Thursday, January 16, 2014

Still (Part 3)

Aku mengucapkannya perlahan, tetapi hanya pada diriku sendiri, tidak ingin hatiku semakin terluka. Melihatnya terluka saja sudah membuat ku cukup terluka, di tambah lagi penyebabnya terluka, semakin menambah prioritas luka ku. Aku menghembuskan nafas. Memikirkan jawaban apa yang patut aku berikan padanya.

“Karena, , , aku butuh eskrim lagi.” Aku tertawa melihat kepadanya, berusaha membaikkan keadaan, dengan mengubah topik pembicaraan ini menjadi sebuah canda kembali. Semoga ia tidak bisa membaca maksudku.

“Aku sudah mengenalmu lama, lama sekali. Bahkan aku lebih mengenal siapa dirimu dari pada kamu sendiri.” ia berkata sambil menatapku, dalam. Bibirnya hanya tersenyum tipis, tidak membalas tawa ku. Aku jadi terpaku bila ditatap olehnya seperti ini. Aku berusaha tertawa sebisa ku.

“Kamu itu lucu ya, orang tua aku bukan, nenek kakekku bukan, saudarapun bukan. Eh tapi malah sok kenal kamu sama aku. Bilang kamu lebih mengenal aku dari pada aku sendiri lagi” Aku menjulurkan lidah padanya dan kembali tertawa, berusaha terlihat pembicaraan kami sebuah lelucon.

‘Ah, perkiraanku salah. Kau benar benar bisa membaca maksudku, pikiranku. Tetapi, kau salah bila mengatakan kau lebih mengenal siapa diriku dibandingkan aku sendiri. Salah besar. Kenapa? Karena, sampai saat ini pun kau tidak pernah bisa mengerti perasaanku, betapa sakitnya aku. Hanya aku yang lebih mengenal siapa diriku yang sebenarnya. Hanya aku yang bisa merasakan rasa sakit ini. Jika kau mengenalku, lebih dari pada aku mengenal diriku sendiri, seharusnya sejak lama kau sudah tahu. Kau tahu perasaan ku, kau bisa mengatakannya padaku tanpa harus menceritakan semua masalah lukamu yang membuatku semakin terluka.’

Ia masih terdiam. Tiba tiba tersenyum kecil ke arah ku.
“Aku tahu, kau juga jatuh cinta kan.” Aku kaget mendengar ucapannya, benar benar tak ku sangka Ia akan berkata seperti ini. seharusnya aku sudah mempersiapkan diriku sejak awal. Aku jadi teringat percakapan kami beberapa hari lalu.

***

Kami duduk disebuah kafe dekat kampus ku. Ia menemui ku dengan keadaan yang bisa aku katakan tidak lebih baik sedikitpun dari ku, yang baru saja menyelesaikan pekerjaan berat–mengurus perlengkapan acara seminar yang diadakan dikampusku, kebetulan aku menjadi ketua koordiantor acaranya. Penampilannya benar benar lebih buruk dari ku. Pakaian yang digunakan sama sekali tidak seperti yang selama ini ia pakai, yang telah menjadi priotas dirinya, bahwa penampilan adalah nomor satu.

Aku segera menyelesaikan tugas ku, dan meninggalkan kampus menuju tempat yang ia beritahukan–kafe depan kampus . Aku langsung masuk dan mencari meja yang terdapat seorang pria berpostur tubuh tegak dengan sedikit tambahan otot dibagian lengannya karena ia sering ber-gym ria, dan berambut sedikit cepak. Aku sudah cukup mengenal postur tubuhnya, meski dari belakangpun aku bisa tahu bahwa itu dia. Aku pun menemuinya. Aku begitu terkejut ketika melihat sosok dirinya yang begitu lusuh. Seperti orang yang tidak memiliki semangat untuk hidup lagi. Benar benar hancur.

“Hai.” Aku menyapanya yang sedang tertunduk lemas menatap kosong ke atas meja, sedikit canggung dan terkesan seperti orang baru kenal. Ia melihat ku sekilas, kemudian kembali menundukkan wajahnya, tenggelam bersama kedua matanya.

“Sudah pesan minum?” Tanya ku basa basi sambil membuka buku pesanan yang terdapat di meja tersebut. Aku mulai melihat lihat jenis minuman yang akan membuatku tampak lebih segar dan menghilangkan  rasa lelah setelah seharian bekerja di kampus menyusun acara yang akan berlangsung  2 minggu lagi. Sesekali aku melirik kearahnya. Ia masih tetap pada posisi yang sama. Tidak menoleh sedikitpun padaku.

“Aku pesan jus mangga, kamu?” sambil memberikan buku pesanan tersebut kepadanya. Tetapi ia tidak mengambilnya. “Hmm mungkin, sama saja dengan ku ya.” Sambungku memutuskan pilihan minumannya. Aku pun memanggil mbak-mbak berpakaian merah hitam dan memesan 2 buah jus mangga.

“Oke, jadi bagaimana? Apa yang ingin kamu ceritakan?” tanya ku membuka percakapan. Semoga ia menjawabnya harap batinku.

Ia masih terdiam sejenak, kemudian mulunya mulai terbuka sedikit. “Aku. . . kau tahu, aku sangat menyayanginya.” aku mendengarnya, sedikit terkejut. ‘ternyata ini’ kata ku dalam hati. “Aku telah memberikan seluruh kasih sayang ku padanya, hanya untuk dia.” Sambungnya kembali. ‘ya hanya untuk dia’ batinku kembali. “Aku… aku benar benar terluka.”

