Friday, January 16, 2015

So Well



Katamu bahagia cukup dengan menikmati secangkir teh hangat, kemudian memandang sosok terindah dimatamu.
Katamu bahagia lebih dari cukup ketika menikmati bongkahan kecil es batu yang satu persatu habis dari segelas teh dingin bersama seseorang yang kau sayangi.
Katamu, bahagia itu sederhana. Sesederhana ketika kau membuka mata dipagi hari kemudian ada sosok yang setia menjadi pendamping hidupmu.

Udara hari ini cukup bersahabat, langit cerah, namun tidak panas. Aku masih berdiri di depan sebuah café sambil sesekali melirik ke jarum jam yang terletak manis di jam tangan warna putih –favorite ku. Tidak lama kemudian sebuah motor yang begitu ku hafal deru suara mesinnya berhenti di depan café yang sejak tadi ku tunggui.
“Maaf terlambat.” Katamu sambil melepas helm putih bercorakkan zig-zag hitam dari kepalamu.
It’s ok, yuk.” Sambutku dengan senyum lebar sambil menunggunya turun dari motor dan bergerak kearahku. Setelah itu kamipun mencari tempat duduk dipinggiran dekat sebuah jendela kaca agar bisa melihat pemandangan ke luar.
“Bagaimana hasil ujian tadi?” tanyamu lembut dengan harapan mendapat jawaban yang luar biasa dari ku.
“Ya aku sudah pernah ceritakan, mata pelajaran yang satu ini begitu sulit untukku. Aku duduk-berdiri hanya untuk memahaminya dan mungkin menghafalnya. Tetapi lagi-lagi tetap saja, ketika ujian tiba aku terlalu terburu-buru mensugestikan diri bahwa ini akan berjalan dengan sulit. Kau tau, aku begitu gugup ketika ujian. Terlebih lagi untuk mata pelajaran yang satu ini.” Ceritaku panjang lebar dengan wajah yang sedikit kecewa, seakan-akan soal yang sejak tadi menghantui ku selama 2 jam ujian berlangsung kini hadir di atas meja tempat kami duduk.
“Aku pikir hasilnya tidak akan terlalu buruk. Kamu sudah belajar dengan segiat mungkinkan. Sampai, apa tadi katamu? Duduk-berdiri? Ya itu usaha yang bagus.” Sikap leluconmu keluar begitu saja. Mendengar caramu mengulang kata ‘duduk-berdiri’ itu membuat ku tertawa penuh hati. Dia tidak pernah berubah.
“Baiklah, cukup sampai di sini saja pembahasan ujian tadi.” Aku ingin mengakhiri pembicaraan itu, dari pada harus terlihat begitu putus asa di depan sosok yang akan selalu siap membuatku tertawa bahagia. Ia hanya tersenyum tipis, mengerti maksudku, maksud kekecewaan ku terhadap mata pelajaran itu.
Tidak lama berselang waktu dari itu, pelayan datang membawa segelas cappuccino dan segelas teh, tentu saja keduanya dingin dilengkapi beberapa potongan kecil es batu. Kemudian kamu mengambil sepiring spaghetti dari pelayan tersebut dan aku mengambil sebuah hamburger berukuran sedang. Pelayan tersebut kemudian tersenyum dan pergi meninggalkan kami dengan beberapa minuman dan makanan di atas meja. Aku mendekatkan segelas teh dingin tersebut dan menyeruput kesegarannya perlahan. Ku lirik sosok yang berada di depan ku. Ia mengambil sebuah es batu dari gelas cappuccinonya dengan sendok, kemudian memakannya sambil menatapku. Aku tertawa melihat tingkahnya. Kemudian ku ikuti caranya memamerkan cara tertampannya menggigit es batu tersebut. Kress kress . .  suara es batu yang kami gigit berbarengan. Kemudian kami tertawa lepas dan saling menunjuk lucu kewajah masing-masing.
“Gigimu bisa keropos jika terlalu banyak menggigit es batu. Belum 50 tahun, nanti gigimu tinggal 2 lagi.” Kataku setelah menyedot kesejukan teh dingin dihadapanku.
“Tidak masalah, kan gigimu juga akan tinggal 2 nanti sama sepertiku.” Jawabmu kemudian tertawa begitu saja. “Lihat, kau sendiri juga sering menggigit gigit es batu kan?” kemudian ia menunjuk kearah es batu yang mengapung indah di dalam gelas teh dingin ditanganku.
“Yaya baiklah.” Aku mengangguk kecil. “Hmm jadi kesimpulannya apapun yang kamu lakukan, apapun yang terjadi padamu, asalkan tetap bisa bersamaku itu tidak akan menjadi masalah, bukan.” Aku menyimpulkannya sendiri kemudian mengedipkan sebelah mata kepadanya. Ia kembali tertawa.
“Sudah pandai sekarang kamu ya, hmm bukan-bukan. Bukan pandai, tetapi cerdik. Ya, kata itu aku rasa lebih tepat untukmu.” Katamu dengan gaya yang begitu khas sudah kukenali sejak dulu, sambil memiringkan sedikit kepala ke samping kemudian mencoba menarik ulur hatiku melalui kata-katamu.
“Apa bedanya?” Tanya ku bingung mendengar ia mengganti kata ‘pandai’ menjadi ‘cerdik’.
“Kamu tidak tau?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
“Hmm seperti tidak.” Jawabku setelah memutar-mutar isi kepalaku mencoba mencari kamus di dalamnya.
“Bedanya ituuuu,” ia memanjangkan kata ‘itu’ terakhir sehingga membuatku penasaran.
“Apa?” tanyaku antusias.
Ia melirikku sesaat, kemudian kembali membuka mulut. “Coba kamu perhatikan sendiri deh, cara baca ‘pandai’ dan ‘cerdik’ berbedakan, begitupun cara penulisannya.” Jelasnya kemudian tertawa licik. Melihatku semakin mengernyitkan dahi karena semakin bingung dibuat olehnya ia semakin tertawa menjadi-jadi. “Wajah polosmu keluar, tukan.” Ia menunjuk ke arah wajah ku, kemudian tertawa geli. Aku mengepalkan tangan kemudian meninju kecil bahunya.
“Aaauu sakit.” Ia berteriak, kemudian menatap kearah ku. Melihat semberaut wajah kesal, ia kembali tertawa, tentu saja menertawakan diriku.
Aku masih memasang wajah pura-pura marah, kesal ditertawakan olehnya. Kemudian mengambil sebuah es batu yang semakin mengecil dalam gelas teh di hadapanku, kemudian menggigitnya. ‘Kress kress’.
“Sudahlah, wajah polosmu semakin jelek jika cemberut seperti itu. Katanya masih sweet 17, tapi kok sudah banyak keriputnya seperti nenek-nenek.” Katanya sambil menahan tawa kecil, terlihat dari bahunya yang naik-turun mencoba menahan tawa yang pasti akan meledak luar biasa jika dikeluarkan. Mendengarnya berkata seperti itu, aku kembali mengepalkan tinju ditangan kanan ku. Ketika hendak mendaratkan di bahunya ia sudah lebih dulu menahan tanganku. “Baiklah, maaf maaf. Aku tidak akan mengejek dan membuatmu kesal lagi.” Katanya sambil tersenyum, mencoba mengambil alih sisi baikku agar tidak menyakitinya lagi. “Ayo, dimakan hamburgernya.” Katanya mengodekan hamburger yang terlihat lezat dihadapanku dengan kedua matanya. “Kamu mau mencoba spaghetti milikku?” tanyanya sambil memutar-mutar spaghetti dengan garpu dari tangan kanannya.
“Tidak apa-apa. Aku akan makan ini saja.” Jawabku sambil mengambil hamburger dari piring. Kemudian kami makan sambil membicarakan hal-hal lain –tidak peduli apakah pembicaraan itu penting atau tidak– kemudian sesekali tertawa.

