Monday, February 10, 2020

Good Things

“Di langit yang kau tatap, ada rindu yang aku titip” -katamu dahulu kala.
Apa kabar? Sedang apa? Begitu banyak hal yang hendak ku tanyakan. Namun bibir ini kelu. Aku hanya mampu menitipkan sepucuk surat di sudut cakrawala, berharap akan kau baca. Atau jika tidakpun, kau tahu bahwa hari ini aku memikirkanmu. Tak berlebihan, tak kekurangan. Akhirnya waktu menimbun aku dengan debunya. Perlahan membuatmu tak lagi mengingatku. Aku tidak tau lagi kau ada di mana. Sudah lama kita tidak lagi berusaha untuk saling menghubungi. Ah, ini yang dulu aku mau bukan? Adalah gengsi yang membuatku tidak mau menyapamu. Mungkin kau pun sama, bertahan ditepian keangkuhan, tak mau jadi orang pertama yang mengucap salam. Ya walau ku rasa ini yang terbaik. Untuk apa kita saling menyiksa diri? Kembali untuk memperbaiki kesalahan, dengan kembali untuk mengulangi kesalahan, memang beda tipis. Dan aku tau kita tidak mau terjebak euforia sesaat. Seorang sahabat menghampiriku lalu menepuk bahuku. “Untuk bersyukur, ada kalanya kita perlu memandang, ada kalanya kita perlu terpejam, ada kalanya kita perlu menengadah, ada kalanya kita perlu bersujud. Jika tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan, berdoalah. Berdoalah dengan segenap-genapnya hati. Tuhan tidak pernah terlalu sibuk mendengar doa kita” ujarnya.
Aku kembali memandang langit. Aku tau, di sana dapat ku temui dirimu.
Garis Waktu – Fiersa Besari

Akhir akhir ini saya sedang banyak flashback. Membuka folder gallery di HD, menemukan foto dan video yang sesekali membuat saya cekikikan, dan sesekali membuat saya terdiam muram. Ada banyak kenangan yang sudah saya lewati. Beberapa begitu membekas hingga terasa masih seperti kemarin. Sisanya, kepala saya yang menerka nerka, ‘ini kapan?’, ‘wah ternyata sempat ini yang dulu’, ‘ckckck enggak nyangka dulu begini’ dan sederet argumen lainnya. Di sana saya sadar, bahwa ada begitu banyak yang telah saya lalui, dengan ter-planning, dan dengan let it flow.  Tak ada yang harus saya sesali satu kenanganpun. Karena kenangan-kenangan itu hadir dan tumbuh hingga membentuk saya yang seperti sekarang.

Setelah melewati waktu membongkar kenangan, saya jadi berpikir, ingin menuangkannya dalam cerita cerita. Apa itu berbentuk cerita singkat, atau berbentuk episode yang saling bersambung.

Tapi, sayangnya saya ragu. Beberapa cerita begitu disayangkan untuk kembali diceritakan. Pahamkan? Jadi, mungkin niat ini akan saya tunda dulu. Toh, bingung juga mau mulai dari mana, dan bagaimana. Ckckck. Jangan kecewa ya.

“Tuhan tidak pernah terlalu sibuk mendengar doa kita”
Kalau merasa kecewa, berdoa saja, mana tau suatu saat berubah pikiran. Hehe

Oya, bagaimana kabarnya? Sudah lebih baik dari kemarin? Atau justru sebaliknya?

Beberapa saat lalu, salah satu teman saya berkata, bahwa saya adalah seorang informan.
What? Informan?

Kalau menurut KBBI, pengertian informan adalah:
informan/in·for·man/ n
1 orang yang memberi informasi: dia adalah -- polisi;
2 orang yang menjadi sumber data dalam penelitian; nara-sumber

Kalau dari Wikipedia:
Informan (juga disebut informer) adalah orang yang memberikan informasi tentang seseorang atau organisasi kepada sebuah agensi. Istilah tersebut biasanya digunakan dalam dunia penegakan hukum, dimana mereka secara resmi disebut sebagai konfidential atau informan kriminal, dan dapat merujuk kepada penyampaian informasi tanpa konsend ari pihak lainnya dengan bayaran dalam bentuk uang atau pribadi. Namun, istilah tersebut juga digunakan dalam bidang politik, industri dan academia.

Jujur sih, saya sedikit risih dengan sebutan itu. Sedikit terkesan semi negatif. Menurut saya, ketika seseorang menjadi informan, orang orang akan merasa terpaksa ketika harus memberitahukan sesuatu tentangnya, tentang teman temannya kepada sang informan ini. Karena dasarnya, si informan ya harus tau segala sesuatu yang dibutuhkannya. Entah itu dengan cara halus, tersirat, atau bahkan sebaliknya. Ketika menjadi informan, informasi  apapun tidak akan bisa disangkut pautkan dengan perasaan.

Saya? Segala informasi yang saya dapat, sering saya sangkutpautkan dengan perasaan.

