Apa kabar? Sedang
apa? Begitu banyak hal yang hendak ku tanyakan. Namun bibir ini kelu. Aku hanya
mampu menitipkan sepucuk surat di sudut cakrawala, berharap akan kau baca. Atau
jika tidakpun, kau tahu bahwa hari ini aku memikirkanmu. Tak berlebihan, tak
kekurangan. Akhirnya waktu menimbun aku dengan debunya. Perlahan membuatmu tak
lagi mengingatku. Aku tidak tau lagi kau ada di mana. Sudah lama kita tidak
lagi berusaha untuk saling menghubungi. Ah, ini yang dulu aku mau bukan? Adalah
gengsi yang membuatku tidak mau menyapamu. Mungkin kau pun sama, bertahan
ditepian keangkuhan, tak mau jadi orang pertama yang mengucap salam. Ya walau
ku rasa ini yang terbaik. Untuk apa kita saling menyiksa diri? Kembali untuk
memperbaiki kesalahan, dengan kembali untuk mengulangi kesalahan, memang beda
tipis. Dan aku tau kita tidak mau terjebak euforia sesaat. Seorang sahabat menghampiriku
lalu menepuk bahuku. “Untuk bersyukur, ada kalanya kita perlu memandang, ada kalanya
kita perlu terpejam, ada kalanya kita perlu menengadah, ada kalanya kita perlu
bersujud. Jika tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan, berdoalah. Berdoalah
dengan segenap-genapnya hati. Tuhan tidak pernah terlalu sibuk mendengar doa
kita” ujarnya.
Aku kembali
memandang langit. Aku tau, di sana dapat ku temui dirimu.
Garis Waktu – Fiersa Besari
Akhir akhir ini saya sedang banyak flashback.
Membuka folder gallery di HD, menemukan foto dan video yang sesekali membuat
saya cekikikan, dan sesekali membuat saya terdiam muram. Ada banyak kenangan
yang sudah saya lewati. Beberapa begitu membekas hingga terasa masih seperti
kemarin. Sisanya, kepala saya yang menerka nerka, ‘ini kapan?’, ‘wah
ternyata sempat ini yang dulu’, ‘ckckck enggak nyangka dulu begini’
dan sederet argumen lainnya. Di sana saya sadar, bahwa ada begitu banyak yang
telah saya lalui, dengan ter-planning, dan dengan let it flow. Tak ada yang harus saya sesali satu
kenanganpun. Karena kenangan-kenangan itu hadir dan tumbuh hingga membentuk
saya yang seperti sekarang.
Setelah melewati waktu membongkar
kenangan, saya jadi berpikir, ingin menuangkannya dalam cerita cerita. Apa itu
berbentuk cerita singkat, atau berbentuk episode yang saling bersambung.
Tapi, sayangnya saya ragu. Beberapa
cerita begitu disayangkan untuk kembali diceritakan. Pahamkan? Jadi, mungkin
niat ini akan saya tunda dulu. Toh, bingung juga mau mulai dari mana, dan
bagaimana. Ckckck. Jangan kecewa ya.
“Tuhan tidak pernah terlalu sibuk
mendengar doa kita”
Kalau merasa kecewa, berdoa saja,
mana tau suatu saat berubah pikiran. Hehe
Oya, bagaimana kabarnya? Sudah lebih
baik dari kemarin? Atau justru sebaliknya?
Beberapa saat lalu, salah satu teman
saya berkata, bahwa saya adalah seorang informan.
What? Informan?
Kalau menurut KBBI, pengertian
informan adalah:
informan/in·for·man/ n
1 orang yang memberi informasi: dia
adalah -- polisi;
2 orang yang menjadi sumber data
dalam penelitian; nara-sumber
Kalau dari Wikipedia:
Informan (juga disebut informer)
adalah orang yang memberikan informasi tentang seseorang atau organisasi kepada
sebuah agensi. Istilah tersebut biasanya digunakan dalam dunia penegakan hukum,
dimana mereka secara resmi disebut sebagai konfidential atau informan kriminal,
dan dapat merujuk kepada penyampaian informasi tanpa konsend ari pihak lainnya
dengan bayaran dalam bentuk uang atau pribadi. Namun, istilah tersebut juga
digunakan dalam bidang politik, industri dan academia.
Jujur sih, saya sedikit risih dengan
sebutan itu. Sedikit terkesan semi negatif. Menurut saya, ketika seseorang menjadi
informan, orang orang akan merasa terpaksa ketika harus memberitahukan sesuatu
tentangnya, tentang teman temannya kepada sang informan ini. Karena dasarnya,
si informan ya harus tau segala sesuatu yang dibutuhkannya. Entah itu dengan
cara halus, tersirat, atau bahkan sebaliknya. Ketika menjadi informan,
informasi apapun tidak akan bisa
disangkut pautkan dengan perasaan.
Saya? Segala informasi yang saya
dapat, sering saya sangkutpautkan dengan perasaan.
Gini deh, saya mulai dari sini dulu.
