Friday, June 5, 2015

Indah Pada Waktunya



“Ini untuk Ibuku, juga untuk masa depanku.” Kataku dengan penuh kepastian. Daun-daun tua yang gugur menjadi saksi bisu percakapanku dengan sang pencipta langit, pemilik seluruh alam jagat  raya ini. Ku sapu pandangan di hadapanku, sebuah gundukan tanah berwarna cokelat kemerahan dengan taburan bunga yang sudah layu, sedetik kemudian air mata membanjiri pipiku.

***
1 minggu lalu.
Aku membanting pintu kamar dengan keras hingga menggetarkan rak kecil berisi album-album metal di sudut kamar. Ku hempaskan tubuh pada kasur dengan seprai bermotif wajah-wajah seram yang tak lain adalah sebuah band metal favorit ku, Slipknot. Ku pejamkan mata sesaat mencoba menemukan sedikit udara segar pada kamar berukuran sedang dengan dinding yang penuh oleh poster-poster band metal terkenal. Semenit kemudian, butiran air mata jatuh membasahi pipiku. Ku usap pipi yang basah dengan tangan kosong sambil membalikkan badan menatap keluar jendela. Butiran-butiran air mata lainnya mulai menemani kesepianku hingga tidur terlelap.

“Nisa.” Panggil Ibu dari luar kamar sambil mengetuk pintu kamarku. “Bangun sayang. Sudah subuh, shalat dulu, nak” sambungnya sambil terus mengetuk-ngetuk pintu kamarku dan memutar handle pintu. Aku menguap dan kemudian membalikkan tubuh menutup kepala serta telingaku dengan guling. Tak ku gubris ketukan ibu dari luar yang mencoba membangunkanku. Kantuk masih begitu penting untuk ku dahului saat ini. Dan akupun kembali tertidur.

“Kriiing..kriiing…” jam beker yang terletak di atas meja dekat sudut kasur ku berbunyi tepat pukul 7 pagi. Mataku perlahan terbuka, mencoba meraih jam yang terus berdering sambil mengumpulkan lebih banyak tenaga untuk bangkit. Alarm berhasil ku matikan dengan menyentuh tombol berwarna merah pada jam tersebut. Mataku masih berat dan enggan terbuka, apalagi untuk bangkit dari kasur yang begitu empuk. Tidak sampai semenit dari gangguan alarm yang membuatku terjaga, kini ketukan pintu seperti tadi subuh kembali bergeming di pintu kamarku. “Tuk..tuk..tuk” ibu mengetuk pintu dan mendobrak sedikit handel pintunya. “Bangun, Nisa. Kamu harus sekolah. Sudah jam 7, ayolah, nak.” Suara ibu yang sedikit keras membuat mataku terbuka dan melototi pintu kamar. Kemudian aku hanya menjawab “ya”. Tidak ada suara ketukan pintu lagi, ibu sudah bergerak meninggalkan kamarku.

Di pagar sekolah.
Langkah kakiku begitu berat untuk menapaki rumput-rumput hijau di sekolah ini. Rasanya suasana yang ku butuhkan saat ini bukanlah duduk disalah satu kursi kelas dan mendengarkan cerita-cerita serta angka yang tiada habisnya, meskipun itu kursi yang terletak di sudut belakang sekalipun. Aku menyapu pandangan ke sekeliling sekolah. “Mungkin kantin belakang sudah dibuka, aku bisa bolos dan duduk di sana saja” ucapku dalam hati. Kemudian dengan wajah penuh harapan untuk tidak masuk ke kelas dan bolos belajar, kakiku pun bergerak menuju kantin belakang sekolah.

Sesampai di sana aku langsung memesan minuman cappuccino dingin dan mengambil 2 gorengan dalam nampan plastik berbentuk kotak. “Hai ica, bolos ya?” sapa Fredi yang tiba-tiba muncul dari belakang membawa sepiring lontong. “Eh iya, malas balajar. Kamu?” tanyaku kembali padanya sambil menggeser sedikit tempat duduk berbagi dengannya. Ia tertawa sambil meninju kecil bahuku. “Aku bisa membaca tingkahmu ketika mombolos”. Aku membalas tinju kecilnya dan melahap sepotong lontong dalam piring di hadapannya.

