“Ini
untuk Ibuku, juga untuk masa depanku.” Kataku dengan penuh kepastian. Daun-daun
tua yang gugur menjadi saksi bisu percakapanku dengan sang pencipta langit,
pemilik seluruh alam jagat raya ini. Ku sapu
pandangan di hadapanku, sebuah gundukan tanah berwarna cokelat kemerahan dengan
taburan bunga yang sudah layu, sedetik kemudian air mata membanjiri pipiku.
***
1
minggu lalu.
Aku
membanting pintu kamar dengan keras hingga menggetarkan rak kecil berisi
album-album metal di sudut kamar. Ku hempaskan tubuh pada kasur dengan seprai
bermotif wajah-wajah seram yang tak lain adalah sebuah band metal favorit ku,
Slipknot. Ku pejamkan mata sesaat mencoba menemukan sedikit udara segar pada
kamar berukuran sedang dengan dinding yang penuh oleh poster-poster band metal
terkenal. Semenit kemudian, butiran air mata jatuh membasahi pipiku. Ku usap pipi
yang basah dengan tangan kosong sambil membalikkan badan menatap keluar
jendela. Butiran-butiran air mata lainnya mulai menemani kesepianku hingga
tidur terlelap.
“Nisa.”
Panggil Ibu dari luar kamar sambil mengetuk pintu kamarku. “Bangun sayang. Sudah
subuh, shalat dulu, nak” sambungnya sambil terus mengetuk-ngetuk pintu kamarku
dan memutar handle pintu. Aku menguap dan kemudian membalikkan tubuh menutup
kepala serta telingaku dengan guling. Tak ku gubris ketukan ibu dari luar yang
mencoba membangunkanku. Kantuk masih begitu penting untuk ku dahului saat ini.
Dan akupun kembali tertidur.
“Kriiing..kriiing…”
jam beker yang terletak di atas meja dekat sudut kasur ku berbunyi tepat pukul
7 pagi. Mataku perlahan terbuka, mencoba meraih jam yang terus berdering sambil
mengumpulkan lebih banyak tenaga untuk bangkit. Alarm berhasil ku matikan
dengan menyentuh tombol berwarna merah pada jam tersebut. Mataku masih berat
dan enggan terbuka, apalagi untuk bangkit dari kasur yang begitu empuk. Tidak
sampai semenit dari gangguan alarm yang membuatku terjaga, kini ketukan pintu
seperti tadi subuh kembali bergeming di pintu kamarku. “Tuk..tuk..tuk” ibu
mengetuk pintu dan mendobrak sedikit handel pintunya. “Bangun, Nisa. Kamu harus
sekolah. Sudah jam 7, ayolah, nak.” Suara ibu yang sedikit keras membuat mataku
terbuka dan melototi pintu kamar. Kemudian aku hanya menjawab “ya”. Tidak ada
suara ketukan pintu lagi, ibu sudah bergerak meninggalkan kamarku.
Di
pagar sekolah.
Langkah
kakiku begitu berat untuk menapaki rumput-rumput hijau di sekolah ini. Rasanya
suasana yang ku butuhkan saat ini bukanlah duduk disalah satu kursi kelas dan
mendengarkan cerita-cerita serta angka yang tiada habisnya, meskipun itu kursi
yang terletak di sudut belakang sekalipun. Aku menyapu pandangan ke sekeliling
sekolah. “Mungkin kantin belakang sudah
dibuka, aku bisa bolos dan duduk di sana saja” ucapku dalam hati. Kemudian
dengan wajah penuh harapan untuk tidak masuk ke kelas dan bolos belajar, kakiku
pun bergerak menuju kantin belakang sekolah.
Sesampai
di sana aku langsung memesan minuman cappuccino dingin dan mengambil 2 gorengan
dalam nampan plastik berbentuk kotak. “Hai ica, bolos ya?” sapa Fredi yang
tiba-tiba muncul dari belakang membawa sepiring lontong. “Eh iya, malas
balajar. Kamu?” tanyaku kembali padanya sambil menggeser sedikit tempat duduk
berbagi dengannya. Ia tertawa sambil meninju kecil bahuku. “Aku bisa membaca
tingkahmu ketika mombolos”. Aku membalas tinju kecilnya dan melahap sepotong
lontong dalam piring di hadapannya.
