Sunday, April 20, 2014

Solve Your Problem



Orang yang lemah bukanlah orang yang pernah mengharapkan dirinya untuk lemah. Seperti saya, salah satu kelemahan saya adalah bahwa saya lemah. Bukan berarti saya dilahirkan dengan harapan menjadi seseorang yang lemah, pun ibu saya sendiri tidak pernah mengharapkan anak anaknya akan lemah. Namun, entah bagaimana pada suatu sisi saya pernah memaki diri sendiri. “Kenapa saya harus selemah ini? “ Karena pada situasi situasi yang entah bagaimana –seperti kesepian, kekalahan, ketidakdianggapkan– saya kerap kali menangisi diri sendiri yang tercipta lemah seperti ini.

Kalau saya boleh jujur dan sedikit bercerita, seminggu kemarin adalah hari hari terberat bagi saya. Entah karena saya yang terlalu menganggapnya serius hingga memberatkan saya atau karena memang seperti itu adanya. Yang pasti, saya menahan kegagalan itu seorang diri. Sulit mencerikan isi hati yang sebenarnya pada orang orang terdekat, mungkin karena saya tidak ingin merepotkan mereka (karena mereka sudah terlalu repot mengurusi diri sendiri jangan sampai tambah repot mengurusi saya) atau karena saya mulai berpikir ‘ini adalah saatnya saya menanggung semua masalah saya sendiri’, atau juga karena saya tidak ingin terlalu membuka diri lagi kepada orang orang. Sebenarnya itu adalah pilihan yang sulit, karena bagaimana pun, sekuat apapun saya mampu tertawa di hadapan orang orang, hati kecil saya selalu menangisinya.

Dan sejak itu saya mulai berpikir, untuk apa selalu merepotkan orang lain kalau saya sendiri bisa mengatasinya? Mungkin kebanyakan orang akan menasihati ‘masalah itu jangan dipendam, cerita saja kepada orang terdekatmu atau orang yang kau anggap dapat dipercaya, mungkin mereka memiliki solusi untuk menyelesaikannya, setidaknya hati kamu bisa sedikit tenang dengan berbagi’ blabalabla dan kata kata itu juga yang kerap kali saya katakan kepada teman teman yang bernasib sama seperti saat ini. Dan tiba tiba saya seperti menipu diri sendiri, menyuruh orang lain untuk bisa berbagi masalahnya, sedangkan saya sendiri malah menutupinya menguncinya dan menyimpannya rapat rapat.

Tetapi, itu sama sekali bukan omong kosong. Karena saya mulai berpikir, ‘kapan saya akan mulai dewasa kalau setiap masalah harus diceritakan dan mencari solusinya kepada orang lain? Kapan saya akan belajar mencari solusi untuk orang lain kalau solusi untuk diri sendiri saja begitu sulit saya dapatkan.’ Kapan saya bisa ini, kapan saya bisa itu, dan hal lain lainnya.

Dan jadi saya memutuskan, selagi itu bukanlah suatu hal yang memang tidak sepatutnya saya umbarkan, pun selagi saya sendiri (si pemilik masalah) mampu mengatasinya, kenapa harus mencoba mengatasinya bersama orang lain? Toh mereka juga memiliki masalah internal pun sosial masing masing, jadi masih banyak masalah yang harus mereka hadapi ketimbang duduk mendengarkan masalah masalah saya kemudian berpikir keras untuk berusaha menyelesaikannya, kemudian kembali berpikir lebih keras untuk menyelesaikan masalah dirinya sendiri.

Benar, orang yang baik adalah orang yang mampu mengatasi masalah masalahnya sendiri pun masalah orang lain. Tetapi, jika sudah keruwetan dan akhirnya bukan menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya bisa kacaukan, misalnya mungkin karena sibuk memikirkan masalah orang lain kemudian masalah sendiri terbengkalai dan akhirnya masalah sendiri bertambah besar. Tetapi bagaimanapun saya tetap percaya, masih ada orang orang baik seperti itu diluar sana, namun mungkin tidak terlihat secara nyata.

Karena pada akhirnya, saya tetap memilih untuk belajar dewasa. Dewasa yang seperti apa? Mungkin seperti saya bisa menahan diri dan kemudian mencoba menyelesaikan sendiri. Dan dewasa yang seperti apa? Mungkin juga seperti ketika pada akhirnya saya juga tidak menemukan sebuah solusi, kemudian saya akan mencoba berbaginya. Tidak sederhanakah itu?

No comments:

Post a Comment