Aku
benar benar shock mendengarnya.
‘bagaimana ia bisa tahu? Bagaimana? Atau ia hanya menduga-duga saja?’
“Kamu
bicara apa? Bukankah kamu pernah bilang, aku orang yang sulit jatuh cinta.”
“Sekali
jatuh cinta, kamu akan cinta mati.”
“Seperti
kamu, cinta mati.”
Kemudian
kami diam, tidak ada percakapan lagi. Dia kembali menunduk, menatap rumput
rumput di bawah kakinya. Aku mengedarkan pandanganku, melihat pancuran air dikolam,
menatap langit yang semakin bertambah mendung, mungkin sesaat lagi akan turun
hujan.
“Aku
sudah bercerita banyak padamu, apakah tidak ada hal yang ingin kamu ceritakan
padaku?” tiba tiba suaranya terdengar begitu saja mengalir dari ujung daun
telingaku masuk ke gendang telinga, melewati rumah siput dan seterusnya. Aku
melihatnya, ia sedang menatapku, mencoba mencari sesuatu dari sorot mataku,
mencoba menemukan cerita ceritaku.
“Hmm .
.” aku bergumam. ‘Aku tidak mungkin menceritakannya padamu’
“Hmm
yaa, apa?”
“Apa
ya? Hehe” aku tertawa kecil. “Tidak ada kok. Aku baik baik saja, tadi itu hanya
bercanda.”
“Kita
sudah lama bersahabat, kamu bisa membaca duka hanya dengan melihat mataku kan.
Aku pun begitu.”
“Terus?”
“Tidak
ada alasan untuk kamu berbohong. Aku tau.”
Aku
diam sesaat. “Kamu benar.” Aku menghela nafas sedikit berat. “Kita sudah
terlalu dekat, hingga tau hanya dengan membaca dari mata ya.” Aku tersenyum
padanya. ‘Tapi sayang, kamu masih tidak bisa membaca perasaanku selama ini
padamu’.
“Oke,
sekarang katakan. Aku akan mendengarkannya.” Ia mengamati pemandangan
sekeliling, kemudian pandangannya jatuh di hadapanku. Ada tatapan teduh dari
sorot matanya. Aku terpana.
Butuh
waktu lama hingga akhirnya aku membuka mulut. Pikiranku sedang melayang layang,
bermain dalam petak umpet dunianya sendiri, antara ditemukan kemudian menyerah,
atau tetap bersembunyi bersama perasaan yang telah sekian lama tersimpan. Dan akhirnya, aku pun memutuskan. . .
“Kamu
benar, aku jatuh cinta.” Inilah hasil keputusan permainan petak umpet yang
telah lama aku mainkan, dimana aku adalah seorang tersangka yang mau tidak mau
pada akhirnya, mungkin harus menyerahkan diri. Aku berpikir, bahwa aku lelah.
Lelah bermain seperti seorang diri, menunggu penjaga yang akan menemukanku,
menemukan keberadaan perasaanku, namun tak pernah datang.
“Selamat
ya, akhirnya kamu bisa jatuh cinta juga,” ia tersenyum sambil menjabat
tanganku. ‘hah, apa? Oh’. “Aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi berarti. Kamu
normal. Haha” ia tertawa begitu geli setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
Aku memukul mukul kecil pundaknya. Kami kembali tertawa.
“Terima
kasih telah mengkhawatirkan ke-normalan ku, dan menertawakanku. Aku normal asal
kamu tahu saja. Jatuh cinta itu hanya butuh waktu, tidak perlu terburu buru,
seperti kamu.” Aku memeletkan lidah padanya. Ia menggerutu kesal.
“Kamu kan
juga menertawakan dirimu sendiri. Dan asal kamu tahu saja, aku tidak terburu
buru jatuh cinta, hanya saja cinta yang terburu buru menemukanku, jadi ya aku
lebih dahulu mengenal cinta dari pada kamu.” Ia balas memeletkan lidahnya
padaku dan melototkan mata besarnya, mengejek ku sepuasnya. Kami kembali
tertawa bersama. Langit masih terus
meningkatan kelevelan mendungnya. Namun, hujan belum juga turun sampai
saat ini.
“Ya
terserah kamu deh.” Aku menyerah, karena pada akhirnya dia juga akan tetap memenangkan
pembicaraan ini.
“Oke,
jadi bagaimana sosok lawan jenis yang berhasil membuat mu jatuh cinta itu?
Katakan padaku.” Ia melihatku, begitu bersemangat berharap aku menceritakannya.
