Saturday, July 26, 2014

Forgotten



“Jika suatu hari nanti mereka berhenti ‘merindukanmu’ jangan salahkan siapa-siapa,
karena jalan takdir untuk dirindukan memang begitu adanya.”

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan salah satu teman baik saya. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari kegiatan sehari-hari, aktivitas di dalam kampus sampai di luar kampus. Ya, aktivitas di luar kampus inilah yang membuat kami sedikit banyaknya sering berjumpa meski harus kuliah di fakultas yang berbeda sehingga sulit untuk bertemu.

Berbagi cerita dengannya mengingatkan saya beberapa tahun silam (read : lebih dari satu tahun yang lalu). Waktu itu, kami masih belum mengerti arti perpisahan, yang kami tahu hanyalah 'kebahagiaan bersama mereka; teman seperjuangan' tanpa harus memiliki akhir yang sendiri-sendiri seperti sekarang. Hingga tiba-tiba kami menemukan topik yang tidak pernah saya bahas sebelumnya, namun sebuah topik yang selama ini menjadi endapan rasa dalam sungai kenangan.

"Lama-lama rasa 'kangen' itu akan hilang, kem" katanya sambil menatap kedua bola mata saya, hampa, seakan-akan seluruh energi kebahagiaannya tersedot massa tanpa tersisa.

Saya terdiam, mencerna baik-baik setiap katanya. Beberapa kenangan itu muncul seperti sinopsis film yang akan ditayangkan beberapa hari lagi. Tawa, canda, tangisan, satu persatu kembali hadir dalam ingatan saya. Saya menatap dinding yang seakan memutar film dokumenter 'kami' sesaat sebelum perpisahan terklarifikasikan. Mendengar  lirik lagu dan nada-nada yang terhafal dengan kental disetiap jeda maupun tidak, lantunan kata-kata arti 'persahabatan' juga 'kekeluargaan' mengalir begitu saja seiring film dokumenter tersebut. Ah, dinding-dinding itu mengacaukan lamunan yang hampir meneteskan air mata saya. Tiba-tiba, rasa rangkulan hangat yang dulu itu perlahan kian memudar. Memudar seiring waktu . . .

Ini bukan rasa iba, ataupun kasihan karena ditinggalkan oleh sesuatu; kenangan. Ini tentang bagaimana rasa mengikhlaskan bahwa setiap tempat yang memiliki kenangan, akan mengendap di dalam lubuk hati yang tak mudah terjangkau. Bahwa waktu pun sudah putus asa mengikhlaskan semuanya, mencoba mengembalikan separuh jiwa yang pernah ada namun terus gagal.

Ya, lama-lama rasa ‘kangen’ itu perlahan memudar, di telan waktu mungkin juga usia, atau masa depan. Ah, memikirkan hal ini membuat kepala saya berdenyut sakit.

Saya setuju dengannya –si penutur kata yang telah menjamah isi kepala saya tanpa ampun untuk mengenang masa lalu itu. Bahwa tragisnya suatu kenangan itu adalah bersiap-siap merasa kehilangan rasa rindu. Meski tidak semudah menjentikkan kedua jemari lentik mu, kehilangan rindu itu bisa terjadi kapan saja. Mungkin yang dibutuhkan sekarang adalah bersiap-siap menerima sebuah kenyataan, atau beberapa. Misalnya seperti bersiap-siap untuk merasa kehilangan rasa dirindukan, atau kehilangan rasa merindukan. Keduanya jelas berbeda, tetapi rasa sakitnya mungkin hampir sama.


Today, when you go maybe they will try to stop you.
But, one day when you went they were not going to ever try to stop you, as before.

No comments:

Post a Comment