Setelah
usai menghabiskan makanan dan minuman yang kami pesan, aku mengeluarkan smartphone dibalik saku kemeja seragamku
dan mengetik sebuah pesan dan menekan ‘send’.
“Kita ngejam yuk, bosan.” Ku tatap jam tangan berwarna abu-abu pemberian Ibu saat
usia ku genap 16 tahun. Fredi tertawa lebar dan segera bangkit dari kursinya.
“Yuk, tunggu apa lagi.” Aku pun ikut tertawa lebar. “Bams dan Joe udah aku sms
nih, suruh mereka segera ke studio untuk main.” Sambungku kemudian menuju ibu
kantin, membayar minuman dan kue yang
sudah mengganjal perut kosongku.
Ini
adalah kesekian kalinya tanpa terhitung aku membolos untuk ngejam bersama teman
se-band ku. Taktik yang biasa kami lakukan adalah lompat dari pagar belakang.
Pagarnya tidak cukup tinggi, jadi sedikit lebih mudah untuk ku panjati.
Berbekal kegiatan ekstrakulikuler yang dahulu aku tekuni di SMP, lompat jauh,
membuat tubuhku terbiasa melompati pagar-pagar ini demi membolos sekolah. Penjaga
sekolah hanya ada satu, pos nya terletak di pagar depan sekolah. Jadi jangan
heran jika pagar belakang menjadi tujuan utama para pembolos sekolah seperti
kami.
Sampai
di salah satu studio langganan kami ngejam, ternyata Bams dan Joe sudah
terlebih dahulu tiba di sana. Mereka tidak memakai seragam sekolah putih
abu-abu, melainkan kaos dengan lengan yang sengaja digunting sehingga terlihat
bagian otot-otot lengan yang besar. “Baju yang aku minta tadi mana?” tanyaku
pada Bams sambil mengulur tangan. Bams mengaduk isi tas ransel hitamnya,
kemudian mengeluarkan kaos berwarna cokelat tua dengan ukuran yang begitu besar
untuk tubuhku dan kaos garis-garis hitam untuk Fredi. Kami mulai mengambil
posisi masing-masing. Aku mengambil sebuah gitar berwarna biru tua, sedangkan Joe
mengambil microfone dan memasangnya
pada stand, ia vokalis pada band ini.
Bams dan Fredi mengambil posisi sebagai drummer dan bassis. Setelah cek sound beberapa saat, kami mulai
bermain hingar binger dalam studio.
Pukul
4 sore, aku pulang ke rumah.
Tiba
di rumah, ku lihat jendela tertutup rapat. Pintu rumah terkunci. Berulang kali
ku ketuk dan meneriaki siapapun yang berada di dalam rumah namun hasilnya
nihil. “Mungkin orang rumah sedang pergi
semua. Atau,..” gumamku, perasaanku mulai tidak tenang. Aku mencari smartphone dalam tas, lalu
menghidupkannya. Ya, aku memang mematikan smartphone
saat ngejam tadi, itu peraturan kami selama bermain. Semenit kemudian 3 pesan
masuk pada smartphone ku. Aku duduk
pada salah satu kursi depan rumah dan membuka ketiga pesan dari Mina, kakak ku.
“Nisa,
kamu di mana? Kenapa HPnya mati?” pesan pertama.
“Jika
kau pulang nanti, kunci rumah ada di bawah salah satu pot bunga warna hijau
dekat kursi. Kamu ganti pakaian dan segera datang ke Rumah Sakit Sejahtera
dekat Simpang Stoneland.” Bunyi pesan kedua membuat perasaanku berubah tidak
nyaman.
“Nisa,
Ibu sakit. Kamu segera ke rumah sakit sekarang ya. Ibu, sedang koma . .” smartphone ku terlepas dari genggaman
dan jatuh. Tanpa memikirkan hal lain, aku segera pergi ke rumah sakit.
Aku
tidak pernah suka aroma rumah sakit dengan obat-obatan dan bahan kimia yang
menusuk hidungku. Tetapi kali ini semua aroma itu tidak lagi penting. Sesampai
di depan ruang IGD seperti yang kakak kabari saat ku telefon tadi, aku langsung
masuk dan mencari sosok dengan wajah yang enggan ku tatap tadi pagi. Rasa
kesalku pada ibu karena kemarin melarangku bermain band lagi sudah ku lupakan,
meskipun aku merasa sangat marah padanya dan tidak mau membukakan pintu kamar ku,
apalagi bangun untuk shalat subuh seperti tadi pagi. Tiba-tiba saja, amarahku
semenjak kemarin tergantikan dengan emosi tangis yang pecah begitu saja
dihadapan tubuh ibu yang pucat dan tak bergeming. Aku memeluk ibu dan menangis
di atasnya.
Bapak
duduk di salah satu kursi tempel seberang kasur, sedangkan kakak mengusap
kepalaku perlahan sambil menenangkanku. Ia menceritakan kronologi kejadian yang
menimpa ibu. Lantai licin kamar mandi membuat ibu terpeleset dan terjatuh.
Kepalanya terbentur hebat dengan dinding bak mandi sehingga terbelah. Aku hanya
bisa menangis dan memeluk ibu. “Maaf, Bu. Nisa minta maaf. Ibu, bangunlah, bu.”
Tangisku tidak bisa berhenti. Begitu banyak penyesalan dalam diriku. Aku
mengingat bagaimana tadi pagi begitu marahnya pada ibu tidak membukakan pintu,
dan langsung berangkat sekolah tanpa pamit apalagi sarapan, padahal ibu sudah
menyiapkan nasi goreng untukku. Tiba-tiba tangan ibu bergerak sadar dari
koma, matanya perlahan terbuka. Kakak
memanggil dokter, sedangkan aku dan bapak memerhatikan ibu dan mencoba
berbicara padanya. Ibu menatapku dan sedikit membuka mulut.
“Nisa,
ka,,mu anak yang ba,,ik. Bertaubatlah sayaaang. Tinggal,,kan dunia band mu iii,,tu.
Berjilbablah, nak. Ibu sayang kamu.” Ibu berusaha berbicara meskipun
terbata-bata. Tangannya mencoba membuat sebuah pelukan. Tanpa menunggu terlalu
lama aku segera memeluk Ibu sambil menangis. Ku tatap wajah ibu, “iya bu, Nisa
akan tinggalkan itu semua, bu. Nisa janji.” Tangan lemas ibu menghapus air mata
yang mengalir pada sudut hidungku. Pintu kamar terbuka, kakak dan dokter masuk
untuk melihat ibu. Sesaat kemudian tangan lemas ibu jatuh perlahan tanpa bisa
digerakkan lagi. Matanya tertutup sambil tersenyum. Nafas ibu sudah tiada. Aku
menangis.
***
“Mahmudatunnisa.
Nisa senang dengan nama pemberian Ibu. Memiliki arti yang bagus, perempuan yang
terpuji. Maafin Nisa selama ini telah membuat ibu kecewa dan sedih dengan
segala tingkah laku Nisa, bu. Sekarang, Nisa sudah berjilbab. Ibu mengajari Nisa,
bagaimana menjadi seorang wanita terpuji seperti nama yang ibu berikan. Terimakasih,
bu. Nisa sayang sama ibu. Nisa tau, ibu juga sangat sayang sama nisa. Ini jalan
yang Tuhan tunjukkan untuk kita. Cara-Nya untuk membuka mata Nisa, meskipun
dengan kepergian ibu. Walaupun begitu, ibu selalu hidup dalam diri Nisa, sampai
kapanpun.” Air mataku menetes pada gundukan tanah bertaburkan bunga dengan batu
nisan bertuliskan ‘Aisyah Bintin Ali Mahmud lahir 23 Feb 1975 wafat 16 April
2014’.
“Terima
kasih, bu. Nisa, sayang ibu.”
No comments:
Post a Comment