Sunday, September 7, 2014

Kembali


Jika masa itu telah berakhir, bolehkan aku berdoa? Memohon agar masa itu kembali (lagi) dalam pelukanku.

Saya seperti cacing kedinginan saat ini. Ingin melipat-lipat diri agar tidak membeku. Melilit-lilitkan tubuh pada ranting pohon yang disinari matahari langsung, berharap energi panasnya sedikit menyebar ditubuh yang nyaris kaku ini.

Kasihannya saya. Terpaku menatap bola mata yang mulai kehilangan harapan dalam kedipan tak bergeming. Mencari cari seserut kebahagiaan dari balik lensa mata yang selalu terlihat bahagia. Tapi kemudian kehilangan harapan.

Saya masih menunggu. Menunggu percikan sinar matahari menghangatkan tubuh yang nyaris menggigil karena luka. Menunggu sebuah harapan 'bahagia' kembali, bukan memudar seperti pelangi di malam hari.

Ah, saya terlalu terlena dalam kesedihan yang tak dapat memuai ini, berharap kesedihan menjelma seperti logam, kemudian memuai dihangatkan sang mentari. Tetapi ternyata saya hanya bermimpi. Matahari tertutup awan, menyisakan mendung dan isak tangis, kemudian pecah. Semua kembali pergi seperti beberapa saat lalu.

Andai saya bisa memohon, agar dapat memutar kembali waktu. 
Langit masih mendung. Apakah matahari sedang marah? Berbaik hatilah, saya sedang membutuhkan hangat matahari untuk menghilangkan segala rasa luka yang membekukan seluruh ingatan. Tolong, seseorang disana, dekat erat tubuh ini agar kembali  hangat seperti dahulu. Sehangat senyum pagi yang selalu menghiasi gelora indah dalam setiap langkah saya.

Saya sedang rindu.
Menatap langit sore, menatap ombak laut, menatap matahari terbenam, dan melihat kedua bola matamu yang selalu menatap saya dengan sejuk.

“Matahari memang pergi ketika senja, tetapi ia berjanji akan kembali ketika fajar.”

No comments:

Post a Comment