Jika menghitung jumlah hari
yang telah kau habiskan dalam hidup ini, mungkin bisa hanya dengan mengalikan
setiap kelipatan minggu, bulan, ataupun tahun. Tetapi, bisakah menghitung
jumlah hari yang telah kau habiskan bersama orang yang kau sayangi?
Teringat akan masa lalu yang kita lewati
Terasa indah sejuk merasa di dalam sanubari
Walau duka sempat singgah
Hadapi bersama
Terasa indah sejuk merasa di dalam sanubari
Walau duka sempat singgah
Hadapi bersama
Bahagia selalu dihatiku
Kini hilanglah sudah kisah tinggallah kenangan
Saat dia datang menghampirimu dengan
segala janji
Berikan sudah semua
Atas nama cintanya hapuskan cerita kita
Ingatkah kamu saat kita bersedih
Ingatkah kamu saat kita bahagia
Ingatkah kamu janji bersatu
Demi kasih sayang kita berdua
Menempuh hari esok berdua
Saat dia datang menghampirimu dengan
segala janji
Berikan sudah semua
Atas nama cintanya hapuskan cerita kita
Ingatkah kamu saat kita bersedih
Ingatkah kamu saat kita bahagia
Ingatkah kamu janji bersatu
Demi kasih sayang kita berdua
Menempuh hari esok berdua
Asap
– Ingatkah Kamu
Ini salah satu koleksi lagu favorite saya. Hanya dengan mendengarkan
nada nada manisnya, hati saya selalu luluh. Rasanya lagu ini bukan hanya sekedar memiliki sebuah makna yang dalam, tapi
juga mengajari saya bagaimana ‘mengenang’ dan ‘belajar’ tentang sebuah waktu;
bahagia pun sedih.
Kalau kemarin, saya bisa tertawa pulas dan
bergerak bahagia sesuka hatinya di awal Agustus ini, namun pada akhir Agustus
saya harus mulai menghargainya. Menghargai apa? Menghargai setiap canda juga
tawa yang pernah saya lakukan bersamamu. Bukan selama ini saya tidak menghargai
apaun, hanya saja mungkin kemarin-kemarin saya terlalu bahagia, terlalu tidak
ingin mengambil pusing tentang seberapa banyak waktu yang berlalu, tidak ingin
mengambil pusing seberapa banyak waktu yang tersisa, hingga pada akhirnya, saya
juga kamu, kita sama-sama sadar bahwa waktu mulai merenggut kembali kebersamaan
kita. Benarkah demikian?
Hari ini saya kembali
menangis. Bukan karena langit tidak berbintang, pun pohon-pohon yang rindang
mulai berguguran. Tetapi, karena waktu mulai berubah, perlahan mulai
meninggalkan sisi manis yang dulu begitu saya pujakan begitu saya elokkan. Karena waktu, saya harus
kembali belajar ‘mengikhlaskan sebuah kepergian’ dan bukanlah hal yang mudah.
Hai penghujung Agustus.
Bisakah kau merasakan setiap helaan nafas berat yang saya lalui akhir-akhir
ini? Merasakan bagaimana perihnya hati ketika menyadari bahwa Agustus harus
berakhir?!
Yang
ku mau ada dirimu
Tapi
tak begini keadaannya
Yang
ku mau
Selalu
denganmu
Jika
Tuhan mau begini
Rubahlah
semua jadi yang ku mau
Karena
ku ingin semua berjalan seperti yang ku mau
Krisdayanti – Yang Ku Mau
Ini masih koleksi lagu favorite saya, dan lagi-lagi saya harus
‘mewek’ dengan lagu ini. Rasanya, saya ingin benar-benar mengulang awal Agustus
lalu, ketika setiap tawa mengalir tanpa batas, tanpa ada hilir maupun hulu,
hanya mengalir. Namun ternyata saya keliru, setiap awal selalu punya akhir.
Kemarin-kemarin adalah awal Agusus yang indah, dan ini (masih) akhir Agustus
yang indah juga –semoga. Bisakah semuanya seperti
yang ku mau?
“Kita seperti sepasang
sepatu ya.”
Tiba-tiba kalimat itu
terlintas begitu saja dalam benakku. Sepasang sepatu. Seperti apa rasanya
menjadi sepasang sepatu?
Ya, kita seperti sepasang
sepatu. Selalu berdekatan ketika sedang menjejerkan kaki. Lihatlah sepasang
sepatu yang tengah berada pada posisi diam ketika seseorang menggunakannya.
Terlihat berdekatan bukan? Mungkin seperti itulah kita saat ini. Seperti
sepasang sepatu. Namun pada sisi lain, sepasang sepatu yang tengah berjalan
terlihat tak pernah berdekatan –seperti tidak bisa bersatu– namun selalu
berdampingan. Dan seperti itulah kita. Karena mereka sepasang, mereka harus
selalu bersama, meski terkadang jarak bisa memisahkan tetapi mereka selalu
berdampingan, beriringan, tak pernah berjalan sendiri-sendiri.
Sekarang kau mengerti?
Sepasang sepatu akan selalu menjadi sepasang sepatu. Tidak ada sepatu kiri yang
ini akan berdampingan dengan sepatu kanan yang itu, pun sebaliknya. Sepatu kiri
yang ini harus selalu berdampingan dengan sepatu kanan yang ini. Seperti itulah
yang dikatakan “sepasang sepatu”.
Ah, saya kembali berfilosofi
setelah sekian lama berhenti melakukan aktifitas menulis. Banyak alasan, salah
satunya karena saya memiliki kegiatan lain –sehingga untuk menulis saja tidak
punya waktu– dan menjadi sibuk, selain itu berbicara tentang niat, saya selalu
melakukannya, berniat untuk mulai menulis kembali, namun selalu gagal setelah
dirayu oleh beberapa movie yang
membuat niat saya tidak pernah terlaksanakan. Dan pada akhirnya hari ini niat
saya telah kelar terlaksanakan. Bangga? Bukan, tidak. Saya hanya sedikit
menyesal, melalui banyak hal tanpa menulis (saya akui, saya sedang sibuk dan
menyibukkan diri). Setidaknya, akhir agustus ini saya berharap semuanya akan
tetap menjadi seperti yang ku mau.
Seperti yang ku mau yang seperti apa? Cukup hanya dengan 2 kata, “sepasang
sepatu”. Saya, kamu, kita semua pasti mengerti.
“Jika suatu hari nanti
sepatu kiri ataupun kanan hilang karena keteledoran atau dicuri, apa yang bisa dilakukan?
Hanya satu jawaban. Sepatu kiri ataupun kanan lainnya harus mencari dan
menemukan pasangannya. Kenapa? Karena sepasang sepatu selalu terlihat cocok
bila berdampingan dengan pasangannya. Tanpa pasanganya, sepatu tersebut tidak
akan bisa hidup dengan layak. Benarkan demikian?!”
NB : Tulisan ini seharusnya
saya tulis di penghujung Agustus. Semoga September ini tidak akan berawal sedih
pun berakhir tragis. Semoga.
No comments:
Post a Comment