Pemandangan di luar indah, seindah hati kami menikmati suasana di cafe itu. Tanpa beban, yang ada hanyalah canda dan tawa. Kekesalan kecil hanyalah bumbu dalam kebahagiaan. Karena sejauh apapun langkah kami berjalan, langkah itu selalu beriringan satu sama lain, tidak ada siapa mendahului siapa atau siapa meninggalkan siapa.
“Hei, makasih ya.” Kata ku memasang senyum manis kepadanya.
“Hmm ya, untuk apa?” Tanyanya sedikit bingung.
“Untuk segalanya. Karena sampai saat ini detik ini, you know me so well.” Kata ku sambil menatap bola matanya. Ada pancaran sinar kebahagiaan yang ku temukan dari bola mata itu.
“Ya, tentu saja. You know me so well too” ungkapnya penuh kebahagiaan. Kemudian kami saling tertawa kecil, dan menatap langit sore yang indah dari balik jendela kaca. Langit yang tadinya cerah sudah berubah menjadi jingga. Waktu yang berlalu sudah beberapa jam, tetapi terasa baru semenit lalu kami membuat kericuhan, meledek satu sama lain. Rasanya aku ingin menghentikan waktu saja agar bisa lebih lama menatap wajah yang selalu bisa membuatku merasa nyaman ini. Karena hanya kenyaman, kebahagiaan, semua yang ada pada hidup terasa lebih indah.

No comments:

Post a Comment