Sunday, April 5, 2015

Yang Ku Rindu (Part 1)



Ku hirup aroma dedaunan pada pohon di sekeliling rumah. Semakin tua, namun begitu asri. Kutatap pohon sawo yang semakin menjulang tinggi ke atas. Dahulu, ketika tapak kaki kecilku begitu sering melangkah ria di halaman rumah ini, pohon sawo itu masih kalah tinggi dari ku. Sering ku temukan rumah-rumah semut pada daun-daunnya yang tua, lalu ku congkel satu persatu merobohkan rumah semut itu. Ya, begitu jahat dan jahil dahulu.

Kemudian tatapan ku beralih pada rumput-rumput yang tumbuh panjang di sekitar pohon. Rasanya halaman rumah ini sudah seperti hutan kecil, semak oleh rumput. Bayanganku beralih pada masa kecilku. Ketika minggu pagi tiba, aku bersama kakak pasti sudah menghiasi tapak kaki pada halaman ini. Menyiram bunga pada pot-pot dan sekotak tanah yang ditemboki dekat rumah. Di situ terdapat bunga dengan warna-warna yang begitu indah. Setiap pagi kuncup-kuncupnya akan terbuka dipanggil oleh sang mentari, kemudian mahkotanya yang kecil akan bertengger cantik di atas kelopak,  mencoba mekar dengan sempurna. Jika bunganya belum juga mekar dengan sempurna, dengan semangat percaya diri yang luar biasa, aku akan membantunya bermekaran. Membuka satu persatu mahkota bunga tersebut hingga bermekaran. Ya, aku memang sungguh baik, dahulu, sering  membantu bunga bermekaran. Ketika petang datang, dan matahari ingin beristirahat sejenak bunga-bunga itu akan layu, meninggalkan ku dengan raut wajah kecewa. Tetapi ketika esok pagi tiba, ia akan membuatku tersenyum lagi. Ia kembali bermekaran indah dengan sempurna.

Minggu pagi selalu jadi hari ‘keluarga’  buat kami. Biasanya setelah menyiram bunga dan juga pohon-pohon yang ditanami ayah, aku dan kakak akan duduk di semak-semak rumput yang mulai panjang, kemudian kami mulai mengakhiri hidup mereka satu persatu. Ya, saat itu kami memang suka berperilaku jahat, mencabut rumput-rumput yang sudah menghiasi rumah dengan begitu indah –menurut sisi kehidupan rumput. Aku sering terjatuh, kalah kuat bertengkar hebat dengan rumput-rumput itu. Ternyata, mengakhiri kehidupan rumput-rumput yang tumbuh besar dan kokoh tidak semudah rumput-rumput kecil yang masih terlihat polos namun begitu mudah berkembang biak. Namun, aku tidak pernah menyerah, begitupun kakak. Dengan penuh keributan kami akan saling berdebat. “Rumput itu saja tidak bisa dicabut” ejek kami satu sama lain. Ditengah perdebatan dan saling berlomba siapa lebih dahulu mencabut rumput terbanyak, perlahan langkah kaki nenek menuju ke arah kami membawa sebuah kursi kecil dan pisau untuk memotong rumput. Aku dan kakak diam, kembali mencabut rumput dengan khidmat, begitu saja.

Tangan nenek sudah keriput, umurnya sudah cukup tua saat itu. Oya, aku suka sekali bermain-main dengan kulit tangan nenek. Mencubit sedikit bagian kulit pada tapak atas tangannya, kemudian memperhatikan kulit tersebut perlahan turun menempel pada bagian daging dan tulang kembali. Berulang-ulang aku melakukannya kemudian tertawa bersama nenek. Nenek tidak pernah marah padaku ketika aku sering bermain dengan kulit tangannya. Nenek begitu baik padaku, aku sayang nenek.

Meskipun terlihat keriput seperti itu dan mungkin terkesan tidak kuat lagi, nenek masih begitu kuat. Buktinya ia masih mampu duduk selama satu jam bersama aku dan kakak, mencabut rumput-rumput nakal di halaman rumah. Hasilnya rumput nenek masih kalah jauh banyak dari aku dan kakak, tetapi nenek tetap begitu semangat mencabut rumput liar itu, supaya halaman rumah tidak terlihat seperti hutan. Nenek suka menyemangatiku untuk menanam bunga. Koleksi bungaku (kami) bertambah hampir setiap minggunya. Kata nenek, biar rumahnya hidup karena ada anak gadis yang merawat bunga. Aku hanya tertawa, karena umurku masih begitu terbilang tidak remaja saat itu.

Kini hamparan kenangan itu hanya terlintas perlahan dalam kepalaku. Sedikit demi sedikit memutar bagian-bagian manis bersama nenek ketika aku kecil dulu. Tiba-tiba senyum nenek yang mekar berhenti di kepalaku cukup lama. Sebelum pulang ke rumah (dulu aku, kakak, mamak dan bapak memang tinggal serumah dengan nenek, tetapi sekarang tidak lagi) aku berpamitan pada nenek. Ku cium dahinya yang begitu ku rindukan saat ini. Aroma minyak rambut dan kulit nenek yang sudah tua memenuhi hidungku. Ku cium kembali dahinya, kali ini sedikit lebih lama. Perlahan ku peluk nenek, ku kecup pipi kanan dan kiri nenek. Nenek sedikit enggan, malu dicium oleh cucunya. Tetapi aku tidak peduli, ku peluk erat lagi nenek. Hingga nenek tertawa dan mengatakan “Sudah, pulanglah. Main-main lagi ke rumah nenek.” Kemudian kami tertawa. Ya, aku begitu sayang pada nenek. Aku begitu merindukan nenek.

To be continued

No comments:

Post a Comment