seperti nenek-nenek.” Katanya sambil menahan tawa kecil,
terlihat dari bahunya yang naik-turun mencoba menahan tawa yang pasti akan
meledak luar biasa jika dikeluarkan. Mendengarnya berkata seperti itu, aku
kembali mengepalkan tinju ditangan kanan ku. Ketika hendak mendaratkan di
bahunya ia sudah lebih dulu menahan tanganku. “Baiklah, maaf maaf. Aku tidak
akan mengejek dan membuatmu kesal lagi.” Katanya sambil tersenyum, mencoba
mengambil alih sisi baikku agar tidak menyakitinya lagi. “Ayo, dimakan
hamburgernya.” Katanya mengodekan hamburger yang terlihat lezat dihadapanku dengan kedua matanya. “Kamu
mau mencoba spaghetti milikku?”
tanyanya sambil memutar-mutar spaghetti dengan garpu dari tangan kanannya.
“Tidak apa-apa. Aku akan
makan ini saja.” Jawabku sambil mengambil hamburger dari piring. Kemudian kami makan sambil membicarakan hal-hal
lain –tidak peduli apakah pembicaraan itu penting atau tidak– kemudian sesekali
tertawa.
Pemandangan di luar indah,
seindah hati kami menikmati suasana di cafe itu. Tanpa beban, yang ada hanyalah
canda dan tawa. Kekesalan kecil hanyalah bumbu dalam kebahagiaan. Karena sejauh
apapun langkah kami berjalan, langkah itu selalu beriringan satu sama lain, tidak
ada siapa mendahului siapa atau siapa meninggalkan siapa.
“Hei, makasih ya.” Kata ku memasang
senyum manis kepadanya.
“Hmm ya, untuk apa?” Tanyanya
sedikit bingung.
“Untuk segalanya. Karena sampai
saat ini detik ini, you know me so well.”
Kata ku sambil menatap bola matanya. Ada pancaran sinar kebahagiaan yang ku
temukan dari bola mata itu.
“Ya, tentu saja. You know me so well too” ungkapnya penuh
kebahagiaan. Kemudian kami saling tertawa kecil, dan menatap langit sore yang
indah dari balik jendela kaca. Langit yang tadinya cerah sudah berubah menjadi
jingga. Waktu yang berlalu sudah beberapa jam, tetapi terasa baru semenit lalu
kami membuat kericuhan, meledek satu sama lain. Rasanya aku ingin menghentikan
waktu saja agar bisa lebih lama menatap wajah yang selalu bisa membuatku merasa
nyaman ini. Karena hanya kenyaman, kebahagiaan, semua yang ada pada hidup
terasa lebih indah.
No comments:
Post a Comment