“Rasa rindu bisa bergulir dalam keadaan terjepit,
sekalipun kau kembali menangis semuanya telah berlalu.”
Mengingat kondisi 'kekecewaan'
beberapa waktu lalu (tetapi saya rasa bukan hanya sekedar beberapa waktu lalu,
rasa itu telah lama hadir), saya jadi berpikir: “betapa bodohnya saya.”
Benarkah kalimat itu amukan dari rasa kekecewaan saya? Atau justru tumbuh dari
rasa lain –rasa yang entah kapan akan saya sadari.
Saya benci jika harus mengecewakan
sesuatu. Kenapa? Pikirkan saja baik-baik. Apa untungnya membesar-besarkan
sebuah rasa kekecewaan? Mengulang masa lalu yang membuat posisi bersalah
semakin bersalah? Atau membuat posisi yang tidak bahagia semakin terlihat
menyedihkan?
Tetapi, bukankah justru posisi kecewa pada hal tertentu bisa mengubah pandangan arti bahagia
dalam dimensi hidup yang lain?
Sama saja. Saya sedikit menyesali
rasa kecewa yang tersirat saat ini. Banyak kalimat-kalimat pengandaian yang
hadir dalam selang waktu beberapa detik –yang tentu saja mustahil untuk bisa
dilakukan– faktanya waktu telah berlalu, teman.
Jadi harus saya bawa kemana suasana
hati yang 'kecewa' ini?
Haruskah saya menitipkannya pada
angin? Agar dibawa pergi olehnya rasa itu sehingga saya tidak harus membenci?!
No comments:
Post a Comment