“Cinta itu remang,
memang. Terkadang hanya angan-angan.” - K
Aku hampir lupa
Pernah dan mungkin bahkan sedang menunggunya.
Lama, sudah lama memang. Tapi ku akui, aku masih menunggunya.
Sebab, aku rasa aku bisa menunggunya, meski telah selama ini, dan selama yang
tak ku tau.
Seperti yang sudah sudah. Aku kerap memandangi fotonya. Sambil
menerka nerka, tipe tawa seperti apa lagi yang akan muncul dari bibirnya.
Senyum secerah apa lagi yang sebanding dengan Mentari. Lalu aku akan memasang
senyum terbaik yang ku punya hari itu.
Oh iya, kau ingat, pernah berkata padaku bahwa senyum itu
abadi.
Kau benar, senyumnya abadi. Ada atau tanpa dirinya di hadapan
ku, bahkan dalam secarik foto pun, senyumnya benar benar abadi.
Lihat, Cinta memang se-remang itu.
Kau tau? dalam diamku, namanya tetap terucap. Padahal tumpukan
deadline terus berseliweran disudut kepala. Namun, sepenggal namanya seakan
terus hidup tanpa pernah ku minta. Kau tau, cinta seharusnya tak perlu serumit
itu. Ia hanya perlu disederhanakan. Seperti bahagiamu. Cinta seharusnya juga
tak perlu membuatmu lelah. Ia justru menguatkan. Seperti semangatmu.
Aku mulai menerka-nerka. Apa ini terlalu berlebihan? Seakan
inderaku tertutup oleh rasa.
Kau bertanya padaku, jika diam-diam seperti ini apa aku akan
tetap memenangkan hatinya kelak?
Aku diam sejenak.
Pertanyaanmu mengusik imajinasiku tentang tawamu, seakan berubah
dingin.
Aku seakan menjadi seorang pencuri. Yang mengendap endap, diam,
tak ingin ketahuan.
Seharusnya aku tak perlu menjadi seorang pencuri. Seperti
katamu, terus terang saja.
Meski kelu, remang akan berubah terang.
Seandainya kamu tau, bahwa dia adalah kamu, dirimu sendiri.
Seharusnya aku tak lagi perlu cemas.
Meskipun cinta itu remang, yang penting ia tetap punya
cahaya, untuk menyinari cintanya.
No comments:
Post a Comment