Aku
mengucapkannya perlahan, tetapi hanya pada diriku sendiri, tidak ingin hatiku
semakin terluka. Melihatnya terluka saja sudah membuat ku cukup terluka, di
tambah lagi penyebabnya terluka, semakin menambah prioritas luka ku. Aku
menghembuskan nafas. Memikirkan jawaban apa yang patut aku berikan padanya.
“Karena,
, , aku butuh eskrim lagi.” Aku tertawa melihat kepadanya, berusaha membaikkan
keadaan, dengan mengubah topik pembicaraan ini menjadi sebuah canda kembali. Semoga
ia tidak bisa membaca maksudku.
“Aku
sudah mengenalmu lama, lama sekali. Bahkan aku lebih mengenal siapa dirimu dari
pada kamu sendiri.” ia berkata sambil menatapku, dalam. Bibirnya hanya
tersenyum tipis, tidak membalas tawa ku. Aku jadi terpaku bila ditatap olehnya
seperti ini. Aku berusaha tertawa sebisa ku.
“Kamu
itu lucu ya, orang tua aku bukan, nenek kakekku bukan, saudarapun bukan. Eh
tapi malah sok kenal kamu sama aku. Bilang kamu lebih mengenal aku dari pada
aku sendiri lagi” Aku menjulurkan lidah padanya dan kembali tertawa, berusaha
terlihat pembicaraan kami sebuah lelucon.
‘Ah,
perkiraanku salah. Kau benar benar bisa membaca maksudku, pikiranku. Tetapi,
kau salah bila mengatakan kau lebih mengenal siapa diriku dibandingkan aku
sendiri. Salah besar. Kenapa? Karena, sampai saat ini pun kau tidak pernah bisa
mengerti perasaanku, betapa sakitnya aku. Hanya aku yang lebih mengenal siapa
diriku yang sebenarnya. Hanya aku yang bisa merasakan rasa sakit ini. Jika kau
mengenalku, lebih dari pada aku mengenal diriku sendiri, seharusnya sejak lama
kau sudah tahu. Kau tahu perasaan ku, kau bisa mengatakannya padaku tanpa harus
menceritakan semua masalah lukamu yang membuatku semakin terluka.’
Ia
masih terdiam. Tiba tiba tersenyum kecil ke arah ku.
“Aku
tahu, kau juga jatuh cinta kan.” Aku kaget mendengar ucapannya, benar benar tak
ku sangka Ia akan berkata seperti ini. seharusnya aku sudah mempersiapkan
diriku sejak awal. Aku jadi teringat percakapan kami beberapa hari lalu.
***
Kami
duduk disebuah kafe dekat kampus ku. Ia menemui ku dengan keadaan yang bisa aku
katakan tidak lebih baik sedikitpun dari ku, yang baru saja menyelesaikan pekerjaan
berat–mengurus perlengkapan acara seminar yang diadakan dikampusku, kebetulan
aku menjadi ketua koordiantor acaranya. Penampilannya benar benar lebih buruk
dari ku. Pakaian yang digunakan sama sekali tidak seperti yang selama ini ia
pakai, yang telah menjadi priotas dirinya, bahwa penampilan adalah nomor satu.
Aku
segera menyelesaikan tugas ku, dan meninggalkan kampus menuju tempat yang ia
beritahukan–kafe depan kampus . Aku langsung masuk dan mencari meja yang
terdapat seorang pria berpostur tubuh tegak dengan sedikit tambahan otot
dibagian lengannya karena ia sering ber-gym ria, dan berambut sedikit cepak. Aku
sudah cukup mengenal postur tubuhnya, meski dari belakangpun aku bisa tahu
bahwa itu dia. Aku pun menemuinya. Aku begitu terkejut ketika melihat sosok
dirinya yang begitu lusuh. Seperti orang yang tidak memiliki semangat untuk
hidup lagi. Benar benar hancur.
“Hai.”
Aku menyapanya yang sedang tertunduk lemas menatap kosong ke atas meja, sedikit
canggung dan terkesan seperti orang baru kenal. Ia melihat ku sekilas, kemudian
kembali menundukkan wajahnya, tenggelam bersama kedua matanya.
“Sudah
pesan minum?” Tanya ku basa basi sambil membuka buku pesanan yang terdapat di
meja tersebut. Aku mulai melihat lihat jenis minuman yang akan membuatku tampak
lebih segar dan menghilangkan rasa lelah
setelah seharian bekerja di kampus menyusun acara yang akan berlangsung 2 minggu lagi. Sesekali aku melirik
kearahnya. Ia masih tetap pada posisi yang sama. Tidak menoleh sedikitpun
padaku.
“Aku
pesan jus mangga, kamu?” sambil memberikan buku pesanan tersebut kepadanya.
Tetapi ia tidak mengambilnya. “Hmm mungkin, sama saja dengan ku ya.” Sambungku
memutuskan pilihan minumannya. Aku pun memanggil mbak-mbak berpakaian merah
hitam dan memesan 2 buah jus mangga.
“Oke,
jadi bagaimana? Apa yang ingin kamu ceritakan?” tanya ku membuka percakapan.
Semoga ia menjawabnya harap batinku.
Ia
masih terdiam sejenak, kemudian mulunya mulai terbuka sedikit. “Aku. . . kau
tahu, aku sangat menyayanginya.” aku mendengarnya, sedikit terkejut. ‘ternyata
ini’ kata ku dalam hati. “Aku telah memberikan seluruh kasih sayang ku padanya,
hanya untuk dia.” Sambungnya kembali. ‘ya hanya untuk dia’ batinku kembali.
“Aku… aku benar benar terluka.”
