Cinta
itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari
meskipun musiknya telah lama berhenti – Tere Liye
Kicauan
burung hari itu mulai berkurang karena hari semakin panas. Meskipun jam masih
menunjukkan pukul 10 lewat, tetap saja matahari seperti berada tepat di atas
kepala. Ke-4 gadis dan satu-satunya lelaki yang sejak tadi bergumel riang
diperjalanan menuju kantin akhirnya dapat duduk lega di salah satu pojok kantin
yang belum terlalu ramai saat itu.
“Pesan
apaan geng?” Sarah melirik-lirik abang kantin sambil celingak celinguk.
Kepalanya bahkan sudah berputar ide sejak diperjalanan tadi ingin memesan
makanan dan minuman apa. Kantin tersebut tidak begitu luas, mungkin hanya
sekitar15x6 meter persegi. Jumlah kursi dan meja di dalamnya juga tidak cukup
banyak, tak jarang ketika jam istirahat siang kantin selalu penuh. Telat 5
menit saja meja dan kursi sudah dihuni oleh mahasiswa dari berbagai progam
studi lainnya.
“Aku
mie caluk sama kopi dingin deh.” Icha berseru sambil membuka tas merah maroon nya mengambil gadget kemudian
mulai lincah menyentuh layarnya.
“Aku
kenyang, minum teh dingin aja deh.” Sambung Reni. Ia duduk sambil bersandar
disisi kursi kayu yang cukup tua, namun telah direkatkan dengan paku-paku agar
lebih kuat. Di samping kanannya duduk Icha yang masih sibuk memainkan
gadgetnya. Sesekali matanya melirik kearah benda yang menyibukkan Icha.
“Room
pesan apa?” Tanya Sarah
“Aku
bakso aja deh.”
“Cika?”
kini Sarah mengarahkan pandangannya ke Cika yang sejak tadi duduk tanpa
berkomentar apa-apa.
Cika
bergumam sesaat sebelum menyebutkan keinginannya. “Kenyang, minum aja. Susu
dingin.”
“OK”
Sarah mengacungkan jempol dan melambaikan tangan ke arah abang kantin yang
tengah duduk di deretan kursi depan kasir.
“Eh
bentar, aku gak jadi bakso. Mie pangsit aja Sar, sama air putih dingin.” Room
menyeletuk tiba-tiba. Pesanannya berubah setelah matanya menyurvei satu persatu
jenis makanan dalam gerobak-gerobak kecil yang bertegger ditepi-tepi dinding
kantin.
Kantin
ini memang tidak menyediakan buku menu ataupun selebaran kertas yang berisikan
aneka makanan dan minuman yang tersedia. Setiap yang ingin makan boleh pesan
langsung di gerobak makanan yang diinginkan ataupun melalui abang-abang kece di kantin, yang biasanya mengolah
minuman dan menjadi kasir.
“Ren!”
Icha berseru sambil mengambil posisi berdempetan disebelah Reni. Kemudian
tangan kanannya dengan lembut mengambil pose selfie terbaik. Tanpa hitungan
seperti orang berfoto pada umumnya, Rani dan Icha langsung memasang gaya
ala-ala candid yang sedang nge-trend saat ini. Yang satu melihat langit-langit
kantin yang sedikit dihiasi sarang laba-laba, dan satu lagi melihat ke arah
luar jendela, seakan menemukan bingkisan hidupnya. Selagi Reni dan Icha ber-selfie, Sarah memesan semua makanan dan minuman pada abang kantin yang sudah menghampiri mereka.
Dunia
seakan memilih lemparan koin terbaik pada pemilih wajah bulat bermata belok
tersebut. Sesosok lelaki tampan dengan gaya rambut belahan seperti Aliando Syarief muncul dari pintu masuk
kiri kantin. Saat itu juga jantung Reni mulai berdegup lebih kencang. Foto selfie
yang baru saja diambil dengan smartphone terbaru keluaran 2016 milik Icha
seakan tidak penting lagi bagi Reni. Matanya terus menatap kumpulan lelaki berjumlah
5 orang yang berjarak sekitar 8 meter dari tempat duduknya saat ini.
Tanpa
langkah gontai, sosok yang membuat jantung Reni berdebar lebih kuat dari batas
normal terus berjalan, seperti menuju kearahnya. Reni pun langsung menyibukkan
diri memainkan gadgetnya yang sejak tadi terletak di atas meja. Ia berusaha
mengontrol deru jantungnya yang semakin tidak karuan. Harap-harap wajahnya yang
mulai memerah tidak disadari oleh kawan-kawannya yang duduk dimeja yang sama,
begitupun oleh 5 lelaki yang baru saja masuk kantin.
5
detik berlalu. Rombongan lelaki tersebut berada tepat di samping meja Reni
dan kawan-kawannya. Nafas Reni tercengal dan nyangkut ditenggorokan. Dengan sekuat
tenaga ia mencoba mengangkat wajahnya dari kepura-puraan sibuk melihat layar
smartphone. 1..2..3.. gerombongan itu masih berdiri sambil celingak celinguk,
seperti mencari tempat duduk yang nyaman.
“Di
sini aja” seru salah satu rombongan tersebut. Mereka memutuskan duduk di
samping pojok kantin. Tanpa di sadari bahwa kalimat tersebut semakin membuat
Reni salah tingkah. Wajahnya terlihat bodoh melihat teman-teman satu mejanya.
“Kenapa
Ren?” Tanya Icha yang melihat gelagat tidak biasa pada Reni. Reni sedikit
terkejut dan membelalakkan matanya.
“Boleh
ambil kursi ini?” Tanya seseorang, bagian dari rombongan 5 lelaki itu.
Seluruh
meja Reni melihat lelaki yang bertanya pada mereka sambil memegang ujung papan
senderanan kursi, kecuali Reni. Wajahnya semakin memerah.
Anggukan
kecil dari kawan-kawan Reni menjawab pertanyaannya.
Tanpa
ragu, ia langsung membopoh kursi ke meja seberang. Namun ekor matanya tidak
lepas melihat Reni yang masih duduk dengan kesibukannya yang tidak jelas untuk
menetralkan keadaan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil melihat-melihat langit
kantin. Tubuhnya tidak bisa berkompromi lebih baik setelah kejadian beberapa
detik yang lalu.
Be
continue…
No comments:
Post a Comment