“Kamu sudah tanya padanya, bagaimana perasaannya?” entah pertanyaan bagaimana yang terlintas dipikiranku. Seharusnya aku tidak menanyakannya.

“Dia bilang, dia sudah tidak memiliki perasaan itu lagi. Dia sudah berusaha melupakan aku, jauh jauh hari sebelum ia pergi. Aku  masih tidak percaya.” Aku diam mendengarkannya. Sudah sebulan wanita itu pergi meninggalkannya. Ia pergi keluar negeri, kuliah disana. Sebelumnya, hubungan mereka sudah berjalan cukup lama, sekitar 4 tahun. Entah kenapa tiba tiba diwaktu yang hampir mencapai 5 tahun ini, wanita itu memilih memutuskan kuliah diluar diluar negeri dan mengakhiri hubungannya dengan pria yang sedang duduk dihadapan ku, yang sedang terluka.

Aku melihat luka yang cukup dalam pada dirinya. Bagaimana tidak, cinta yang telah mereka jalani 4 tahun harus berakhir seperti ini. Apalagi, harus berakhir ketika sedang cinta cintanya. Itu amat menyakitkan. Aku jadi mengingat sebuah buku yang akhir akhir ini baru selesai aku baca. Dimana seorang wanita yang harus terluka karena hubungannya dengan sang pria harus berakhir ketika wanita tersebut sedang mencapai puncak cintanya pada pria tersebut. Ia begitu terluka hingga akhirnya bunuh diri karena tak sanggup menahan sakit yang ia derita semenjak mantankekasihnya pergi. ‘Apakah Ia akan bunuh diri nanti? Seperti kisah wanita dalam buku tersebut?’ tiba tiba pikiranku melayang memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu ku pikirkan. Aku segera membuang pikiran tersebut.  Kerja otakku sedikit melemah melihat sosok lelaki yang sedang duduk dihadapanku terluka, aku sudah terluka, dan semakin terluka.

“Alasannya? Alasan ia mengakhiri hubungan kalian apa?” tanya ku seperti seorang penyelidik kasus bom bunuh diri.

“Dia bilang, dia tidak sanggup jika harus menjalin hubungan jarak jauh seperti ini. Dia ingin selalu berada didekat orang yang disayanginya, juga menyayanginya. Dia sudah tahu, bahwa ayahnya sangat ingin dia belajar di luar negeri. Dulu ia pernah bertanya padaku, apa yang akan terjadi diantara kita jika dia harus pindah keluar negeri menunutut ilmu disana. Aku pikir, dia hanya bercanda, tapi ternyata, dia benar benar sudah tahu sejak dulu.” Matanya memancarkan kesedihan seperti seorang ibu yang kehilangan buah hatinya. Sorot matanya seperti orang putus asa yang tidak memiliki tempat tinggal lagi untuk berteduh. “Ia sudah lama mencoba melupakanku, sejak tahun lalu. Aku pikir, tahun ini dia sudah berhasil menghapus kedudukanku dihatinya, oleh karena itu ia bisa pergi.”

Aku menepuk nepuk pundaknya, berusaha terlihat membangunkan semangatnya kembali. Padahal, aku sadar betul, semangat ku sendiri sedang tenggelam didalam samudra, bagaimana aku bisa membangunkan semangat orang lain.

“Jika kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu sanggup menjalani sebuah hubungan jarak jauh?” tanya ku kembali masih sambil menepuk nepuk pundaknya.

“Aku, entahlah. Aku rasa bisa. Aku sangat menyayanginya. Kau tahu itu.” jawabnya sambil mengusap ngusapkan tangan ke kepalanya. ‘Ya, aku tahu, kamu sangat menyayanginya. Aku bisa melihatnya’ batinku sedikit terluka tiba tiba mendengar ucapannya.

“Sudahlah Rif, jangan terlalu bersedih lagi.” Ya, namanya Arif, lelaki yang sedang duduk dihadapanku, yang sedang ku tepuk tepuk pundaknya, yang sedang memancarkan sorot duka dari kedua bola matanya, yang sedang bercerita kisah cintanya yang harus berakhir, yang sedang terluka karena di tinggal pergi oleh wanita yang dicintainya, yang sedang ku tatap dalam diam dan berkata ‘apakah aku tidak bisa mengisi hatimu, kekosongan jiwamu, aku menyayangimu, lebih dari seorang sahabat.’

“Kau TIDAK tahu bagaimana rasa sakitnya LISA.” Ada penekanan pada kata tidak-nya dan suara yang sedikit meninggi ketika menyebut nama ku. Lisa, wanita yang sedang duduk dihadapan lelaki yang sedang bersedih, yang sedang menepuk nepuk pundak lelaki tersebut meyakinkan bahwa dunia tidak akan berakhir hanya karena wanita yang ia cintai pergi meninggalkannya, yang sedang berusaha membangkitkan semangat lelaki tersebut, yang sedang merasakan luka lebih dari luka yang sedang lelaki tersebut rasakan, yang mencintai lelaki yang sedang duduk dihadapannya.

“Maafkan aku. .” sambung ku setelah terdiam untuk beberapa lama menahan emosi tangis yang tidak ingin ku keluarkan. ‘kau, yang sebenarnya tidak tahu bagaimana rasa sakit nya’ batinku kembali dalam hati. ‘Seandainya aku bisa mengatakannya padamu, saat ini juga agar kau tahu, siapa yang sedang sakit, siapa yang sedang tersakiti.’

***


Continued

No comments:

Post a Comment