“Kamu
sudah tanya padanya, bagaimana perasaannya?” entah pertanyaan bagaimana yang
terlintas dipikiranku. Seharusnya aku tidak menanyakannya.
“Dia
bilang, dia sudah tidak memiliki perasaan itu lagi. Dia sudah berusaha
melupakan aku, jauh jauh hari sebelum ia pergi. Aku masih tidak percaya.” Aku diam
mendengarkannya. Sudah sebulan wanita itu pergi meninggalkannya. Ia pergi
keluar negeri, kuliah disana. Sebelumnya, hubungan mereka sudah berjalan cukup
lama, sekitar 4 tahun. Entah kenapa tiba tiba diwaktu yang hampir mencapai 5
tahun ini, wanita itu memilih memutuskan kuliah diluar diluar negeri dan
mengakhiri hubungannya dengan pria yang sedang duduk dihadapan ku, yang sedang
terluka.
Aku
melihat luka yang cukup dalam pada dirinya. Bagaimana tidak, cinta yang telah
mereka jalani 4 tahun harus berakhir seperti ini. Apalagi, harus berakhir
ketika sedang cinta cintanya. Itu amat menyakitkan. Aku jadi mengingat sebuah
buku yang akhir akhir ini baru selesai aku baca. Dimana seorang wanita yang
harus terluka karena hubungannya dengan sang pria harus berakhir ketika wanita
tersebut sedang mencapai puncak cintanya pada pria tersebut. Ia begitu terluka
hingga akhirnya bunuh diri karena tak sanggup menahan sakit yang ia derita
semenjak mantankekasihnya pergi. ‘Apakah Ia akan bunuh diri nanti? Seperti
kisah wanita dalam buku tersebut?’ tiba tiba pikiranku melayang memikirkan hal
yang seharusnya tidak perlu ku pikirkan. Aku segera membuang pikiran
tersebut. Kerja otakku sedikit melemah
melihat sosok lelaki yang sedang duduk dihadapanku terluka, aku sudah terluka,
dan semakin terluka.
“Alasannya?
Alasan ia mengakhiri hubungan kalian apa?” tanya ku seperti seorang penyelidik
kasus bom bunuh diri.
“Dia
bilang, dia tidak sanggup jika harus menjalin hubungan jarak jauh seperti ini.
Dia ingin selalu berada didekat orang yang disayanginya, juga menyayanginya.
Dia sudah tahu, bahwa ayahnya sangat ingin dia belajar di luar negeri. Dulu ia
pernah bertanya padaku, apa yang akan terjadi diantara kita jika dia harus
pindah keluar negeri menunutut ilmu disana. Aku pikir, dia hanya bercanda, tapi
ternyata, dia benar benar sudah tahu sejak dulu.” Matanya memancarkan kesedihan
seperti seorang ibu yang kehilangan buah hatinya. Sorot matanya seperti orang
putus asa yang tidak memiliki tempat tinggal lagi untuk berteduh. “Ia sudah lama
mencoba melupakanku, sejak tahun lalu. Aku pikir, tahun ini dia sudah berhasil
menghapus kedudukanku dihatinya, oleh karena itu ia bisa pergi.”
Aku
menepuk nepuk pundaknya, berusaha terlihat membangunkan semangatnya kembali. Padahal,
aku sadar betul, semangat ku sendiri sedang tenggelam didalam samudra,
bagaimana aku bisa membangunkan semangat orang lain.
“Jika
kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu sanggup menjalani sebuah hubungan jarak
jauh?” tanya ku kembali masih sambil menepuk nepuk pundaknya.
“Aku,
entahlah. Aku rasa bisa. Aku sangat menyayanginya. Kau tahu itu.” jawabnya
sambil mengusap ngusapkan tangan ke kepalanya. ‘Ya, aku tahu, kamu sangat
menyayanginya. Aku bisa melihatnya’ batinku sedikit terluka tiba tiba mendengar
ucapannya.
“Sudahlah
Rif, jangan terlalu bersedih lagi.” Ya, namanya Arif, lelaki yang sedang duduk
dihadapanku, yang sedang ku tepuk tepuk pundaknya, yang sedang memancarkan
sorot duka dari kedua bola matanya, yang sedang bercerita kisah cintanya yang
harus berakhir, yang sedang terluka karena di tinggal pergi oleh wanita yang
dicintainya, yang sedang ku tatap dalam diam dan berkata ‘apakah aku tidak bisa
mengisi hatimu, kekosongan jiwamu, aku menyayangimu, lebih dari seorang sahabat.’
“Kau
TIDAK tahu bagaimana rasa sakitnya LISA.” Ada penekanan pada kata tidak-nya dan
suara yang sedikit meninggi ketika menyebut nama ku. Lisa, wanita yang sedang
duduk dihadapan lelaki yang sedang bersedih, yang sedang menepuk nepuk pundak
lelaki tersebut meyakinkan bahwa dunia tidak akan berakhir hanya karena wanita
yang ia cintai pergi meninggalkannya, yang sedang berusaha membangkitkan
semangat lelaki tersebut, yang sedang merasakan luka lebih dari luka yang
sedang lelaki tersebut rasakan, yang mencintai lelaki yang sedang duduk
dihadapannya.
“Maafkan
aku. .” sambung ku setelah terdiam untuk beberapa lama menahan emosi tangis
yang tidak ingin ku keluarkan. ‘kau, yang sebenarnya tidak tahu bagaimana rasa
sakit nya’ batinku kembali dalam hati. ‘Seandainya aku bisa mengatakannya padamu,
saat ini juga agar kau tahu, siapa yang sedang sakit, siapa yang sedang
tersakiti.’
***
Continued
No comments:
Post a Comment