Gini deh, saya mulai dari sini dulu.
Akan ada 1, 2, 3 atau entah berapa orang diluar sana yang sering bertanya pada saya:
“K, si ini gimana kabarnya?”
“Tau kabar dia enggak? Dia dari kemarin enggak bisa dihubungi.”
“K, teman teman angkatan kamu siapa saja yang belum lulus?”
“K, si A enggak kuliah lagi ya? Dari kapan?”
“K, si B lanjut kuliah di sana ya?”
“K, si C kerja dimana sekarang? Posisinya lagi di mana?”

Ada entah berapa kombinasi pertanyaan serupa yang sering saya terima. Itu membuat saya seperti menjadi seorang “informan”. Honestly, tanpa ada suguhan pertanyaan pertanyaan itu, saya dengan senang hati ingin tau kabar dan kabar mereka. Seperti yang saya tulis sebelumnya, bahwa ketika informan mendapatkan informasi, hal tersebut tidak bisa disangkut pautkan dengan perasaan. Berbeda dengan saya. Ketika mendapat kabar buruk tentang si A, saya akan mengabari si B, si C, dan beberapa lainnya. Ini bukan hanya semata agar informasi si A bisa tersebar kepada orang lain, tapi sebagai bentuk belasungkawa, bentuk sosial kepada teman, membangun komunikasi yang lebih baik, dan beberapa alasan lainnya yang berhubungan dengan perasaan, bukan hanya sebatas informasi. Paham, kan?

Atau contoh lain begini.
Tanpa ada kabar duka, hanya untuk sekedar komunikasi atau memperkuat silaturahmi, saya senang menanyakan kabar, untuk mengetahui beberapa kondisi dan hal hal yang sedang dikerjakan saat ini. Atau misalnya contoh lain. Ketika saya tidak tau keberadaan seseorang, komunikasi juga sudah putus, saya merasa punya tanggung jawab untuk mengetahuinya. Minimal ia adalah seseorang yang dulu pernah cukup dekat dengan saya. Wajarkan?

Ya memang, sesekali saya terkesan sebagai “informan”. Bagaimana tidak, ada banyak pertanyaan bertubi-tubi yang cukup sering saya terima. Di satu sisi, ada kewajiban pada mereka yang ingin mengetahui, dan sisi lain saya yang membutuhkan kabar.
Mungkin, sesekali cara saya yang salah, atau mungkin memang keadaan yang tidak memihak. Tapi, bagaimana pun, seharusnya selalu ada hal dan cara yang baik bukan?

Saya jadi ingat salah satu puisi Pak Joko Pinurbo yang berjudul Kamus Kecil. Ada satu bait puisinya yang keren: bahwa segala yang baik akan berbiak.

Hal hal baik akan berbiak. Percaya tidak? Semoga setelah ini, segala hal baik yang saya lakukan, bisa berbiak ya. Aamiin.

Oya, kemarin ada sebuah chat dari seseorang yang masuk ke WA saya.
“K, tau siapa siapa yang lulus blablabla?”
‘Setau K, Cuma A dan B’
“Kalau si C? si D udah belum ya?”
‘C belum dapat kabar lagi. Kalau D mungkin blablabla’
“D mau berangkat ke blabla ya? Si C kayaknya hari ini deh.”
‘Setau K si D gitu sih. Ok, coba K tanyain dulu si C ya.”

Pening gak bacanya?
Jangan pening dulu. Ini belum selesai.
Kalau jadi posisi K, kalian akan ngapain sih? Mau tau kelanjutannya?
Jadi, K nge-chat di C untuk nanyain sesuatu.Then,

“Si E dimana?”
‘Ada ni kabar si C. Katanya blablabla. Si E kalau enggak salah di blablabla’
“Alhamdulillah”

Kadang ada satu kondisi yang membuat saya merasa “K, kalau ada orang yang nanya tentang A ke kamu, itu artinya kamu harus tau tentang A, minimal sesuatu yang bisa kamu dan orang  lain ketahui. Kalau kamu enggak tau, berarti harus cari tau.”

Honestly, ini sebenarnya bukan beban yang berarti. Tetapi, ini akan menjadi beban, ketika saya berusaha keep contact dan mengetahui kabar, tetapi beberapa justru enggan memberikan kabar, dan malah justru ngeblok saya. Ini benar benar jadi beban. Apalagi ketika dianggap sebagai informan. Toh, saya melakukan itu karena saya merasa, ini tugas saya sebagai seorang teman, sebagai manusia sosial, dan ingin tetap menjalin silaturrahmi juga. Tanpa ada embel embel informan atau sebutan lainnya, melakukan rutinitas yang kadang kadang berjalan kadang kadang terbengkalai ini, membuat saya sudah mencapai salah satu manfaat hidup.

So, mau seperti apapun tanggapan kalian, serisih apapun saya di mata kalian, menurut saya ini adalah hal baik. Bukankah, hal baik akan berbiak?!

No comments:

Post a Comment