Sunday, January 19, 2014

Still (Part 4)

Aku benar benar shock mendengarnya. ‘bagaimana ia bisa tahu? Bagaimana? Atau ia hanya menduga-duga saja?’

“Kamu bicara apa? Bukankah kamu pernah bilang, aku orang yang sulit jatuh cinta.”

“Sekali jatuh cinta, kamu akan cinta mati.”

“Seperti kamu, cinta mati.”

Kemudian kami diam, tidak ada percakapan lagi. Dia kembali menunduk, menatap rumput rumput di bawah kakinya. Aku mengedarkan  pandanganku, melihat pancuran air dikolam, menatap langit yang semakin bertambah mendung, mungkin sesaat lagi akan turun hujan.

“Aku sudah bercerita banyak padamu, apakah tidak ada hal yang ingin kamu ceritakan padaku?” tiba tiba suaranya terdengar begitu saja mengalir dari ujung daun telingaku masuk ke gendang telinga, melewati rumah siput dan seterusnya. Aku melihatnya, ia sedang menatapku, mencoba mencari sesuatu dari sorot mataku, mencoba menemukan cerita ceritaku.

“Hmm . .” aku bergumam. ‘Aku tidak mungkin menceritakannya padamu’

“Hmm yaa, apa?”

“Apa ya? Hehe” aku tertawa kecil. “Tidak ada kok. Aku baik baik saja, tadi itu hanya bercanda.”

“Kita sudah lama bersahabat, kamu bisa membaca duka hanya dengan melihat mataku kan. Aku pun begitu.”

“Terus?”

“Tidak ada alasan untuk kamu berbohong. Aku tau.”

Aku diam sesaat. “Kamu benar.” Aku menghela nafas sedikit berat. “Kita sudah terlalu dekat, hingga tau hanya dengan membaca dari mata ya.” Aku tersenyum padanya. ‘Tapi sayang, kamu masih tidak bisa membaca perasaanku selama ini padamu’.

“Oke, sekarang katakan. Aku akan mendengarkannya.” Ia mengamati pemandangan sekeliling, kemudian pandangannya jatuh di hadapanku. Ada tatapan teduh dari sorot matanya. Aku terpana.

Butuh waktu lama hingga akhirnya aku membuka mulut. Pikiranku sedang melayang layang, bermain dalam petak umpet dunianya sendiri, antara ditemukan kemudian menyerah, atau tetap bersembunyi bersama perasaan yang telah sekian lama tersimpan.  Dan akhirnya, aku pun memutuskan. . .

“Kamu benar, aku jatuh cinta.” Inilah hasil keputusan permainan petak umpet yang telah lama aku mainkan, dimana aku adalah seorang tersangka yang mau tidak mau pada akhirnya, mungkin harus menyerahkan diri. Aku berpikir, bahwa aku lelah. Lelah bermain seperti seorang diri, menunggu penjaga yang akan menemukanku, menemukan keberadaan perasaanku, namun tak pernah datang.

“Selamat ya, akhirnya kamu bisa jatuh cinta juga,” ia tersenyum sambil menjabat tanganku. ‘hah, apa? Oh’. “Aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi berarti. Kamu normal. Haha” ia tertawa begitu geli setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Aku memukul mukul kecil pundaknya. Kami kembali tertawa.

“Terima kasih telah mengkhawatirkan ke-normalan ku, dan menertawakanku. Aku normal asal kamu tahu saja. Jatuh cinta itu hanya butuh waktu, tidak perlu terburu buru, seperti kamu.” Aku memeletkan lidah padanya. Ia menggerutu kesal.

“Kamu kan juga menertawakan dirimu sendiri. Dan asal kamu tahu saja, aku tidak terburu buru jatuh cinta, hanya saja cinta yang terburu buru menemukanku, jadi ya aku lebih dahulu mengenal cinta dari pada kamu.” Ia balas memeletkan lidahnya padaku dan melototkan mata besarnya, mengejek ku sepuasnya. Kami kembali tertawa bersama. Langit masih terus  meningkatan kelevelan mendungnya. Namun, hujan belum juga turun sampai saat ini.

“Ya terserah kamu deh.” Aku menyerah, karena pada akhirnya dia juga akan tetap memenangkan pembicaraan ini.

