Monday, November 17, 2014

Tapi, kenapa?



“Kalau nguatin orang lain bisa, giliran nguatin diri sendiri berasa mau mati”

Itu salah satu quote yang saja baca sekitar beberapa pekan lalu. Ekspresi saya setelah membacanya? Adalah sederet anggukan yang sangat jelas diwajah saya, bahwa saya dengan begitu mantap menyutujuinya.

Benar adanya, bahwa ketika masa-masa menguatkan orang lain adalah bukan sesuatu yang begitu berat untuk saya jalani. Bahkan menguatkan orang-orang disekitar saya hampir menjadi suatu kebiasaan yang berdampak menjadi sebuah hobi. Benarkah? Ya intinya, menguatkan orang lain tidak akan begitu sulit, hanya saja, mungkin, sedikit kelelahan ketika sesuatu yang telah kita bangun jatuh begitu saja. Tetapi terlepas dari semua itu, percayalah. Menguatkan orang lain butuh modal nyali keberanian dan keluasan kata-kata serta bahasa untuk membangkitkannya dari masa-masa terpuruk itu.

Tetapi, benarkah saya mampu menguatkan orang lain?

Menguatkan orang lain tidak sulit pun tidak mudah pula. Tetapi, menguatkan diri sendiri?
Itu adalah pertanyaan yang sampai saat ini masih menjadi jawaban gantung bagi saya. Benarkan saya mampu menguatkan diri saya sendiri? Terlebih lagi ketika saya sedang berada dalam masa-masa terpuruk.

Bisakah saya menguatkan diri sendiri? Disaat untuk berdiri pun nyaris tak mampu saya lakukan seorang diri.

Benarkah menguatkan orang lain jauh lebih mudah ketimbang menguatkan diri sendiri yang nyaris tidak berdaya?

Benarkah sosok saya dimata orang-orang yang saya kuatkah seperti hero namun bagi diri sendiri adalah zero di dalam cangkang telur?

“Kalau nguatin orang lain bisa, giliran nguatin diri sendiri berasa mau mati”

Itu quote yang nyaris membuat saya berhenti untuk menguatkan orang lain. Bagaimana tidak, bayangkan seseorang di depan kamu sedang memberimu support positif dan terus berdiri di sisimu sembari menyemangati dan menguatkan hati serta jiwamu ketika rapuh, namun sosok di depanmu adalah seseorang yang untuk membuat serpihan senyum pada dirinya sendiri ketika susah pun tak mampu. Bayangkan, seseorang di depanmu adalah orang yang selalu mati-matian berusaha membangkitkan semua sisa-sisa mimpimu yang nyaris pupus, kemudian menghidupkan kembali mimpi itu, tetapi ternyata untuk bermimpi bagi dirinya sendiripun ia tak mampu. Bayangkan seseorang di depanmu yang dengan susah payah mencoba menghiburmu, menempatkan sisi terbaik dirinya untuk membuatmu tetap utuh dengan segala percekcokan disekeliling hidupnya tidak pernah menjadi suatu alasan baginya untuk berhenti menguatkanmu. Bayangkan sosok seperti itu. Bayangkan!

Salahkah?

Menguatkan orang lain akan berakhir bahagia, sedangkan menguatkan diri sendiri tidak pernah berakhir bahagia?


“Kenapa kamu harus kuatin saya?”
Karena saya tau, kamu tidak akan mampu jika seorang diri. Jadi saya memutuskan untuk menguatkanmu.
“Kenapa harus menguatkan saya?”
Karena kamu tidak bisa kuat dan menahan segala emosi seorang diri.
“Kenapa kamu bisa kuatin saya?”
Karena menguatkan seseorang tidak begitu sulit.”
“Kenapa kamu tidak menguatkan diri kamu sendiri?”
Karena saya sadar, menguatkan diri sendiri adalah hal yang nyaris tidak bisa saya lakukan.
“Kenapa?”
Kamu tau jawabannya, lihat dirimu, bisakah kamu menguatkan dirimu sendiri? Itulah yang saya lakukan.
“Tetapi, kenapa?”
Karena menguatkan orang lain tidaklah sulit, namun menguatkan diri sendiri adalah hal yang begitu sulit.

so, how can I strengthen myself?

No comments:

Post a Comment