Aku merasakan tubuhku
seakan remuk, sakit tak terkendali. Perlahan aku membuka mata, sinar matahari
masuk sedikit demi sedikit. Derai ranting cemara menjadi pemandangan pertama
yang ku lihat. Setelah aku merasa cukup kuat, aku bangkit. Tanganku meraba
lembut rumput-rumput hijau yang menampung beban tubuhku. Tepat satu meter
disebelah kananku, ladang bunga dandelion bertaburan. Serpihan tangkai kecilnya
menari di atas hembusan angin. Aku terpukau. Setelah puas memandang ladang
dandelion tatapan mataku jatuh pada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh.
Lumut-lumut hijau yang menempel dibatangnya menyadarkanku tentang sesuatu. Aku
buru-buru menghampiri batang pohon tersebut. Ketakutan terjebak di black forest kembali memenuhi ingatanku.
Aku menyentuh pelan lumut tersebut. Sedetik, dua detik, tiga detik, hingga
sepuluh detik aku menunggu tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Tidak ada cahaya
yang muncul seperti waktu itu. Aku menghembuskan nafas kecil, sedikit kecewa. Kemudian
aku memutar badan dan tiba-tiba saja aku menahan nafas. Entah sejak kapan, sesosok
makhluk sudah berdiri tepat dihadapanku. Rupanya tidak kelihatan, sinar
matahari menutupi pandangan mataku, silau. Ia sedikit menunduk, meletakkan
telapak tangannya di atas mataku seperti payung. Samar, aku melihat raut
wajahnya sambil kembali menghirup udara.
“Panas ya” suaranya
membuat jantungku memompa darah lebih cepat. Aku kenal suara ini, suara yang
mengagetkan ku saat berada di dalam hutan yang gelap.
“Kamu siapa?” tanya ku
cepat sambil menatap lekat wajahnya kemudian menatap khawatir ke arah tangannya
yang masih memayungi mataku dari sinar. Melihat gelagatku yang tidak nyaman, ia
segera menurunkan tangannya.
“Kenapa kamu bisa tersasar
di hutan itu?” ia tidak menjawab pertanyaanku, justru menimpaliku dengan
pertanyaannya.
“Aaa,,aaku” mulutku
bergetar. “Kamu sebenarnya, kamu siapa?” aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku
kembali mengulang pertanyaan pertamaku padanya.
“Kamu orang pertama
yang berhasil melalui dimensi ini” ia kembali tidak menjawab pertanyaanku. “Ketakutan
dan kepasrahan dapat membawa orang-orang yang tak tau arah seperti kamu ke
hutan itu. Selama ini, semua dari mereka yang tersesat tak pernah mampu
mencapai dimensi ini.” penjelasannya mengenai hutan membuatku menyipitkan mata.
Mencoba memahami setiap katanya dari sorot bola matanya. Melihat segala
kecurigaan yang memungkinkan. Tetapi aku tidak menemukan apa-apa di sana.
“Maksudmu? Jadi, mereka
di mana saat ini?” Aku terbuai dengan ceritanya.
“Kamu ingin tau?”
tanyanya sambil menatap mataku lekat. Mencari tau seberapa besar keinginanku
untuk mengetahuinya. Aku mengangguk cepat. Dia menghembuskan nafas kecil.
“Mereka mati menggenaskan” aku spontan terkejut dan mundur beberapa langkah.
Tubuhku nyaris jatuh, tetapi tanganku sigap menyentuh batang pohon yang tepat
berada dipunggungku. Aku menoleh ke belakang. Tanganku sedang menyentuh
lumut-lumut pada pohon tegak yang menjulang tinggi. Lumutnya bercahaya. Aku
kembali menatap sosok tinggi tersebut. Ia mendekat ke arah ku.
“Coba kamu sentuh lagi
lumut itu” katanya. Aku menurut dan segera menyentuhnya. “Sekarang lihat aku”
sambungnya sambil melangkah lebih dekat di depanku. Wajahnya bercahaya. Aku
terkejut. “Jangan takut. Aku yang berbicara denganmu malam itu. Dan sekarang
aku ingin mengucapkan terima kasih karena kamu sudah berhasil melewati waktu
sulit di hutan itu dan melintasi dimensi waktu ini. Aku senang.” ungkapnya
sambil mengelus lembut kepalaku. Aku terkesima.
“Jadi bagaimana aku
bisa sampai ke sini?” tanya ku sambil memasang wajah bingung.
“Nanti kamu akan
mengerti. Aku sedang mencari sosok wanita yang bisa menemaniku.” ia kembali
tidak menjawab pertanyaanku. “Tutup matamu.” Ia selangkah lebih dekat dan meletakkan
telapak tangannya dimataku dan menutup semua cahaya yang masuk. Seberkas cahaya
yang begitu terang melintas dihadapan mataku yang tertutup rapat oleh
tangannya. Beberapa saat kemudian aku tidak sadarkan diri.
***
Aku terbangun sambil
mengusap wajah dan mengucek mata. Ku lihat sekitar, hanya ada pohon cemara dan
pinus menjulang tinggi dipenuhi kabut. Aku bangkit kemudian memegang perut,
lapar. Ku lihat, sebuah pohon besar dipenuhi lumut berdiri kokoh. Aku berjalan.
Tiba-tiba sebuah tangan hangat menggenggam jemari kananku.
“Laparkan, aku temani ya” pintanya tanpa
melepaskan tanganku. Aku hanya menurut. Kemudian kami berjalan berdua
menelusuri padatnya pohon-pohon menjulang tinggi.
Di
kota ini semua tawa hilang, semua raga terbang tanpa arah. Sedangkan aku hanya
mematung dalam kesendirian. Tapi sekarang tidak lagi, aku ingin menemukannya
kembali, bersamanya.
THE END
No comments:
Post a Comment