Sunday, February 8, 2015

Sejenak



Jangan pergi bila aku menyakitimu
Jangan pergi bila aku membuatmu terluka
Jangan pergi bila aku melupakanmu sejenak
Jangan pergi
Tetaplah bertahan disisiku

Seseorang yang kerap pernah membuatmu menangis, mungkin diluar sana sedang menangisimu –menangisi waktu yang berlalu tanpamu. Jadi kenapa masih letih mengharapkannya kembali?

Kesalahan dan penyesalan. Dilema besar yang tak sanggup saya pangku seorang diri, yang tak mampu saya perjuangkan seorang diri. Sebuah kesalahan yang berujung penyesalan karena telah menyia-nyiakan sebuah waktu, menyisakan sebuah kesalahan yang membuat tangis harus menjadi sosok yang menyedihkan. Ini kesalahan, ini juga penyesalan. Maafkan saya, teman.

Jika dahulu, saya pernah berhenti memikirkanmu, itu sebuah kesalahan. Maka dari itu, mulai sekarang saya bertekad untuk tidak pernah berhenti memikirkanmu, untuk memulai semuanya dari awal jika kau mau. Memulai sebuah arti sahabat yang dahulu pernah kita jalani, jika kau mau.

Ini kesalahan saya, pernah membuatmu menunggu. Tetapi ini juga kesalahanmu–bila saya boleh jujur–karena telah membuat saya menunggu terlalu lama. Kau tau alasan saya harus berhenti memikirkanmu sejenak? Karena saya pikir sudah tidak ada lagi ruang untuk saya yang bisa kamu rindukan ketika jarak ini terbentang sejauh yang tidak bisa kita gapai. Sudah tidak ada lagi hal hal manis yang pernah kita lalui seperti ‘kemarin’ ketika semuanya hanyalah memori dalam lembaran-lembaran foto yang tersimpan disebuah kotak bernama “Best Friend Forever”.

Benarkah?

Sebelum beberapa hari lalu selembar foto dalam sebuah akun sosmed (baca: social media) mulai menggugah hati kecil saya. “Masa-masa bahagia yang dirindukan”, katamu. Benarkah kamu merindukan saya? Benarkah setelah sejauh ini dan setelah penantian ini kamu benar-benar merindukan saya? Kembalilah. Saya bahagia membaca kalimat tersebut. Tetapi kenapa kebahagiaan ini hanya berlangsung sesaat? Benarkah jarak dan penantian ini belum cukup membayar semua usaha kita hingga harus merelakan sebuah kata ‘sejenak’?

Pernahkah kamu menutup mata, kemudian menemukan bayangan-bayangan indah bersama orang kau sayangi. Kau coba menggenggam tangannya, tetapi kemudian bayangan itu berubah menjadi kabut yang perlahan menghilang. Matamu terbuka, setitik air mata jatuh membasahi pipi yang sempat merona itu.

Ini sebuah kesalahan yang saya sesali, pernah sejenak mencoba melupakan bayangan indah bersama seorang sahabat yang dahulu adalah senja indah dibalik bola mata ini. Senja yang begitu masih saya rindukan hingga saat ini. Sebuah kesalahan atas keegoisan saya karena pernah begitu mengharapkanmu terus berada disisi saya, seharusnya saya sadari itu tidaklah mungkin.

Sebuah buku –Catatan Akhir Kuliah– yang ditulis oleh seorang mahasiswa bernama Sam, panggilan akrabnya, menggunggah sebuah kalimat yang hampir mencerminkan semua keadaan persahabatan di dunia ini.
“Setiap kita punya teman yang mengaku sahabat, suatu ketika, mereka akan terlihat seperti orang lain”.

Untuk sesaat saya terdiam, bergumam dalam keheningan. Mencoba menganalisa setiap kata-katanya. Jika saya boleh sedikit berhiperbolis, saat kalimat itu muncul pada halaman 130 dari buku tersebut, saya merasakan angin  muson seperti berhembus begitu kuat di depan mata, sehingga membuat pelupuk mata saya tergenang air. Hasil analisa kalimat tersebut berhenti dalam kepala saya,  sebuah persetujuan  mengalir dari otak turun ke hati kemudian melakukan penyesuaian dengannya. Hati saya pun ikut menyetujui perkataan Sam tersebut. Hingga saya berkedip, setitik embun yang tidak saya harapkan kehadirannya di tengah ruang dalam nuansa gaduh jatuh dari pelupuk mata saya. Ketika menyadarinya saya langsung menghapus sisa embun tersebut, kemudian mencoba tertawa dengan si pemilik kalimat itu. “Kau benar, Sam” hati kecil saya kemudian bersuara.

Untuk sahabat, yang terbentang jarak begitu jauh saat ini. Jika nanti kau pulang, rangkulah tubuh ini yang sedang merindukanmu.
Untuk sahabat, yang pernah menjadi senja indah. Jika nanti kau pulang, temanilah sosok yang kesepian ini mencicipi berbagai macam rasa ice cream seperti dahulu.
Untuk sahabat, yang tak ingin dilupakan. Jika nanti kau pulang, kita bisa memulainya kembali seperti ‘kemarin’.

Seperti kutipan dari Khalil Gibran:
Teman sejati,
Mengerti ketika kamu berkata ‘aku lupa’
Menunggu selamanya ketika kamu berkata ‘tunggu sebentar’
Tetap tinggal ketika kamu berkata ‘tinggalkan aku sendiri’
Membuka pintu meski kamu belum mengetuk dan berkata ‘bolehkah saya masuk?’

Saya sadar teman sejati bukanlah seperti saya, yang tak mampu menunggu sosok senja kembali. Yang mudah marah ketika kamu lupa pada janji kita, sekalipun saya pernah sejenak mencoba meninggalkan bayanganmu. Yang bahkan tak pernah mengetuk pintu kamarmu hanya untuk mencoba menghiburmu, yang saya lakukan justru meninggalkanmu sendiri untuk memberi ruang.

Sejenak, saya pernah melakukannya.
Untuk sejenak, sampai saat ini saya menyesalinya.
Could you forgive me?
Jika kau pulang nanti, ingatkan saya janji ini. Kita mulai semuanya kembali, seperti kemarin, teman.

PS:
Untuk seorang teman, senja, yang selalu menyisakan seberkas cahayanya untuk ku simpan.
Jika waktu ini sudah begitu terlambat untuk ku sadari, kau boleh marah. Tetapi jika tidak, maka kembalilah.

Andai saya bisa mencairkan sedikit keegoan ini, andai saya bisa sedikit memberi ruang untuk mu, andai saja saya punya waktu untuk sesaat saja menikmati liburan ini bersamamu –sebelum kau kembali, teman.

No comments:

Post a Comment