‘Tukan, lagi lagi ia begitu mudah mengubah ekspresi wajahnya. Ia pandai bersandiwara,
seperti saat ini. Ingin menutupi luka, berusaha terlihat baik baik saja’ batin
ku mengomentari sosok bertubuh tegak yang duduk disampingku.
“Hmm
dia orangnya baik, bahkan terlalu baik. Cukup perhatian, dan mudah tersenyum.”.
kata ku mendeskripsikan sosok lelaki yang ku sayangi-lelaki yang tengah duduk
disampingku. ‘dan juga mudah menutupi lukanya terkadang, seperti saat ini’.
“Dia
tampan?” ia pun sedikit tertawa setelah bertanya demikian.
“Tampan.
. Aku suka wajahnya terlihat teduh. Ia seperti langit yang meneduhkan bumi.”
Aku memandangnya, mengagumi salah satu ciptaan Tuhan yang cukup sempurna. Aku memandang
kedua matanya yang indah, garis garis wajahnya yang terbentuk sedemikian rupa,
bahkan ketika ia tersenyum terbentuk sebuah selung pipi yang menghiasi bagian
bawah pipinya. Hidungnya mancung seperti mancungnya orang asia, setidaknya
tidak terlihat pesek. Apalagi jika ia menggunakan sweater biru muda yang dipadu
dengan abu abu gelap seperi sekarang, terlihat semakin tampan.
“Aku
berani bertaruh, kamu jatuh cinta padanya pasti karena senyumannya.”
“Dari
mana kamu tahu?”
“Hei,
sudah ku katakan. Aku sudah sangat mengenalmu dengan baik.”
“Hmm
baiklah, cukup masuk akal alasanmu.” Aku tersenyum. Dia pun membalasnya.
“Lalu,
bagaimana?”
“Apanya?”
“Hubungan
kalian.”
Aku
berpikir sejenak. “Hanya sebatas teman.” Akhirnya kata kata itupun keluar dari
mulutku, aku tidak perlu keliru lagi, aku berhasil mengucapkannya. ‘semoga ini
tidak akan sakit’ gumamku sedikit perih.
“Teman?”
Ia terkejut. “Tapi kenapa? Ia tidak menyukaimu?” Ia bertanya lagi.
“Hmm,
sudahlah, tidak perlu di bahas lagi.” Aku ingin mengakhirinya. Aku ingin
kembali bersembunyi dalam kedamaian petak umpet ku selama ini. ‘aku tidak boleh
mengatakannya. Tidak boleh!’
“Kamu .
. .” ia berhenti. Nafasku tercekat, badanku lemas, tiba tiba aku ingin berlari
dari situ. ‘Jangan. Jangan. Kamu tidak boleh membaca isi hatiku’ batinku
menjerit sebisanya.
“Terluka
ya. . .” wajahnya menyiratkan duka kembali, melihat ku kasihan. ‘oke, kita mainkan
petak umpet ini sedikit, tetapi hanya sedikit. Promise’
“Oke,
setelah ini jangan pernah membahasnya lagi ya. Aku tidak ingin terluka.” Ucapku
sambil menatapnya. ‘aku takut semakin terluka’. “Dia, sosok lelaki itu sudah
mencintai wanita lain, yang lebih baik dariku. Ia terlalu mencintainya.
Hubungan pertemanan kami sangat baik, aku hanya tidak ingin melukai pertemanan
ini. Jadi, aku pikir lebih baik menyimpannya saja.” Aku berhasil
mengucapkannya, meskipun sedikit gugup. Sorot mataku berusaha meyakinkan suatu
ketegaran, aku harus baik baik saja.
“Aku
turut prihatin sama kamu.” komentarnya dengan wajah sedih.
“Sudah,
tidak apa apa. Aku baik baik saja, kamu tidak perlu bersedih.” Aku berusaha
terlihat baik baik saja, meskipun sama sekali tidak begitu.
“Mungkin,
jika kamu mengatakannya. . . ya setidaknya aku pikir, perasaanmu bisa lepas
setelah mengatakan itu padanya.” Ia kembali membuka mulut. Aku jadi memikirkan
perkataanya. ‘perasaanku bisa lepas? Apa benar? Apa aku yakin, setelah aku mengungkapkan
perasaan aku padanya, hubungan kami akan tetap baik baik saja?’ aku mulai bertanya
tanya pada diriku sendiri.
