Monday, June 30, 2014

Biarlah Aku



Kalau waktu berdusta, mungkin aku bukanlah aku.
Walau telah habis gelap dalam kelam yang menusuk, aku masih bukanlah aku.
Kalau tiba waktu pagi
Tergores kembali kenangan malam yang hambar
Penuh luka
Bisakah semuanya kembali seperti dahulu?
Ketika semuanya
'masih baik-baik saja'

***
Kalau aku tak lagi sama, masihkah senja berteman dengan sang malam?
Kalau kau tak lagi sama, masihkah senja terlihat berteman dengan sang malam?

Ternyata saya masih belum beranjak, meski yang lain sudah pergi. Mungkin karena saya memiliki keterbatasan, yang kerap bisa dilakukan oleh siapa saja namun tidak bagi saya.
Ternyata saya masih sendiri –masih seperti dahulu– meski yang lain sudah berteman banyak. Mungkin karena saya masih belum paham yang mana batas teman sejati, teman biasa, teman temanan. Saya bukan tipe yang mencoba memiliki ketiganya, hanya berusaha menjadi ketiganya.
Ternyata saya masih kesepian, meski yang lain sudah tertawa dan berangkul ria menapaki pantai dalam langit senja. Mungkin karena saya takut, bahwa untuk tertawa dan berangkul saja harus dipandang seperempat mata.
Ternyata saya masih seperti dahulu, meski telah mencoba berjalan beriringan, ternyata langkah kaki mereka tidak pernah ingin berjajaran dengan langkah kaki saya. Adakah yang salah?


***

Kalau kemarin kamu tertawa ria bersama mereka, apakah hari ini hal seperti itu akan kembali terjadi? Banyak yang bilang, sehebat apapun kamu dalam beberapa waktu namun ketika dalam suatu waktu kamu jatuh terhempas dari kehebatan itu, beberapa temanmu atau semuanya akan pergi meninggalkanmu. Sulit melihat mereka yang seutuhnya seperti dahulu, menggenggam tanganmu, tertawa bersamamu, bergandengan tangan melewati senja yang indah sambil menikmati secangkir teh panas bersamamu, atau bahkan setidaknya memberi sebuah senyuman yang tulus untukmu. Tidak banyak orang-orang yang bisa kamu harapkan ketika kamu melewati masa sulit. Sebagian karena memang mereka peduli kepadamu, sebagian karena mereka kasihan melihatmu, sebagian lagi karena mereka mulai berpikir ‘siapa aku dan siapa kamu? Kenapa harus aku?’.

Proses hidup, melewati sisa waktu dengan merasa kehilangan pun tersakiti. Seberat meletakkan besi berton-ton pada pundakmu, lemah. Lantas, kemana tangan-tangan yang dahulu selalu berpegang erat dalam setiap kebahagiaan? Dimana tawa-tawa hangat yang dahulu menjadi detik-detik jarum jam dalam puing hidupmu yang sekarang tiada bersisa?

Faktanya, ketika kamu mencoba merangkul mereka kembali, bukan senyum hangat yang bisa kamu terima, melainkan tepisan tangan-tangan yang dahulu pernah terasa begitu hangat dalam setiap hembusan nafasmu. Seburuk itukah? Lantas siapa yang lebih dahulu berjanji untuk terus berteman selamanya dan siapa yang lebih dahulu mengingkari janji-janji yang pernah terlihat semanis madu tersebut? Siapa yang lebih dahulu membentang jarak?

Dan siapa yang lebih dahulu merasa sakit?

Haruskah kasih sayang berubah menjadi sebuah kebencian? Kenapa harus saling menyayangi kalau pada akhirnya harus saling membenci?

Kalau nanti sampai aku masih kesepian dalam luka dan kebahagian, biarlah kesepian ini tetap ada.
Karena mungkin kesepian lebih baik dari pada mereka yang masih terlihat seperti dahulu –ada, namun tetap tidak bisa merangkulku seperti merangkul lainnya.



PS :
Mungkin karena aku berbeda jadi puzzle kita tidak akan pernah cocok.

No comments:

Post a Comment