“Oke, jadi bagaimana sosok lawan jenis yang berhasil membuat mu jatuh cinta itu? Katakan padaku.” Ia melihatku, begitu bersemangat berharap aku menceritakannya. ‘Tukan, lagi lagi ia begitu mudah mengubah ekspresi wajahnya. Ia pandai bersandiwara, seperti saat ini. Ingin menutupi luka, berusaha terlihat baik baik saja’ batin ku mengomentari sosok bertubuh tegak yang duduk disampingku.

“Hmm dia orangnya baik, bahkan terlalu baik. Cukup perhatian, dan mudah tersenyum.”. kata ku mendeskripsikan sosok lelaki yang ku sayangi-lelaki yang tengah duduk disampingku. ‘dan juga mudah menutupi lukanya terkadang, seperti saat ini’.

“Dia tampan?” ia pun sedikit tertawa setelah bertanya demikian.

“Tampan. . Aku suka wajahnya terlihat teduh. Ia seperti langit yang meneduhkan bumi.” Aku memandangnya, mengagumi salah satu ciptaan Tuhan yang cukup sempurna. Aku memandang kedua matanya yang indah, garis garis wajahnya yang terbentuk sedemikian rupa, bahkan ketika ia tersenyum terbentuk sebuah selung pipi yang menghiasi bagian bawah pipinya. Hidungnya mancung seperti mancungnya orang asia, setidaknya tidak terlihat pesek. Apalagi jika ia menggunakan sweater biru muda yang dipadu dengan abu abu gelap seperi sekarang, terlihat semakin tampan.

“Aku berani bertaruh, kamu jatuh cinta padanya pasti karena senyumannya.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Hei, sudah ku katakan. Aku sudah sangat mengenalmu dengan baik.”

“Hmm baiklah, cukup masuk akal alasanmu.” Aku tersenyum. Dia pun membalasnya.

“Lalu, bagaimana?”

“Apanya?”

“Hubungan kalian.”

Aku berpikir sejenak. “Hanya sebatas teman.” Akhirnya kata kata itupun keluar dari mulutku, aku tidak perlu keliru lagi, aku berhasil mengucapkannya. ‘semoga ini tidak akan sakit’ gumamku sedikit perih.

“Teman?” Ia terkejut. “Tapi kenapa? Ia tidak menyukaimu?” Ia bertanya lagi.

“Hmm, sudahlah, tidak perlu di bahas lagi.” Aku ingin mengakhirinya. Aku ingin kembali bersembunyi dalam kedamaian petak umpet ku selama ini. ‘aku tidak boleh mengatakannya. Tidak boleh!’

“Kamu . . .” ia berhenti. Nafasku tercekat, badanku lemas, tiba tiba aku ingin berlari dari situ. ‘Jangan. Jangan. Kamu tidak boleh membaca isi hatiku’ batinku menjerit sebisanya.

“Terluka ya. . .” wajahnya menyiratkan duka kembali, melihat ku kasihan. ‘oke, kita mainkan petak umpet ini sedikit, tetapi hanya sedikit. Promise

“Oke, setelah ini jangan pernah membahasnya lagi ya. Aku tidak ingin terluka.” Ucapku sambil menatapnya. ‘aku takut semakin terluka’. “Dia, sosok lelaki itu sudah mencintai wanita lain, yang lebih baik dariku. Ia terlalu mencintainya. Hubungan pertemanan kami sangat baik, aku hanya tidak ingin melukai pertemanan ini. Jadi, aku pikir lebih baik menyimpannya saja.” Aku berhasil mengucapkannya, meskipun sedikit gugup. Sorot mataku berusaha meyakinkan suatu ketegaran, aku harus baik baik saja.

“Aku turut prihatin sama kamu.” komentarnya dengan wajah sedih.

“Sudah, tidak apa apa. Aku baik baik saja, kamu tidak perlu bersedih.” Aku berusaha terlihat baik baik saja, meskipun sama sekali tidak begitu.

“Mungkin, jika kamu mengatakannya. . . ya setidaknya aku pikir, perasaanmu bisa lepas setelah mengatakan itu padanya.” Ia kembali membuka mulut. Aku jadi memikirkan perkataanya. ‘perasaanku bisa lepas? Apa benar? Apa aku yakin, setelah aku mengungkapkan perasaan aku padanya, hubungan kami akan tetap baik baik saja?’ aku mulai bertanya tanya pada diriku sendiri.

