Jika masa itu telah
berakhir, bolehkan aku berdoa? Memohon agar masa itu kembali (lagi) dalam
pelukanku.
Saya seperti cacing kedinginan saat ini. Ingin melipat-lipat diri agar tidak membeku. Melilit-lilitkan tubuh pada ranting pohon yang disinari matahari langsung, berharap energi panasnya sedikit menyebar ditubuh yang nyaris kaku ini.
Kasihannya
saya. Terpaku menatap bola mata yang mulai kehilangan harapan dalam kedipan tak
bergeming. Mencari cari seserut kebahagiaan dari balik lensa mata yang selalu
terlihat bahagia. Tapi kemudian kehilangan harapan.
Saya
masih menunggu. Menunggu percikan sinar matahari menghangatkan tubuh yang
nyaris menggigil karena luka. Menunggu sebuah harapan 'bahagia' kembali, bukan
memudar seperti pelangi di malam hari.
Ah,
saya terlalu terlena dalam kesedihan yang tak dapat memuai ini, berharap
kesedihan menjelma seperti logam, kemudian memuai dihangatkan sang mentari.
Tetapi ternyata saya hanya bermimpi. Matahari tertutup awan, menyisakan mendung
dan isak tangis, kemudian pecah. Semua kembali pergi seperti beberapa saat
lalu.
Andai saya bisa
memohon, agar dapat memutar kembali waktu.
Langit
masih mendung. Apakah matahari sedang marah? Berbaik hatilah, saya sedang
membutuhkan hangat matahari untuk menghilangkan segala rasa luka yang
membekukan seluruh ingatan. Tolong, seseorang disana, dekat erat tubuh ini agar
kembali hangat seperti dahulu. Sehangat senyum pagi yang selalu menghiasi
gelora indah dalam setiap langkah saya.
Saya sedang rindu.
Menatap
langit sore, menatap ombak laut, menatap matahari terbenam, dan melihat kedua
bola matamu yang selalu menatap saya dengan sejuk.
“Matahari
memang pergi ketika senja, tetapi ia berjanji akan kembali ketika fajar.”
No comments:
Post a Comment