Setelah usai menghabiskan makanan dan minuman yang kami pesan, aku mengeluarkan smartphone dibalik saku kemeja seragamku dan mengetik sebuah pesan dan menekan ‘send’. “Kita ngejam yuk, bosan.” Ku tatap jam tangan berwarna abu-abu pemberian Ibu saat usia ku genap 16 tahun. Fredi tertawa lebar dan segera bangkit dari kursinya. “Yuk, tunggu apa lagi.” Aku pun ikut tertawa lebar. “Bams dan Joe udah aku sms nih, suruh mereka segera ke studio untuk main.” Sambungku kemudian menuju ibu kantin,  membayar minuman dan kue yang sudah mengganjal perut kosongku.

Ini adalah kesekian kalinya tanpa terhitung aku membolos untuk ngejam bersama teman se-band ku. Taktik yang biasa kami lakukan adalah lompat dari pagar belakang. Pagarnya tidak cukup tinggi, jadi sedikit lebih mudah untuk ku panjati. Berbekal kegiatan ekstrakulikuler yang dahulu aku tekuni di SMP, lompat jauh, membuat tubuhku terbiasa melompati pagar-pagar ini demi membolos sekolah. Penjaga sekolah hanya ada satu, pos nya terletak di pagar depan sekolah. Jadi jangan heran jika pagar belakang menjadi tujuan utama para pembolos sekolah seperti kami.

Sampai di salah satu studio langganan kami ngejam, ternyata Bams dan Joe sudah terlebih dahulu tiba di sana. Mereka tidak memakai seragam sekolah putih abu-abu, melainkan kaos dengan lengan yang sengaja digunting sehingga terlihat bagian otot-otot lengan yang besar. “Baju yang aku minta tadi mana?” tanyaku pada Bams sambil mengulur tangan. Bams mengaduk isi tas ransel hitamnya, kemudian mengeluarkan kaos berwarna cokelat tua dengan ukuran yang begitu besar untuk tubuhku dan kaos garis-garis hitam untuk Fredi. Kami mulai mengambil posisi masing-masing. Aku mengambil sebuah gitar berwarna biru tua, sedangkan Joe mengambil microfone dan memasangnya pada stand, ia vokalis pada band ini. Bams dan Fredi mengambil posisi sebagai drummer dan bassis. Setelah cek sound beberapa saat, kami mulai bermain hingar binger dalam studio.

Pukul 4 sore, aku pulang ke rumah.
Tiba di rumah, ku lihat jendela tertutup rapat. Pintu rumah terkunci. Berulang kali ku ketuk dan meneriaki siapapun yang berada di dalam rumah namun hasilnya nihil. “Mungkin orang rumah sedang pergi semua. Atau,..” gumamku, perasaanku mulai tidak tenang. Aku mencari smartphone dalam tas, lalu menghidupkannya. Ya, aku memang mematikan smartphone saat ngejam tadi, itu peraturan kami selama bermain. Semenit kemudian 3 pesan masuk pada smartphone ku. Aku duduk pada salah satu kursi depan rumah dan membuka ketiga pesan dari Mina, kakak ku.
“Nisa, kamu di mana? Kenapa HPnya mati?” pesan pertama.
“Jika kau pulang nanti, kunci rumah ada di bawah salah satu pot bunga warna hijau dekat kursi. Kamu ganti pakaian dan segera datang ke Rumah Sakit Sejahtera dekat Simpang Stoneland.” Bunyi pesan kedua membuat perasaanku berubah tidak nyaman.
“Nisa, Ibu sakit. Kamu segera ke rumah sakit sekarang ya. Ibu, sedang koma . .” smartphone ku terlepas dari genggaman dan jatuh. Tanpa memikirkan hal lain, aku segera pergi ke rumah sakit.

