Kalau
waktu berdusta, mungkin aku bukanlah aku.
Walau
telah habis gelap dalam kelam yang menusuk, aku masih bukanlah aku.
Kalau tiba
waktu pagi
Tergores
kembali kenangan malam yang hambar
Penuh luka
Bisakah
semuanya kembali seperti dahulu?
Ketika
semuanya
'masih
baik-baik saja'
***
Kalau
aku tak lagi sama, masihkah senja berteman dengan sang malam?
Kalau kau tak lagi sama,
masihkah senja terlihat berteman dengan sang malam?
Ternyata saya masih belum beranjak, meski yang lain sudah
pergi. Mungkin karena saya memiliki keterbatasan, yang kerap bisa dilakukan
oleh siapa saja namun tidak bagi saya.
Ternyata saya masih sendiri –masih seperti dahulu– meski
yang lain sudah berteman banyak. Mungkin karena saya masih belum paham yang mana
batas teman sejati, teman biasa, teman temanan. Saya bukan tipe yang mencoba
memiliki ketiganya, hanya berusaha menjadi ketiganya.
Ternyata saya masih kesepian, meski yang lain sudah tertawa
dan berangkul ria menapaki pantai dalam langit senja. Mungkin karena saya
takut, bahwa untuk tertawa dan berangkul saja harus dipandang seperempat mata.
Ternyata saya masih seperti dahulu, meski telah mencoba berjalan
beriringan, ternyata langkah kaki mereka tidak pernah ingin berjajaran dengan
langkah kaki saya. Adakah yang salah?
***
Kalau kemarin kamu tertawa ria bersama mereka, apakah hari
ini hal seperti itu akan kembali terjadi? Banyak yang bilang, sehebat apapun
kamu dalam beberapa waktu namun ketika dalam suatu waktu kamu jatuh terhempas
dari kehebatan itu, beberapa temanmu atau semuanya akan pergi meninggalkanmu. Sulit
melihat mereka yang seutuhnya seperti dahulu, menggenggam tanganmu, tertawa
bersamamu, bergandengan tangan melewati senja yang indah sambil menikmati
secangkir teh panas bersamamu, atau bahkan setidaknya memberi sebuah senyuman
yang tulus untukmu. Tidak banyak orang-orang yang bisa kamu harapkan ketika
kamu melewati masa sulit. Sebagian karena memang mereka peduli kepadamu,
sebagian karena mereka kasihan melihatmu, sebagian lagi karena mereka mulai
berpikir ‘siapa aku dan siapa kamu? Kenapa harus aku?’.
Proses hidup, melewati sisa waktu dengan merasa kehilangan
pun tersakiti. Seberat meletakkan besi berton-ton pada pundakmu, lemah. Lantas,
kemana tangan-tangan yang dahulu selalu berpegang erat dalam setiap
kebahagiaan? Dimana tawa-tawa hangat yang dahulu menjadi detik-detik jarum jam
dalam puing hidupmu yang sekarang tiada bersisa?
Faktanya, ketika kamu mencoba merangkul mereka kembali, bukan
senyum hangat yang bisa kamu terima, melainkan tepisan tangan-tangan yang
dahulu pernah terasa begitu hangat dalam setiap hembusan nafasmu. Seburuk itukah?
Lantas siapa yang lebih dahulu berjanji untuk terus berteman selamanya dan
siapa yang lebih dahulu mengingkari janji-janji yang pernah terlihat semanis
madu tersebut? Siapa yang lebih dahulu membentang jarak?
Dan siapa yang lebih dahulu merasa sakit?
Haruskah kasih sayang berubah menjadi sebuah kebencian? Kenapa harus saling menyayangi kalau pada
akhirnya harus saling membenci?
Kalau nanti sampai aku masih kesepian dalam luka dan
kebahagian, biarlah kesepian ini tetap ada.
Karena mungkin kesepian lebih baik dari pada mereka
yang masih terlihat seperti dahulu –ada, namun tetap tidak bisa merangkulku
seperti merangkul lainnya.
PS :
Mungkin karena aku
berbeda jadi puzzle kita tidak akan
pernah cocok.
No comments:
Post a Comment