“Kalau nguatin orang lain bisa, giliran nguatin
diri sendiri berasa mau mati”
Itu salah
satu quote yang saja baca sekitar beberapa pekan lalu. Ekspresi saya setelah
membacanya? Adalah sederet anggukan yang sangat jelas diwajah saya, bahwa saya
dengan begitu mantap menyutujuinya.
Benar
adanya, bahwa ketika masa-masa menguatkan orang lain adalah bukan sesuatu yang
begitu berat untuk saya jalani. Bahkan menguatkan orang-orang disekitar saya
hampir menjadi suatu kebiasaan yang berdampak menjadi sebuah hobi. Benarkah? Ya
intinya, menguatkan orang lain tidak akan begitu sulit, hanya saja, mungkin,
sedikit kelelahan ketika sesuatu yang telah kita bangun jatuh begitu saja.
Tetapi terlepas dari semua itu, percayalah. Menguatkan orang lain butuh modal
nyali keberanian dan keluasan kata-kata serta bahasa untuk membangkitkannya
dari masa-masa terpuruk itu.
Tetapi,
benarkah saya mampu menguatkan orang lain?
Menguatkan
orang lain tidak sulit pun tidak mudah pula. Tetapi, menguatkan diri sendiri?
Itu adalah
pertanyaan yang sampai saat ini masih menjadi jawaban gantung bagi saya.
Benarkan saya mampu menguatkan diri saya sendiri? Terlebih lagi ketika saya
sedang berada dalam masa-masa terpuruk.
Bisakah saya
menguatkan diri sendiri? Disaat untuk berdiri pun nyaris tak mampu saya lakukan
seorang diri.
Benarkah
menguatkan orang lain jauh lebih mudah ketimbang menguatkan diri sendiri yang
nyaris tidak berdaya?
Benarkah
sosok saya dimata orang-orang yang saya kuatkah seperti hero namun bagi diri
sendiri adalah zero di dalam cangkang telur?
“Kalau nguatin orang lain bisa, giliran nguatin
diri sendiri berasa mau mati”
Itu quote
yang nyaris membuat saya berhenti untuk menguatkan orang lain. Bagaimana tidak,
bayangkan seseorang di depan kamu sedang memberimu support positif dan terus berdiri di sisimu sembari menyemangati
dan menguatkan hati serta jiwamu ketika rapuh, namun sosok di depanmu adalah
seseorang yang untuk membuat serpihan senyum pada dirinya sendiri ketika susah
pun tak mampu. Bayangkan, seseorang di depanmu adalah orang yang selalu
mati-matian berusaha membangkitkan semua sisa-sisa mimpimu yang nyaris pupus,
kemudian menghidupkan kembali mimpi itu, tetapi ternyata untuk bermimpi bagi
dirinya sendiripun ia tak mampu. Bayangkan seseorang di depanmu yang dengan
susah payah mencoba menghiburmu, menempatkan sisi terbaik dirinya untuk
membuatmu tetap utuh dengan segala percekcokan disekeliling hidupnya tidak
pernah menjadi suatu alasan baginya untuk berhenti menguatkanmu. Bayangkan
sosok seperti itu. Bayangkan!
Salahkah?
Menguatkan
orang lain akan berakhir bahagia, sedangkan menguatkan diri sendiri tidak
pernah berakhir bahagia?
“Kenapa
kamu harus kuatin saya?”
Karena
saya tau, kamu tidak akan mampu jika seorang diri. Jadi saya memutuskan untuk
menguatkanmu.
“Kenapa
harus menguatkan saya?”
Karena
kamu tidak bisa kuat dan menahan segala emosi seorang diri.
“Kenapa
kamu bisa kuatin saya?”
Karena
menguatkan seseorang tidak begitu sulit.”
“Kenapa
kamu tidak menguatkan diri kamu sendiri?”
Karena
saya sadar, menguatkan diri sendiri adalah hal yang nyaris tidak bisa saya
lakukan.
“Kenapa?”
Kamu
tau jawabannya, lihat dirimu, bisakah kamu menguatkan dirimu sendiri? Itulah
yang saya lakukan.
“Tetapi,
kenapa?”
Karena
menguatkan orang lain tidaklah sulit, namun menguatkan diri sendiri adalah hal
yang begitu sulit.
so, how can I strengthen myself?
No comments:
Post a Comment