Akan ada 1, 2, 3 atau entah berapa
orang diluar sana yang sering bertanya pada saya:
“K, si ini gimana kabarnya?”
“Tau kabar dia enggak? Dia dari
kemarin enggak bisa dihubungi.”
“K, teman teman angkatan kamu siapa
saja yang belum lulus?”
“K, si A enggak kuliah lagi ya? Dari
kapan?”
“K, si B lanjut kuliah di sana ya?”
“K, si C kerja dimana sekarang?
Posisinya lagi di mana?”
Ada entah berapa kombinasi
pertanyaan serupa yang sering saya terima. Itu membuat saya seperti menjadi
seorang “informan”. Honestly, tanpa ada suguhan pertanyaan pertanyaan
itu, saya dengan senang hati ingin tau kabar dan kabar mereka. Seperti yang
saya tulis sebelumnya, bahwa ketika informan mendapatkan informasi, hal
tersebut tidak bisa disangkut pautkan dengan perasaan. Berbeda dengan saya.
Ketika mendapat kabar buruk tentang si A, saya akan mengabari si B, si C, dan
beberapa lainnya. Ini bukan hanya semata agar informasi si A bisa tersebar
kepada orang lain, tapi sebagai bentuk belasungkawa, bentuk sosial kepada
teman, membangun komunikasi yang lebih baik, dan beberapa alasan lainnya yang
berhubungan dengan perasaan, bukan hanya sebatas informasi. Paham, kan?
Atau contoh lain begini.
Tanpa ada kabar duka, hanya untuk
sekedar komunikasi atau memperkuat silaturahmi, saya senang menanyakan kabar,
untuk mengetahui beberapa kondisi dan hal hal yang sedang dikerjakan saat ini. Atau
misalnya contoh lain. Ketika saya tidak tau keberadaan seseorang, komunikasi
juga sudah putus, saya merasa punya tanggung jawab untuk mengetahuinya. Minimal
ia adalah seseorang yang dulu pernah cukup dekat dengan saya. Wajarkan?
Ya memang, sesekali saya terkesan
sebagai “informan”. Bagaimana tidak, ada banyak pertanyaan bertubi-tubi yang
cukup sering saya terima. Di satu sisi, ada kewajiban pada mereka yang ingin
mengetahui, dan sisi lain saya yang membutuhkan kabar.
Mungkin, sesekali cara saya yang
salah, atau mungkin memang keadaan yang tidak memihak. Tapi, bagaimana pun, seharusnya
selalu ada hal dan cara yang baik bukan?
Saya jadi ingat salah satu puisi Pak
Joko Pinurbo yang berjudul Kamus Kecil. Ada satu bait puisinya yang keren: bahwa
segala yang baik akan berbiak.
Hal hal baik akan berbiak. Percaya tidak?
Semoga setelah ini, segala hal baik yang saya lakukan, bisa berbiak ya. Aamiin.
Oya, kemarin ada sebuah chat dari
seseorang yang masuk ke WA saya.
“K, tau siapa siapa yang lulus
blablabla?”
‘Setau K, Cuma A dan B’
“Kalau si C? si D udah belum ya?”
‘C belum dapat kabar lagi. Kalau D
mungkin blablabla’
“D mau berangkat ke blabla ya? Si C
kayaknya hari ini deh.”
‘Setau K si D gitu sih. Ok, coba
K tanyain dulu si C ya.”
Pening gak bacanya?
Jangan pening dulu. Ini belum
selesai.
Kalau jadi posisi K, kalian akan ngapain
sih? Mau tau kelanjutannya?
Jadi, K nge-chat di C untuk nanyain
sesuatu.Then,
“Si E dimana?”
‘Ada ni kabar si C. Katanya blablabla.
Si E kalau enggak salah di blablabla’
“Alhamdulillah”
Kadang ada satu kondisi yang membuat
saya merasa “K, kalau ada orang yang nanya tentang A ke kamu, itu artinya
kamu harus tau tentang A, minimal sesuatu yang bisa kamu dan orang lain ketahui. Kalau kamu enggak tau, berarti
harus cari tau.”
Honestly, ini
sebenarnya bukan beban yang berarti. Tetapi, ini akan menjadi beban, ketika
saya berusaha keep contact dan mengetahui kabar, tetapi beberapa justru
enggan memberikan kabar, dan malah justru ngeblok saya. Ini benar benar jadi
beban. Apalagi ketika dianggap sebagai informan. Toh, saya melakukan itu karena
saya merasa, ini tugas saya sebagai seorang teman, sebagai manusia sosial, dan ingin
tetap menjalin silaturrahmi juga. Tanpa ada embel embel informan atau sebutan
lainnya, melakukan rutinitas yang kadang kadang berjalan kadang kadang terbengkalai
ini, membuat saya sudah mencapai salah satu manfaat hidup.
So, mau seperti apapun tanggapan
kalian, serisih apapun saya di mata kalian, menurut saya ini adalah hal baik.
Bukankah, hal baik akan berbiak?!
No comments:
Post a Comment