“Tidak, aku rasa pertemanan kami adalah nomor satu. Aku tidak ingin mengorbannya hanya karena perasaanku itu.” aku begitu yakin mengeluarkan kata kata itu dari mulutku. ‘ya, persahabatan ini lebih penting. Aku takut kamu akan menjauh dari ku jika tahu aku menyayangimu lebih dari seorang sahabat.’

“Ya, kamu benar.” Ucapnya kembali. ‘kamu pun menyutujuinya, aku sedikit tenang.’ “Meski harus mengorbankan perasaanmu sendiri.” ia tersenyum menyemangatiku. Aku membalas senyumnya, lebih baik, aku merasa lebih lega saat ini. “Terkadang, seperti inilah pilihan hidup. Memilih antara pengorbanan atau mengorbankan. Seperti kamu.” Ia berhenti sejenak. “Eh, barusan aku mengatakan apa? Pengorbanan dan mengorbankan. Betul?”

“Iya, kenapa?”

Ia tertawa sejenak. “Sepertinya kasus kamu tidak ada beda keduanya. Kamu melakukan pengorbanan perasaan mu, juga mengorbankan perasaan mu demi sebuah pertemanan. Terus?” ia mengerutkan dahinya, berpikir. Aku tertawa melihat tingkahnya.

“Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Aku akan tetap baik baik saja kok. Lagi pula, suatu saat nanti mungkin aku akan sadar, bahwa perasaan itu mungkin hanya sebatas perasaan lebih kepada seorang teman, yang suatu saat nanti akan pudar. Ia terlalu baik, jadi aku sedikit salah mengartikannya mungkin. Yasudah.” Aku menegarkan diri, benar benar tegar.

“Ya, aku sependapat denganmu. Mungkin, kalau aku jadi sepertimu, misalnya aku menyukai sahabat ku sendiri, kamu. Hehe” ia tertawa, tetapi aku terkejut dan menahan napas. “Aku juga akan mengorbankan perasaanku pasti, dari pada merusak hubungan persahabatan, yakan.” Ia tersenyum sambil menepuk pundakku. Aku kembali bernafas lega. Ternyata ia hanya memberi contoh, aku sudah gugup setengah mati menahan napasku.

“Ya begitulah.” Hanya itu yang bisa keluar dair mulutku. ‘kamu benar benar menyutujuinya. Aku bahagia dengan keputusan ini’

“Dan, jika kamu mengorbankan perasaanmu, aku pun begitu. Sepertinya aku harus mengorbankan kepergiannya. Dengan begitu aku akan sedikit lebih lega melepasnya pergi. Tetapi, aku berjanji. Meskipun aku berhasil melepasnya pergi, aku tidak ingin melepaskan perasaanku juga. Aku akan menunggunya. I’m promise.” Ucapnya begitu yakin.

“Ya, aku setuju.” Aku tersenyum. ‘Dan karena itu juga, aku harus mengorbankan perasaanku. Aku harus melepasmu. Karena aku tahu, kamu MASIH menyayanginya, seharusnya sejak lama aku sudah tahu itu. Jadi aku tidak perlu merasakan sakit ini. Hmm sebenarnya tidak juga, sakit inilah yang akhirnya menyadarkanku, membuka lebar lebar mataku. Bahwa persahabatan lebih penting dari perasaan yang lebih dari persahabatan itu sendiri, pengorbanan perasaan adalah pilihan terbaik demi sebuah persahabatan’ aku bisa tersenyum puas sekarang.

“Pulang yuk. Sudah mulai gerimis ni.” ajaknya membuyarkan lamunanku. Aku melihat rintik rintik hujan kecil membasahi baju ku.

“Eh iya, yuk.” Kami pun segera bangkit dari tempat duduk dan menggerakkan kaki untuk pulang. Kami sudah memilih jalan yang terbaik untuk melangkah, kemana seharusnya kami menapaki kaki ini. Kami berdua tersenyum bahagia saat itu. Perasaan sakit terpendam itu benar benar telah lepas sekarang.

Aku telah memilih pilihan yang terbaik, begitupun dengannya. Tidak ada persahabatan yang begitu berarti jika tetap mempertahankan ego yang kita miliki. Aku telah belajar dari ini semua. Terima kasih, aku benar benar akan melepasmu sekarang. Kamu akan tetap jadi sahabatku, sejak dulu, sekarang dan selamanya.

Finish

No comments:

Post a Comment