Thursday, July 21, 2016

Here, Still Standing

Baca Part 1
Part 2: Dag Dig Dug

Cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti – Tere Liye

Kicauan burung hari itu mulai berkurang karena hari semakin panas. Meskipun jam masih menunjukkan pukul 10 lewat, tetap saja matahari seperti berada tepat di atas kepala. Ke-4 gadis dan satu-satunya lelaki yang sejak tadi bergumel riang diperjalanan menuju kantin akhirnya dapat duduk lega di salah satu pojok kantin yang belum terlalu ramai saat itu.
“Pesan apaan geng?” Sarah melirik-lirik abang kantin sambil celingak celinguk. Kepalanya bahkan sudah berputar ide sejak diperjalanan tadi ingin memesan makanan dan minuman apa. Kantin tersebut tidak begitu luas, mungkin hanya sekitar15x6 meter persegi. Jumlah kursi dan meja di dalamnya juga tidak cukup banyak, tak jarang ketika jam istirahat siang kantin selalu penuh. Telat 5 menit saja meja dan kursi sudah dihuni oleh mahasiswa dari berbagai progam studi lainnya.
“Aku mie caluk sama kopi dingin deh.” Icha berseru sambil membuka tas merah maroon nya mengambil gadget kemudian mulai lincah menyentuh layarnya.
“Aku kenyang, minum teh dingin aja deh.” Sambung Reni. Ia duduk sambil bersandar disisi kursi kayu yang cukup tua, namun telah direkatkan dengan paku-paku agar lebih kuat. Di samping kanannya duduk Icha yang masih sibuk memainkan gadgetnya. Sesekali matanya melirik kearah benda yang menyibukkan Icha.
“Room pesan apa?” Tanya Sarah
“Aku bakso aja deh.”
“Cika?” kini Sarah mengarahkan pandangannya ke Cika yang sejak tadi duduk tanpa berkomentar apa-apa.
Cika bergumam sesaat sebelum menyebutkan keinginannya. “Kenyang, minum aja. Susu dingin.”
“OK” Sarah mengacungkan jempol dan melambaikan tangan ke arah abang kantin yang tengah duduk di deretan kursi depan kasir.
“Eh bentar, aku gak jadi bakso. Mie pangsit aja Sar, sama air putih dingin.” Room menyeletuk tiba-tiba. Pesanannya berubah setelah matanya menyurvei satu persatu jenis makanan dalam gerobak-gerobak kecil yang bertegger ditepi-tepi dinding kantin.
Kantin ini memang tidak menyediakan buku menu ataupun selebaran kertas yang berisikan aneka makanan dan minuman yang tersedia. Setiap yang ingin makan boleh pesan langsung di gerobak makanan yang diinginkan ataupun melalui abang-abang kece di kantin, yang biasanya mengolah minuman dan menjadi kasir.
“Ren!” Icha berseru sambil mengambil posisi berdempetan disebelah Reni. Kemudian tangan kanannya dengan lembut mengambil pose selfie terbaik. Tanpa hitungan seperti orang berfoto pada umumnya, Rani dan Icha langsung memasang gaya ala-ala candid yang sedang nge-trend saat ini. Yang satu melihat langit-langit kantin yang sedikit dihiasi sarang laba-laba, dan satu lagi melihat ke arah luar jendela, seakan menemukan bingkisan hidupnya. Selagi Reni dan Icha ber-selfie, Sarah memesan semua makanan dan minuman pada abang kantin yang sudah menghampiri mereka. 
Dunia seakan memilih lemparan koin terbaik pada pemilih wajah bulat bermata belok tersebut. Sesosok lelaki tampan dengan gaya rambut belahan seperti Aliando Syarief muncul dari pintu masuk kiri kantin. Saat itu juga jantung Reni mulai berdegup lebih kencang. Foto selfie yang baru saja diambil dengan smartphone terbaru keluaran 2016 milik Icha seakan tidak penting lagi bagi Reni. Matanya terus menatap kumpulan lelaki berjumlah 5 orang yang berjarak sekitar 8 meter dari tempat duduknya saat ini.
Tanpa langkah gontai, sosok yang membuat jantung Reni berdebar lebih kuat dari batas normal terus berjalan, seperti menuju kearahnya. Reni pun langsung menyibukkan diri memainkan gadgetnya yang sejak tadi terletak di atas meja. Ia berusaha mengontrol deru jantungnya yang semakin tidak karuan. Harap-harap wajahnya yang mulai memerah tidak disadari oleh kawan-kawannya yang duduk dimeja yang sama, begitupun oleh 5 lelaki yang baru saja masuk kantin.  
5 detik berlalu. Rombongan lelaki tersebut berada tepat di samping meja Reni dan kawan-kawannya. Nafas Reni tercengal dan nyangkut ditenggorokan. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mengangkat wajahnya dari kepura-puraan sibuk melihat layar smartphone. 1..2..3.. gerombongan itu masih berdiri sambil celingak celinguk, seperti mencari tempat duduk yang nyaman.
“Di sini aja” seru salah satu rombongan tersebut. Mereka memutuskan duduk di samping pojok kantin. Tanpa di sadari bahwa kalimat tersebut semakin membuat Reni salah tingkah. Wajahnya terlihat bodoh melihat teman-teman satu mejanya.
“Kenapa Ren?” Tanya Icha yang melihat gelagat tidak biasa pada Reni. Reni sedikit terkejut dan membelalakkan matanya.
“Boleh ambil kursi ini?” Tanya seseorang, bagian dari rombongan 5 lelaki itu.
Seluruh meja Reni melihat lelaki yang bertanya pada mereka sambil memegang ujung papan senderanan kursi, kecuali Reni. Wajahnya semakin memerah.
Anggukan kecil dari kawan-kawan Reni menjawab pertanyaannya.
Tanpa ragu, ia langsung membopoh kursi ke meja seberang. Namun ekor matanya tidak lepas melihat Reni yang masih duduk dengan kesibukannya yang tidak jelas untuk menetralkan keadaan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja sambil melihat-melihat langit kantin. Tubuhnya tidak bisa berkompromi lebih baik setelah kejadian beberapa detik yang lalu.

Be continue…


No comments:

Post a Comment