Ku
hirup aroma dedaunan pada pohon di sekeliling rumah. Semakin tua, namun begitu
asri. Kutatap pohon sawo yang semakin menjulang tinggi ke atas. Dahulu, ketika
tapak kaki kecilku begitu sering melangkah ria di halaman rumah ini, pohon sawo
itu masih kalah tinggi dari ku. Sering ku temukan rumah-rumah semut pada
daun-daunnya yang tua, lalu ku congkel satu persatu merobohkan rumah semut itu.
Ya, begitu jahat dan jahil dahulu.
Kemudian
tatapan ku beralih pada rumput-rumput yang tumbuh panjang di sekitar pohon.
Rasanya halaman rumah ini sudah seperti hutan kecil, semak oleh rumput.
Bayanganku beralih pada masa kecilku. Ketika minggu pagi tiba, aku bersama
kakak pasti sudah menghiasi tapak kaki pada halaman ini. Menyiram bunga pada
pot-pot dan sekotak tanah yang ditemboki dekat rumah. Di situ terdapat bunga dengan
warna-warna yang begitu indah. Setiap pagi kuncup-kuncupnya akan terbuka
dipanggil oleh sang mentari, kemudian mahkotanya yang kecil akan bertengger
cantik di atas kelopak, mencoba mekar dengan
sempurna. Jika bunganya belum juga mekar dengan sempurna, dengan semangat
percaya diri yang luar biasa, aku akan membantunya bermekaran. Membuka satu
persatu mahkota bunga tersebut hingga bermekaran. Ya, aku memang sungguh baik,
dahulu, sering membantu bunga
bermekaran. Ketika petang datang, dan matahari ingin beristirahat sejenak
bunga-bunga itu akan layu, meninggalkan ku dengan raut wajah kecewa. Tetapi ketika
esok pagi tiba, ia akan membuatku tersenyum lagi. Ia kembali bermekaran indah
dengan sempurna.
Minggu
pagi selalu jadi hari ‘keluarga’ buat
kami. Biasanya setelah menyiram bunga dan juga pohon-pohon yang ditanami ayah, aku
dan kakak akan duduk di semak-semak rumput yang mulai panjang, kemudian kami mulai
mengakhiri hidup mereka satu persatu. Ya, saat itu kami memang suka berperilaku
jahat, mencabut rumput-rumput yang sudah menghiasi rumah dengan begitu indah –menurut
sisi kehidupan rumput. Aku sering terjatuh, kalah kuat bertengkar hebat dengan
rumput-rumput itu. Ternyata, mengakhiri kehidupan rumput-rumput yang tumbuh
besar dan kokoh tidak semudah rumput-rumput kecil yang masih terlihat polos
namun begitu mudah berkembang biak. Namun, aku tidak pernah menyerah, begitupun
kakak. Dengan penuh keributan kami akan saling berdebat. “Rumput itu saja tidak bisa
dicabut” ejek kami satu sama lain. Ditengah perdebatan dan saling berlomba
siapa lebih dahulu mencabut rumput terbanyak, perlahan langkah kaki nenek
menuju ke arah kami membawa sebuah kursi kecil dan pisau untuk memotong rumput.
Aku dan kakak diam, kembali mencabut rumput dengan khidmat, begitu saja.
Tangan
nenek sudah keriput, umurnya sudah cukup tua saat itu. Oya, aku suka sekali
bermain-main dengan kulit tangan nenek. Mencubit sedikit bagian kulit pada
tapak atas tangannya, kemudian memperhatikan kulit tersebut perlahan turun
menempel pada bagian daging dan tulang kembali. Berulang-ulang aku melakukannya
kemudian tertawa bersama nenek. Nenek tidak pernah marah padaku ketika aku
sering bermain dengan kulit tangannya. Nenek begitu baik padaku, aku sayang
nenek.
Meskipun
terlihat keriput seperti itu dan mungkin terkesan tidak kuat lagi, nenek masih
begitu kuat. Buktinya ia masih mampu duduk selama satu jam bersama aku dan
kakak, mencabut rumput-rumput nakal di halaman rumah. Hasilnya rumput nenek
masih kalah jauh banyak dari aku dan kakak, tetapi nenek tetap begitu semangat
mencabut rumput liar itu, supaya halaman rumah tidak terlihat seperti hutan.
Nenek suka menyemangatiku untuk menanam bunga. Koleksi bungaku (kami) bertambah
hampir setiap minggunya. Kata nenek, biar rumahnya hidup karena ada anak gadis
yang merawat bunga. Aku hanya tertawa, karena umurku masih begitu terbilang
tidak remaja saat itu.
Kini
hamparan kenangan itu hanya terlintas perlahan dalam kepalaku. Sedikit demi
sedikit memutar bagian-bagian manis bersama nenek ketika aku kecil dulu.
Tiba-tiba senyum nenek yang mekar berhenti di kepalaku cukup lama. Sebelum
pulang ke rumah (dulu aku, kakak, mamak dan bapak memang tinggal serumah dengan
nenek, tetapi sekarang tidak lagi) aku berpamitan pada nenek. Ku cium dahinya
yang begitu ku rindukan saat ini. Aroma minyak rambut dan kulit nenek yang
sudah tua memenuhi hidungku. Ku cium kembali dahinya, kali ini sedikit lebih
lama. Perlahan ku peluk nenek, ku kecup pipi kanan dan kiri nenek. Nenek
sedikit enggan, malu dicium oleh cucunya. Tetapi aku tidak peduli, ku peluk
erat lagi nenek. Hingga nenek tertawa dan mengatakan “Sudah, pulanglah.
Main-main lagi ke rumah nenek.” Kemudian kami tertawa. Ya, aku begitu sayang
pada nenek. Aku begitu merindukan nenek.
To be
continued
No comments:
Post a Comment