Orang
yang lemah bukanlah orang yang pernah mengharapkan dirinya untuk lemah. Seperti
saya, salah satu kelemahan saya adalah bahwa saya lemah. Bukan berarti saya
dilahirkan dengan harapan menjadi seseorang yang lemah, pun ibu saya sendiri
tidak pernah mengharapkan anak anaknya akan lemah. Namun, entah bagaimana pada
suatu sisi saya pernah memaki diri sendiri. “Kenapa saya harus selemah ini? “ Karena pada situasi situasi yang
entah bagaimana –seperti kesepian, kekalahan, ketidakdianggapkan– saya kerap
kali menangisi diri sendiri yang tercipta lemah seperti ini.
Kalau
saya boleh jujur dan sedikit bercerita, seminggu kemarin adalah hari hari
terberat bagi saya. Entah karena saya yang terlalu menganggapnya serius hingga memberatkan saya atau karena memang seperti itu adanya. Yang pasti, saya
menahan kegagalan itu seorang diri. Sulit mencerikan isi hati yang sebenarnya
pada orang orang terdekat, mungkin karena saya tidak ingin merepotkan mereka
(karena mereka sudah terlalu repot mengurusi diri sendiri jangan sampai tambah
repot mengurusi saya) atau karena saya mulai berpikir ‘ini adalah saatnya saya
menanggung semua masalah saya sendiri’, atau juga karena saya tidak ingin
terlalu membuka diri lagi kepada orang orang. Sebenarnya itu adalah pilihan
yang sulit, karena bagaimana pun, sekuat apapun saya mampu tertawa di hadapan
orang orang, hati kecil saya selalu menangisinya.
Dan
sejak itu saya mulai berpikir, untuk apa selalu merepotkan orang lain kalau
saya sendiri bisa mengatasinya? Mungkin kebanyakan orang akan
menasihati ‘masalah itu jangan dipendam, cerita saja kepada orang terdekatmu
atau orang yang kau anggap dapat dipercaya, mungkin mereka memiliki solusi
untuk menyelesaikannya, setidaknya hati kamu bisa sedikit tenang dengan berbagi’
blabalabla dan kata kata itu juga yang kerap kali saya katakan kepada teman
teman yang bernasib sama seperti saat ini. Dan tiba tiba saya seperti menipu
diri sendiri, menyuruh orang lain untuk bisa berbagi masalahnya, sedangkan saya
sendiri malah menutupinya menguncinya dan menyimpannya rapat rapat.
Tetapi,
itu sama sekali bukan omong kosong. Karena saya mulai berpikir, ‘kapan saya
akan mulai dewasa kalau setiap masalah harus diceritakan dan mencari solusinya
kepada orang lain? Kapan saya akan belajar mencari solusi untuk orang lain
kalau solusi untuk diri sendiri saja begitu sulit saya dapatkan.’ Kapan saya
bisa ini, kapan saya bisa itu, dan hal lain lainnya.
Dan
jadi saya memutuskan, selagi itu bukanlah suatu hal yang memang tidak
sepatutnya saya umbarkan, pun selagi saya sendiri (si pemilik masalah) mampu
mengatasinya, kenapa harus mencoba mengatasinya bersama orang lain? Toh mereka
juga memiliki masalah internal pun sosial masing masing, jadi masih banyak
masalah yang harus mereka hadapi
ketimbang duduk mendengarkan masalah masalah saya kemudian berpikir keras untuk
berusaha menyelesaikannya, kemudian kembali berpikir lebih keras untuk
menyelesaikan masalah dirinya sendiri.
Benar,
orang yang baik adalah orang yang mampu mengatasi masalah masalahnya sendiri
pun masalah orang lain. Tetapi, jika sudah keruwetan dan akhirnya bukan
menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya bisa kacaukan, misalnya mungkin karena
sibuk memikirkan masalah orang lain kemudian masalah sendiri terbengkalai dan
akhirnya masalah sendiri bertambah besar. Tetapi bagaimanapun saya tetap
percaya, masih ada orang orang baik seperti itu diluar sana, namun mungkin
tidak terlihat secara nyata.
Karena
pada akhirnya, saya tetap memilih untuk belajar dewasa. Dewasa yang seperti
apa? Mungkin seperti saya bisa menahan diri dan kemudian mencoba menyelesaikan
sendiri. Dan dewasa yang seperti apa? Mungkin juga seperti ketika pada akhirnya
saya juga tidak menemukan sebuah solusi, kemudian saya akan mencoba berbaginya.
Tidak sederhanakah itu?
No comments:
Post a Comment