“Haaaaaa…..
keeeem..”
Someone’s screaming
Beberapa saat yang lalu seseorang menelepon saya. Tidak sampai
sedetiksetelah saya mengangkatnya, jeritan itu langsung menghiasi telinga kanan
saya. Bukan, bukan, bukan. Dengarkan penjelasan saya terlebih dahulu. Itu bukan
jeritan orang menangis, apalagi marah-marah. Itu adalah jeritan bahagia
–teramat bahagia– seseorang. Tanpa menyisakan waktu sepertsekian detikpun ia
–seseorang yang menjerit bahagia tersebut– kembali menjerit menyisakan jeda
angin yang berhembus dari mulutnya. Saya hanya tertegun sesaat, kemudian
terjadilah percakapan dengan aura kebahagiaan yang meluap-luap, tetapi tidak
mubazir.
Ya, dia salah satu teman karib saya, yang pernah mengisi secangkir
teh manis tanpa gula dalam aroma pagi saya pun berlanjut hingga siang, sore
bahkan malam. Mendengar jeritan bahagianya, spontan (tentu saja setelah
tertegun dalam jeda pertanyaan ‘ada apa?’ beberapa saat) saya langsung menagih
cerita bahagianya hingga membuat ia menjerit se-bahagia itu. Tanpa menyisakan
jeritan untuk kesekian kalinya ia langsung memulai cerita intinya. Saya cukup
menikmati cerita yang sedang ia bagikan lewat komunikasi telefon tersebut,
hingga dirasanya cukup, ia pun berhenti, mungkin menunggu komentar atau balasan
dari saya, si pendengar dengan baik. “Jadi, dia langsung . . . , kenapa bisa?
Memangnya . . . ? asiiiikk, senangnya ya.” Saya tersenyum sambil memegang handphone yang masih saya lekatkan pada
telinga kanan, untungnya telinga saya masih bekerja dengan baik hingga saat ini
setelah mendapat jeritan bertubi-tubi darinya. Tidak cukup hanya sampai di
situ, ia melanjutkan ceritanya dengan semangat hingga batuk kecil (mungkin
karena terlalu banyak cerita) dari seberang sana sempat menghentikan ceritanya,
entah karena saya yang jarang memerhatikannya belakangan ini atau memang
semangatnya berubah drastis (sama halnya seperti jeritannya sejak awal), yang
jelas saya belum pernah mendengar nada suaranya sebahagia tadi sore itu.
Ah, teman. Kamu membuat saya tertawa sendiri untuk tadi
sore. Mendengar suaramu yang amat bahagia, saya turut berbahagia. Maksud ‘saya
turut berbahagia’ bukan seperti cerita seorang sahabat yang akhirnya jadian dengan
gebetanmu lantas kamu turut berbahagia karena sahabatmu bahagia, apapun
alasannya itu termasuk kehilangan orang yang kamu sayangi. Ah, sayangnya
bahagia yang saya rasakan saat ini bukan seperti itu. Bahagia saya kali ini seperti
bahagianya sang mawar putih yang melihat teman karibnya si mawar merah menjadi
hadiah untuk seseorang yang sedang
berulang tahun. Mungkin seperti itu.
Dimenit itu juga, ada rasa bahagia yang sulit saya
deskripsikan. Yang saya tau, saya bahagia ketika ia bahagia, karena seorang
sahabat akan selalu bahagia untuk sahabatnya yang sedang berbahagia bukan?
Mungkin itu yang saya rasakan.
“Kem, rasanya . . . .” saya kembali mendengar setiap inci
ceritanya tanpa ingin melewatkan sepatah kata pun. Ia tertawa, saya pun ikut
tertawa. Dimenit berikutnya tiba-tiba rasa bahagia yang lain datang menghampiri
benak saya. ‘Ia memilih saya, satu dari
sekian teman baiknya untuk membagi kisah bahaginya tersebut. Ia memilih saya,
yang pernah nyaris telat mengucapkan selamat ulang tahun ketika hari
bahagianya. Ia memilih saya, yang belum tentu bisa mendengarkan ceritanya
sebaik sore ini.’
Teman, andai saja kau tau kebahagiaan yang turut
menyelimuti saya sore tadi hingga saya menuliskan ini. “Terimakasih, sejauh ini
kamu masih ingin membagi bahagia mu bersama seseorang yang belum tentu bisa
mengucapkan selamat ulang tahun di hari yang special untukmu tahun depan.”
Saya benar-benar bahagia mendengar ceritamu, teman. Meski
tidak bisa menatap langsung wajahmu yang pasti bermekar ria dan diselimuti rona
merah yang timbul dari kedua pipimu, saya bisa merasakan kebahagiaan itu.
Karena ternyata bahagia tidak hanya akan datang ketika kita mencarinya. Bahagia
justru datang pada saat-saat yang lebih tepat, ketika kamu sedang duduk
memikirkan sesuatu (seperti saya yang tadi sore sedang memikirkan ingin mandi
sekarang atau tidak, eh ngomong-ngomong tadi saya belum mandi ketika mendapat
kabar bahagia itu loh, wah bahagia bisa datang dalam keadaan badan yang kumel
lengket dan bau ya, hahaha, tidak seperti itu juga sih) atau ketika kamu sedang
galau, atau juga ketika kamu sedang, apapun itu deh, yang penting bahagia bisa
datang kapan saja baik itu waktu yang tepat ataupun tidak.
Hmm ngomong-ngomong soal bahagia karena ditelepon seorang
sahabat dan mendengar cerita bahagianya, saya jadi rindu melakukan itu;
kembali. Rindu sosok lembut serta kekanak-kanakannya yang dulu menghiasi
hari-hari saya. Dulu. Ketika jarak belum
menjadi sesuatu yang membuat hal-hal kecil ataupun besar terbengkalai begitu
saja, karena di situ ada sepasang telinga yang siap mendengar, ada sebuah mulut
yang siap memberi nasihat, serta ada sepasang tangan lembut yang siap mengelus
manja. I miss her so much. Rindu bisa
bercanda ria dan memutar lagu-lagu favorite
kami. Really, wanna do it together like yesterday.
Ternyata, bahagia itu bisa simpel ya. Sesimpel mendengar
suara bahagia sahabatmu, juga tawanya. Lakukan itu untuk sahabat-sahabat kalian
ya. Supaya mereka tau arti bahagia yang simpel itu bagaimana. Bahwa bahagia
tidak selamanya harus kamu yang menciptakan ruang kebahagiaan itu sendiri,
justru seseorang di luar sana, tanpa kamu duga bisa memberimu ruang kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment