Jangan pergi bila aku menyakitimu
Jangan pergi bila aku membuatmu terluka
Jangan pergi bila aku melupakanmu sejenak
Jangan pergi
Tetaplah bertahan disisiku
Seseorang
yang kerap pernah membuatmu menangis, mungkin diluar sana sedang menangisimu
–menangisi waktu yang berlalu tanpamu. Jadi kenapa masih letih mengharapkannya
kembali?
Kesalahan
dan penyesalan. Dilema besar yang tak sanggup saya pangku seorang diri, yang
tak mampu saya perjuangkan seorang diri. Sebuah kesalahan yang berujung
penyesalan karena telah menyia-nyiakan sebuah waktu, menyisakan sebuah kesalahan
yang membuat tangis harus menjadi sosok yang menyedihkan. Ini kesalahan, ini
juga penyesalan. Maafkan saya, teman.
Jika dahulu,
saya pernah berhenti memikirkanmu, itu sebuah kesalahan. Maka dari itu, mulai
sekarang saya bertekad untuk tidak pernah berhenti memikirkanmu, untuk memulai
semuanya dari awal jika kau mau. Memulai sebuah arti sahabat yang dahulu pernah
kita jalani, jika kau mau.
Ini
kesalahan saya, pernah membuatmu menunggu. Tetapi ini juga kesalahanmu–bila
saya boleh jujur–karena telah membuat saya menunggu terlalu lama. Kau tau
alasan saya harus berhenti memikirkanmu sejenak? Karena saya pikir sudah tidak
ada lagi ruang untuk saya yang bisa kamu rindukan ketika jarak ini terbentang
sejauh yang tidak bisa kita gapai. Sudah tidak ada lagi hal hal manis yang
pernah kita lalui seperti ‘kemarin’ ketika semuanya hanyalah memori dalam
lembaran-lembaran foto yang tersimpan disebuah kotak bernama “Best Friend Forever”.
Benarkah?
Sebelum
beberapa hari lalu selembar foto dalam sebuah akun sosmed (baca: social media)
mulai menggugah hati kecil saya. “Masa-masa bahagia yang dirindukan”, katamu.
Benarkah kamu merindukan saya? Benarkah setelah sejauh ini dan setelah
penantian ini kamu benar-benar merindukan saya? Kembalilah. Saya bahagia
membaca kalimat tersebut. Tetapi kenapa kebahagiaan ini hanya berlangsung
sesaat? Benarkah jarak dan penantian ini belum cukup membayar semua usaha kita
hingga harus merelakan sebuah kata ‘sejenak’?
Pernahkah
kamu menutup mata, kemudian menemukan bayangan-bayangan indah bersama orang kau
sayangi. Kau coba menggenggam tangannya, tetapi kemudian bayangan itu berubah
menjadi kabut yang perlahan menghilang. Matamu terbuka, setitik air mata jatuh
membasahi pipi yang sempat merona itu.
Ini sebuah
kesalahan yang saya sesali, pernah sejenak mencoba melupakan bayangan indah
bersama seorang sahabat yang dahulu adalah senja indah dibalik bola mata ini.
Senja yang begitu masih saya rindukan hingga saat ini. Sebuah kesalahan atas
keegoisan saya karena pernah begitu mengharapkanmu terus berada disisi saya,
seharusnya saya sadari itu tidaklah mungkin.
Sebuah buku
–Catatan Akhir Kuliah– yang ditulis oleh seorang mahasiswa bernama Sam,
panggilan akrabnya, menggunggah sebuah kalimat yang hampir mencerminkan semua
keadaan persahabatan di dunia ini.
“Setiap kita
punya teman yang mengaku sahabat, suatu ketika, mereka akan terlihat seperti
orang lain”.
Untuk sesaat
saya terdiam, bergumam dalam keheningan. Mencoba menganalisa setiap
kata-katanya. Jika saya boleh sedikit berhiperbolis, saat kalimat itu muncul
pada halaman 130 dari buku tersebut, saya merasakan angin muson seperti berhembus begitu kuat di depan
mata, sehingga membuat pelupuk mata saya tergenang air. Hasil analisa kalimat
tersebut berhenti dalam kepala saya, sebuah
persetujuan mengalir dari otak turun ke
hati kemudian melakukan penyesuaian dengannya. Hati saya pun ikut menyetujui
perkataan Sam tersebut. Hingga saya berkedip, setitik embun yang tidak saya
harapkan kehadirannya di tengah ruang dalam nuansa gaduh jatuh dari pelupuk
mata saya. Ketika menyadarinya saya langsung menghapus sisa embun tersebut,
kemudian mencoba tertawa dengan si pemilik kalimat itu. “Kau benar, Sam” hati
kecil saya kemudian bersuara.
Untuk
sahabat, yang terbentang jarak begitu jauh saat ini. Jika nanti kau pulang,
rangkulah tubuh ini yang sedang merindukanmu.
Untuk
sahabat, yang pernah menjadi senja indah. Jika nanti kau pulang, temanilah
sosok yang kesepian ini mencicipi berbagai macam rasa ice cream seperti dahulu.
Untuk
sahabat, yang tak ingin dilupakan. Jika nanti kau pulang, kita bisa memulainya
kembali seperti ‘kemarin’.
Seperti
kutipan dari Khalil Gibran:
Teman sejati,
Mengerti ketika kamu berkata ‘aku
lupa’
Menunggu selamanya ketika kamu berkata
‘tunggu sebentar’
Tetap tinggal ketika kamu berkata
‘tinggalkan aku sendiri’
Membuka pintu meski kamu belum
mengetuk dan berkata ‘bolehkah saya masuk?’
Saya sadar
teman sejati bukanlah seperti saya, yang tak mampu menunggu sosok senja kembali.
Yang mudah marah ketika kamu lupa pada janji kita, sekalipun saya pernah
sejenak mencoba meninggalkan bayanganmu. Yang bahkan tak pernah mengetuk pintu
kamarmu hanya untuk mencoba menghiburmu, yang saya lakukan justru
meninggalkanmu sendiri untuk memberi ruang.
Sejenak,
saya pernah melakukannya.
Untuk
sejenak, sampai saat ini saya menyesalinya.
Could you forgive me?
Jika kau
pulang nanti, ingatkan saya janji ini. Kita mulai semuanya kembali, seperti
kemarin, teman.
PS:
Untuk
seorang teman, senja, yang selalu menyisakan seberkas cahayanya untuk ku simpan.
Jika waktu
ini sudah begitu terlambat untuk ku sadari, kau boleh marah. Tetapi jika tidak,
maka kembalilah.
No comments:
Post a Comment