Wednesday, June 21, 2017

Ketika Senja Jatuh Cinta (3)


Aku merasakan tubuhku seakan remuk, sakit tak terkendali. Perlahan aku membuka mata, sinar matahari masuk sedikit demi sedikit. Derai ranting cemara menjadi pemandangan pertama yang ku lihat. Setelah aku merasa cukup kuat, aku bangkit. Tanganku meraba lembut rumput-rumput hijau yang menampung beban tubuhku. Tepat satu meter disebelah kananku, ladang bunga dandelion bertaburan. Serpihan tangkai kecilnya menari di atas hembusan angin. Aku terpukau. Setelah puas memandang ladang dandelion tatapan mataku jatuh pada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh. Lumut-lumut hijau yang menempel dibatangnya menyadarkanku tentang sesuatu. Aku buru-buru menghampiri batang pohon tersebut. Ketakutan terjebak di black forest kembali memenuhi ingatanku. Aku menyentuh pelan lumut tersebut. Sedetik, dua detik, tiga detik, hingga sepuluh detik aku menunggu tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Tidak ada cahaya yang muncul seperti waktu itu. Aku menghembuskan nafas kecil, sedikit kecewa. Kemudian aku memutar badan dan tiba-tiba saja aku menahan nafas. Entah sejak kapan, sesosok makhluk sudah berdiri tepat dihadapanku. Rupanya tidak kelihatan, sinar matahari menutupi pandangan mataku, silau. Ia sedikit menunduk, meletakkan telapak tangannya di atas mataku seperti payung. Samar, aku melihat raut wajahnya sambil kembali menghirup udara.
“Panas ya” suaranya membuat jantungku memompa darah lebih cepat. Aku kenal suara ini, suara yang mengagetkan ku saat berada di dalam hutan yang gelap.
“Kamu siapa?” tanya ku cepat sambil menatap lekat wajahnya kemudian menatap khawatir ke arah tangannya yang masih memayungi mataku dari sinar. Melihat gelagatku yang tidak nyaman, ia segera menurunkan tangannya.
“Kenapa kamu bisa tersasar di hutan itu?” ia tidak menjawab pertanyaanku, justru menimpaliku dengan pertanyaannya.
“Aaa,,aaku” mulutku bergetar. “Kamu sebenarnya, kamu siapa?” aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku kembali mengulang pertanyaan pertamaku padanya.
“Kamu orang pertama yang berhasil melalui dimensi ini” ia kembali tidak menjawab pertanyaanku. “Ketakutan dan kepasrahan dapat membawa orang-orang yang tak tau arah seperti kamu ke hutan itu. Selama ini, semua dari mereka yang tersesat tak pernah mampu mencapai dimensi ini.” penjelasannya mengenai hutan membuatku menyipitkan mata. Mencoba memahami setiap katanya dari sorot bola matanya. Melihat segala kecurigaan yang memungkinkan. Tetapi aku tidak menemukan apa-apa di sana.
“Maksudmu? Jadi, mereka di mana saat ini?” Aku terbuai dengan ceritanya.
“Kamu ingin tau?” tanyanya sambil menatap mataku lekat. Mencari tau seberapa besar keinginanku untuk mengetahuinya. Aku mengangguk cepat. Dia menghembuskan nafas kecil. “Mereka mati menggenaskan” aku spontan terkejut dan mundur beberapa langkah. Tubuhku nyaris jatuh, tetapi tanganku sigap menyentuh batang pohon yang tepat berada dipunggungku. Aku menoleh ke belakang. Tanganku sedang menyentuh lumut-lumut pada pohon tegak yang menjulang tinggi. Lumutnya bercahaya. Aku kembali menatap sosok tinggi tersebut. Ia mendekat ke arah ku.
“Coba kamu sentuh lagi lumut itu” katanya. Aku menurut dan segera menyentuhnya. “Sekarang lihat aku” sambungnya sambil melangkah lebih dekat di depanku. Wajahnya bercahaya. Aku terkejut. “Jangan takut. Aku yang berbicara denganmu malam itu. Dan sekarang aku ingin mengucapkan terima kasih karena kamu sudah berhasil melewati waktu sulit di hutan itu dan melintasi dimensi waktu ini. Aku senang.” ungkapnya sambil mengelus lembut kepalaku. Aku terkesima.
“Jadi bagaimana aku bisa sampai ke sini?” tanya ku sambil memasang wajah bingung.
“Nanti kamu akan mengerti. Aku sedang mencari sosok wanita yang bisa menemaniku.” ia kembali tidak menjawab pertanyaanku. “Tutup matamu.” Ia selangkah lebih dekat dan meletakkan telapak tangannya dimataku dan menutup semua cahaya yang masuk. Seberkas cahaya yang begitu terang melintas dihadapan mataku yang tertutup rapat oleh tangannya. Beberapa saat kemudian aku tidak sadarkan diri.
***
Aku terbangun sambil mengusap wajah dan mengucek mata. Ku lihat sekitar, hanya ada pohon cemara dan pinus menjulang tinggi dipenuhi kabut. Aku bangkit kemudian memegang perut, lapar. Ku lihat, sebuah pohon besar dipenuhi lumut berdiri kokoh. Aku berjalan. Tiba-tiba sebuah tangan hangat menggenggam jemari kananku.
“Laparkan, aku temani ya” pintanya tanpa melepaskan tanganku. Aku hanya menurut. Kemudian kami berjalan berdua menelusuri padatnya pohon-pohon menjulang tinggi.

Di kota ini semua tawa hilang, semua raga terbang tanpa arah. Sedangkan aku hanya mematung dalam kesendirian. Tapi sekarang tidak lagi, aku ingin menemukannya kembali, bersamanya.

THE END

No comments:

Post a Comment