“Tidak,
aku rasa pertemanan kami adalah nomor satu. Aku tidak ingin mengorbannya hanya
karena perasaanku itu.” aku begitu yakin mengeluarkan kata kata itu dari
mulutku. ‘ya, persahabatan ini lebih penting. Aku takut kamu akan menjauh dari
ku jika tahu aku menyayangimu lebih dari seorang sahabat.’
“Ya,
kamu benar.” Ucapnya kembali. ‘kamu pun menyutujuinya, aku sedikit tenang.’
“Meski harus mengorbankan perasaanmu sendiri.” ia tersenyum menyemangatiku. Aku
membalas senyumnya, lebih baik, aku merasa lebih lega saat ini. “Terkadang,
seperti inilah pilihan hidup. Memilih antara pengorbanan atau mengorbankan.
Seperti kamu.” Ia berhenti sejenak. “Eh, barusan aku mengatakan apa?
Pengorbanan dan mengorbankan. Betul?”
“Iya,
kenapa?”
Ia
tertawa sejenak. “Sepertinya kasus kamu tidak ada beda keduanya. Kamu melakukan
pengorbanan perasaan mu, juga mengorbankan perasaan mu demi sebuah pertemanan.
Terus?” ia mengerutkan dahinya, berpikir. Aku tertawa melihat tingkahnya.
“Sudahlah,
tidak usah dibahas lagi. Aku akan tetap baik baik saja kok. Lagi pula, suatu
saat nanti mungkin aku akan sadar, bahwa perasaan itu mungkin hanya sebatas
perasaan lebih kepada seorang teman, yang suatu saat nanti akan pudar. Ia
terlalu baik, jadi aku sedikit salah mengartikannya mungkin. Yasudah.” Aku
menegarkan diri, benar benar tegar.
“Ya,
aku sependapat denganmu. Mungkin, kalau aku jadi sepertimu, misalnya aku
menyukai sahabat ku sendiri, kamu. Hehe” ia tertawa, tetapi aku terkejut dan
menahan napas. “Aku juga akan mengorbankan perasaanku pasti, dari pada merusak
hubungan persahabatan, yakan.” Ia tersenyum sambil menepuk pundakku. Aku
kembali bernafas lega. Ternyata ia hanya memberi contoh, aku sudah gugup
setengah mati menahan napasku.
“Ya
begitulah.” Hanya itu yang bisa keluar dair mulutku. ‘kamu benar benar
menyutujuinya. Aku bahagia dengan keputusan ini’
“Dan,
jika kamu mengorbankan perasaanmu, aku pun begitu. Sepertinya aku harus
mengorbankan kepergiannya. Dengan begitu aku akan sedikit lebih lega melepasnya
pergi. Tetapi, aku berjanji. Meskipun aku berhasil melepasnya pergi, aku tidak
ingin melepaskan perasaanku juga. Aku akan menunggunya. I’m promise.” Ucapnya begitu yakin.
“Ya,
aku setuju.” Aku tersenyum. ‘Dan karena itu juga, aku harus mengorbankan
perasaanku. Aku harus melepasmu. Karena aku tahu, kamu MASIH menyayanginya,
seharusnya sejak lama aku sudah tahu itu. Jadi aku tidak perlu merasakan sakit
ini. Hmm sebenarnya tidak juga, sakit inilah yang akhirnya menyadarkanku, membuka
lebar lebar mataku. Bahwa persahabatan lebih penting dari perasaan yang lebih
dari persahabatan itu sendiri, pengorbanan perasaan adalah pilihan terbaik demi
sebuah persahabatan’ aku bisa tersenyum puas sekarang.
“Pulang
yuk. Sudah mulai gerimis ni.” ajaknya membuyarkan lamunanku. Aku melihat rintik
rintik hujan kecil membasahi baju ku.
“Eh
iya, yuk.” Kami pun segera bangkit dari tempat duduk dan menggerakkan kaki untuk
pulang. Kami sudah memilih jalan yang terbaik untuk melangkah, kemana seharusnya
kami menapaki kaki ini. Kami berdua tersenyum bahagia saat itu. Perasaan sakit
terpendam itu benar benar telah lepas sekarang.
Aku
telah memilih pilihan yang terbaik, begitupun dengannya. Tidak ada persahabatan
yang begitu berarti jika tetap mempertahankan ego yang kita miliki. Aku telah belajar
dari ini semua. Terima kasih, aku benar benar akan melepasmu sekarang. Kamu
akan tetap jadi sahabatku, sejak dulu, sekarang dan selamanya.
Finish
No comments:
Post a Comment