Aku tidak pernah suka aroma rumah sakit dengan obat-obatan dan bahan kimia yang menusuk hidungku. Tetapi kali ini semua aroma itu tidak lagi penting. Sesampai di depan ruang IGD seperti yang kakak kabari saat ku telefon tadi, aku langsung masuk dan mencari sosok dengan wajah yang enggan ku tatap tadi pagi. Rasa kesalku pada ibu karena kemarin melarangku bermain band lagi sudah ku lupakan, meskipun aku merasa sangat marah padanya dan tidak mau membukakan pintu kamar ku, apalagi bangun untuk shalat subuh seperti tadi pagi. Tiba-tiba saja, amarahku semenjak kemarin tergantikan dengan emosi tangis yang pecah begitu saja dihadapan tubuh ibu yang pucat dan tak bergeming. Aku memeluk ibu dan menangis di atasnya.

Bapak duduk di salah satu kursi tempel seberang kasur, sedangkan kakak mengusap kepalaku perlahan sambil menenangkanku. Ia menceritakan kronologi kejadian yang menimpa ibu. Lantai licin kamar mandi membuat ibu terpeleset dan terjatuh. Kepalanya terbentur hebat dengan dinding bak mandi sehingga terbelah. Aku hanya bisa menangis dan memeluk ibu. “Maaf, Bu. Nisa minta maaf. Ibu, bangunlah, bu.” Tangisku tidak bisa berhenti. Begitu banyak penyesalan dalam diriku. Aku mengingat bagaimana tadi pagi begitu marahnya pada ibu tidak membukakan pintu, dan langsung berangkat sekolah tanpa pamit apalagi sarapan, padahal ibu sudah menyiapkan nasi goreng untukku. Tiba-tiba tangan ibu bergerak sadar dari koma,  matanya perlahan terbuka. Kakak memanggil dokter, sedangkan aku dan bapak memerhatikan ibu dan mencoba berbicara padanya. Ibu menatapku dan sedikit membuka mulut.

“Nisa, ka,,mu anak yang ba,,ik. Bertaubatlah sayaaang. Tinggal,,kan dunia band mu iii,,tu. Berjilbablah, nak. Ibu sayang kamu.” Ibu berusaha berbicara meskipun terbata-bata. Tangannya mencoba membuat sebuah pelukan. Tanpa menunggu terlalu lama aku segera memeluk Ibu sambil menangis. Ku tatap wajah ibu, “iya bu, Nisa akan tinggalkan itu semua, bu. Nisa janji.” Tangan lemas ibu menghapus air mata yang mengalir pada sudut hidungku. Pintu kamar terbuka, kakak dan dokter masuk untuk melihat ibu. Sesaat kemudian tangan lemas ibu jatuh perlahan tanpa bisa digerakkan lagi. Matanya tertutup sambil tersenyum. Nafas ibu sudah tiada. Aku menangis.

***
“Mahmudatunnisa. Nisa senang dengan nama pemberian Ibu. Memiliki arti yang bagus, perempuan yang terpuji. Maafin Nisa selama ini telah membuat ibu kecewa dan sedih dengan segala tingkah laku Nisa, bu. Sekarang, Nisa sudah berjilbab. Ibu mengajari Nisa, bagaimana menjadi seorang wanita terpuji seperti nama yang ibu berikan. Terimakasih, bu. Nisa sayang sama ibu. Nisa tau, ibu juga sangat sayang sama nisa. Ini jalan yang Tuhan tunjukkan untuk kita. Cara-Nya untuk membuka mata Nisa, meskipun dengan kepergian ibu. Walaupun begitu, ibu selalu hidup dalam diri Nisa, sampai kapanpun.” Air mataku menetes pada gundukan tanah bertaburkan bunga dengan batu nisan bertuliskan ‘Aisyah Bintin Ali Mahmud lahir 23 Feb 1975 wafat 16 April 2014’.
“Terima kasih, bu. Nisa, sayang ibu.”

No comments:

Post a Comment