“Jika suatu hari nanti mereka berhenti
‘merindukanmu’ jangan salahkan siapa-siapa,
karena jalan takdir untuk dirindukan
memang begitu adanya.”
Beberapa hari
yang lalu saya bertemu dengan salah satu teman baik saya. Banyak hal yang
kami perbincangkan, mulai dari kegiatan sehari-hari, aktivitas di dalam kampus
sampai di luar kampus. Ya, aktivitas di luar kampus inilah yang membuat kami
sedikit banyaknya sering berjumpa meski harus kuliah di fakultas yang berbeda
sehingga sulit untuk bertemu.
Berbagi cerita
dengannya mengingatkan saya beberapa tahun silam (read : lebih dari satu tahun yang lalu). Waktu itu, kami masih
belum mengerti arti perpisahan, yang kami tahu hanyalah 'kebahagiaan bersama
mereka; teman seperjuangan' tanpa harus memiliki akhir yang sendiri-sendiri
seperti sekarang. Hingga tiba-tiba kami menemukan topik yang tidak pernah saya
bahas sebelumnya, namun sebuah topik yang selama ini menjadi endapan rasa dalam
sungai kenangan.
"Lama-lama
rasa 'kangen' itu akan hilang, kem" katanya sambil menatap kedua bola mata
saya, hampa, seakan-akan seluruh energi kebahagiaannya tersedot massa tanpa
tersisa.
Saya terdiam,
mencerna baik-baik setiap katanya. Beberapa kenangan itu muncul seperti
sinopsis film yang akan ditayangkan beberapa hari lagi. Tawa, canda, tangisan,
satu persatu kembali hadir dalam ingatan saya. Saya menatap dinding yang seakan
memutar film dokumenter 'kami' sesaat sebelum perpisahan terklarifikasikan.
Mendengar lirik lagu dan nada-nada yang terhafal dengan kental disetiap
jeda maupun tidak, lantunan kata-kata arti 'persahabatan' juga 'kekeluargaan'
mengalir begitu saja seiring film dokumenter tersebut. Ah, dinding-dinding itu
mengacaukan lamunan yang hampir meneteskan air mata saya. Tiba-tiba, rasa
rangkulan hangat yang dulu itu perlahan kian memudar. Memudar seiring waktu . .
.
Ini bukan rasa
iba, ataupun kasihan karena ditinggalkan oleh sesuatu; kenangan. Ini tentang
bagaimana rasa mengikhlaskan bahwa setiap tempat yang memiliki kenangan, akan
mengendap di dalam lubuk hati yang tak mudah terjangkau. Bahwa waktu pun sudah
putus asa mengikhlaskan semuanya, mencoba mengembalikan separuh jiwa yang
pernah ada namun terus gagal.
Ya, lama-lama
rasa ‘kangen’ itu perlahan memudar, di telan waktu mungkin juga usia, atau masa
depan. Ah, memikirkan hal ini membuat kepala saya berdenyut sakit.
Saya setuju
dengannya –si penutur kata yang telah menjamah isi kepala saya tanpa ampun
untuk mengenang masa lalu itu. Bahwa tragisnya suatu kenangan itu adalah
bersiap-siap merasa kehilangan rasa rindu. Meski tidak semudah menjentikkan
kedua jemari lentik mu, kehilangan rindu itu bisa terjadi kapan saja. Mungkin yang
dibutuhkan sekarang adalah bersiap-siap menerima sebuah kenyataan, atau
beberapa. Misalnya seperti bersiap-siap untuk merasa kehilangan rasa dirindukan, atau kehilangan rasa merindukan. Keduanya jelas berbeda,
tetapi rasa sakitnya mungkin hampir sama.
Today, when you go
maybe they will
try to stop you.
But, one day when
you went they
were not going to ever try
to stop you, as before.
No comments:
Post a Comment