Saturday, July 5, 2014

About You, Me, Us



“Haaaaaa….. keeeem..”
Someone’s screaming
Beberapa saat yang lalu seseorang menelepon saya. Tidak sampai sedetiksetelah saya mengangkatnya, jeritan itu langsung menghiasi telinga kanan saya. Bukan, bukan, bukan. Dengarkan penjelasan saya terlebih dahulu. Itu bukan jeritan orang menangis, apalagi marah-marah. Itu adalah jeritan bahagia –teramat bahagia– seseorang. Tanpa menyisakan waktu sepertsekian detikpun ia –seseorang yang menjerit bahagia tersebut– kembali menjerit menyisakan jeda angin yang berhembus dari mulutnya. Saya hanya tertegun sesaat, kemudian terjadilah percakapan dengan aura kebahagiaan yang meluap-luap, tetapi tidak mubazir.

Ya, dia salah satu teman karib saya, yang pernah mengisi secangkir teh manis tanpa gula dalam aroma pagi saya pun berlanjut hingga siang, sore bahkan malam. Mendengar jeritan bahagianya, spontan (tentu saja setelah tertegun dalam jeda pertanyaan ‘ada apa?’ beberapa saat) saya langsung menagih cerita bahagianya hingga membuat ia menjerit se-bahagia itu. Tanpa menyisakan jeritan untuk kesekian kalinya ia langsung memulai cerita intinya. Saya cukup menikmati cerita yang sedang ia bagikan lewat komunikasi telefon tersebut, hingga dirasanya cukup, ia pun berhenti, mungkin menunggu komentar atau balasan dari saya, si pendengar dengan baik. “Jadi, dia langsung . . . , kenapa bisa? Memangnya . . . ? asiiiikk, senangnya ya.” Saya tersenyum sambil memegang handphone yang masih saya lekatkan pada telinga kanan, untungnya telinga saya masih bekerja dengan baik hingga saat ini setelah mendapat jeritan bertubi-tubi darinya. Tidak cukup hanya sampai di situ, ia melanjutkan ceritanya dengan semangat hingga batuk kecil (mungkin karena terlalu banyak cerita) dari seberang sana sempat menghentikan ceritanya, entah karena saya yang jarang memerhatikannya belakangan ini atau memang semangatnya berubah drastis (sama halnya seperti jeritannya sejak awal), yang jelas saya belum pernah mendengar nada suaranya sebahagia tadi sore itu.

Ah, teman. Kamu membuat saya tertawa sendiri untuk tadi sore. Mendengar suaramu yang amat bahagia, saya turut berbahagia. Maksud ‘saya turut berbahagia’ bukan seperti cerita seorang sahabat yang akhirnya jadian dengan gebetanmu lantas kamu turut berbahagia karena sahabatmu bahagia, apapun alasannya itu termasuk kehilangan orang yang kamu sayangi. Ah, sayangnya bahagia yang saya rasakan saat ini bukan seperti itu. Bahagia saya kali ini seperti bahagianya sang mawar putih yang melihat teman karibnya si mawar merah menjadi hadiah untuk seseorang  yang sedang berulang tahun. Mungkin seperti itu.

Dimenit itu juga, ada rasa bahagia yang sulit saya deskripsikan. Yang saya tau, saya bahagia ketika ia bahagia, karena seorang sahabat akan selalu bahagia untuk sahabatnya yang sedang berbahagia bukan? Mungkin itu yang saya rasakan.

“Kem, rasanya . . . .” saya kembali mendengar setiap inci ceritanya tanpa ingin melewatkan sepatah kata pun. Ia tertawa, saya pun ikut tertawa. Dimenit berikutnya tiba-tiba rasa bahagia yang lain datang menghampiri benak saya. ‘Ia memilih saya, satu dari sekian teman baiknya untuk membagi kisah bahaginya tersebut. Ia memilih saya, yang pernah nyaris telat mengucapkan selamat ulang tahun ketika hari bahagianya. Ia memilih saya, yang belum tentu bisa mendengarkan ceritanya sebaik sore ini.’

Teman, andai saja kau tau kebahagiaan yang turut menyelimuti saya sore tadi hingga saya menuliskan ini. “Terimakasih, sejauh ini kamu masih ingin membagi bahagia mu bersama seseorang yang belum tentu bisa mengucapkan selamat ulang tahun di hari yang special untukmu tahun depan.”

Saya benar-benar bahagia mendengar ceritamu, teman. Meski tidak bisa menatap langsung wajahmu yang pasti bermekar ria dan diselimuti rona merah yang timbul dari kedua pipimu, saya bisa merasakan kebahagiaan itu. Karena ternyata bahagia tidak hanya akan datang ketika kita mencarinya. Bahagia justru datang pada saat-saat yang lebih tepat, ketika kamu sedang duduk memikirkan sesuatu (seperti saya yang tadi sore sedang memikirkan ingin mandi sekarang atau tidak, eh ngomong-ngomong tadi saya belum mandi ketika mendapat kabar bahagia itu loh, wah bahagia bisa datang dalam keadaan badan yang kumel lengket dan bau ya, hahaha, tidak seperti itu juga sih) atau ketika kamu sedang galau, atau juga ketika kamu sedang, apapun itu deh, yang penting bahagia bisa datang kapan saja baik itu waktu yang tepat ataupun tidak.

Hmm ngomong-ngomong soal bahagia karena ditelepon seorang sahabat dan mendengar cerita bahagianya, saya jadi rindu melakukan itu; kembali. Rindu sosok lembut serta kekanak-kanakannya yang dulu menghiasi hari-hari saya.  Dulu. Ketika jarak belum menjadi sesuatu yang membuat hal-hal kecil ataupun besar terbengkalai begitu saja, karena di situ ada sepasang telinga yang siap mendengar, ada sebuah mulut yang siap memberi nasihat, serta ada sepasang tangan lembut yang siap mengelus manja. I miss her so much. Rindu bisa bercanda ria dan memutar lagu-lagu favorite kami. Really, wanna do it together like yesterday.


Ternyata, bahagia itu bisa simpel ya. Sesimpel mendengar suara bahagia sahabatmu, juga tawanya. Lakukan itu untuk sahabat-sahabat kalian ya. Supaya mereka tau arti bahagia yang simpel itu bagaimana. Bahwa bahagia tidak selamanya harus kamu yang menciptakan ruang kebahagiaan itu sendiri, justru seseorang di luar sana, tanpa kamu duga bisa memberimu ruang kebahagiaan.

No comments:

Post a Comment