Friday, March 25, 2016

Bajrangi Baijaan


Bajrangi Baijaan
Cerita tentang dua negara yang terpisah oleh berbagai macam rasa. Mulai dari agama, kebencian, dan masalah-masalah yang silih berganti. Pawan, atau yang akrab disapa Bajrangi, seorang pemuda asal India yang mengorbankan kehidupannya demi kehidupan gadis kecil asal Pakistan yang tanpa sengaja tertinggal dari Ibunya. Menonton kisahnya hingga ending membuat saya gemetaran, harus merasakan seper-bagian feeling dari setiap aktornya. Shahida, gadis cilik berumur 6 tahun tersebut mengukir jejak jatuh bangun pada kehidupan Pawan. Bukan hanya Pawan, bahkan hampir seluruh ke-2 negeri tersebut merasakan perbedaan yang kian mulai menyatu (dalam film).

Jatuh bangun yang membuat saya harus mengacungan kedua jempol adalah beberapa bagian dimana Pawan melewati serentetan ujian yang tak kunjung tamat. Misalya saat ingin menyebrangi perbatasan India – Pakistan tanpa passport maupun visa (setelah ditipu oleh orang yang ingin mengambil keuntungan). Pertama dipulangkan oleh para penjaga perbatasan setelah berhasil melewati jalan pintas bawah tanah untuk mencapai daerah Pakistan. Kedua, ia kembali melalui jalan pintas lain dan bertemu dengan para penjaga yang sama lagi. Karena penganut dewa Bajrangi, Pawan pun memiliki sifat jujur sejujurnya, ia tidak ingin pergi melewati perbatasan tanpa izin dari mereka. Kemudian, Ia dipukul oleh para penjaga, sedangkan Munni (nama lain Shahida yang diberikan oleh Pawan karena ia tidak bisa berbicara dan mengatakan nama aslinya) hanya melihat dari sudut pasir lain dengan linangan air mata. Dengan wajah bahagia dan hati mulia, Pawan berkata pada Munni “Munni, jangan khawatir, kami hanya bersenang-senang“ kemudian ia kembali di tendang oleh para penjaga lainnya.

Dalam hati saya bergetar, dan ingin berteriak (dramatis) ‚“Apanya yang sedang senang-senang? Nyaris babak belur dikatakan senang-senang?“ kemudian saya menafsirkan sendiri, kalimat tersebut guna menghapus kesedihan Munni agar tidak menangis melihat Pawan terus dipukuli, lebih kurangnya saya pikir begitu. Dan lagi, Pawan kembali tersenyum kepada Munni yang terus saja menangis karena sedih melihat penderitaan Pawan, sosok pemuda yang sedang (sudah) menyelamatkan hidupnya. Mungkin karena rasa iba dan secuil rasa kasihan pada Munni yang terus saja menangis, sang komandan menyuruh para penjaga untuk berhenti memukul dan menendang Pawan.

“Aku telah berjanji pada bajrangi untuk tidak berhenti menemukan orang tuanya.“ Kata Pawan sambil menatap lekat-lekat mata komandan tersebut. Singkat cerita, komandan memberikan izin kepada Pawan dan Munni setelah 3 kali kedapatan berada pada perbatasan India – Pakistan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan syarat bahwa Pawan akan kembali ke perbatasan dan pulang ke India setelah menemukan orang tua Minna.

Sampai disuatu tempat, mereka ditangkap polisi. Cukup buruk nasib Pawan, si pemilik hati berjiwa tulus. Untuk melakukan satu kebaikan saja –memulangkan Munni pada orang tuanya– harus melewati sederet cobaan yang dahsyat.

Mulai dari harus bermalam di mesjid, yang dalam agamanya Pawan sendiri dilarang, sampai harus berpenampilan menggunakan cadar seperti wanita muslimah untuk bisa lolos dari pengawasan polisi, ditemani sang ustadz.
Di akhir pertemuan mereka, ustadsz tersebut memberi salam. Namun ketika sadar bahwa Pawan tidak beragama islam, ustadz pun memberi salam perpisahan dengan bahasa Pawan, “Jai Sri Ram“. Kalimat tersebut menjadi trending topic hingga cerita berakhir, Jai Sri Ram.

Hingga ditangkap dan dituduh sebagai mata-mata India untuk menghancurkan Pakistan, Pawan tetap saja bersitekad ingin menemukan orang tua Munni. Dalam film ini, yang membuat saya merasakan getar amarah juga kebahagiaan adalah ketika seorang pejabat yang bersikeras untuk tetap membuktikan bahwa Pawan adalah seorang mata-mata, di sana pula ada seorang polisi yang berjiwa patriot. Ia mengatakan bahwa tidak ingin merusak nama baik negaranya demi suatu kebohongan yang tidak pernah dilakukannya, ketika dipaksa oleh atasannya untuk membuktikan suatu kesalahan menjadi benar. Saya salut, hal ini menceritakan bahwa diluar sana masih ada orang-orang yang bisa menegakkan kebenaran, meski harus melewati sekotak resiko.

Dengan bantuan sang wartawan, yang telah menemani hari-hari Pawan bersama Minna (Shahida) ia merekam seluruh jejak perjalanan mereka dan mengunggahnya di youtube. Ribuan bahkan jutaan orang menontonnya dan berpartisipasi untuk menolong mereka. Hingga akhirnya setelah dilepaskan dari tahanan, Pawan kembali ke India, negara asalnya. Dari kejauhan ,Shahida (akhirnya Pawan tau nama asli Munni), berlari menemui Pawan di perbatasan. Pada detik-detik yang sangat menegangkan ini, saya kembali menitikkan air mata melihat perjuangan Shahida memanggil nama Pawan. Namun tidak disangka-sangka, tiba-tiba saja Shahida memiliki suara dan meneriakkan nama Pawan sambil menangis bahagia. Pawan berbalik, dan mereka saling berlarian menghampiri satu sama lain.

Ending.
Saya terkesan. Campur aduk perasaan dalam film ini mengajari saya beberapa hal, bahwa Pawan, seorang pemuda nonmuslim memiliki hati selembut sutra untuk menolong gadis kecil muslim. Ia tidak pernah menyerah, tidak pernah putus asa. Meski tekadnya untuk bersifat jujur pada akhirnya harus sedikit melenceng demi kebaikan. Tapi bagaimanapun, penilaian orang tidak akan pernah habis. Hidup hanya terus berjalan satu kali, dan itulah yang dilakukan oleh Pawan. 

Saat Shahida bertemu Ibunya

Detik-detik Shahida meneriakkan nama Pawan dan mereka saling berlarian menghampiri
bagian paling TOP yang saya sukai

No comments:

Post a Comment