Aku memegang kepala sambil sedikit memijat
mijatnya. Kepalaku benar benar sakit dan sungguh kacau. Mataku masih sedikit
buram dan pandanganpun sedikit kabur. Setelah berusaha membuka mata dan
melebarkannya, tampak gorden warna hijau soft
bergantungan dan tersibak oleh angin. ‘Kamarku’
gumamku sambil melihat lihat seluruh keadaan ruangan. Tiba tiba mataku
terhenti pada sosok tubuh tinggi tegak yang sedang duduk di kursi belajarku
sambil melihat lihat tulisan pada mading kecil yang tertempel di depannya. Meski
hanya melihat punggungnya dari belakang aku sudah sangat mengenal postur tubuh
itu.
‘Dimas, kenapa ia bisa berada disitu,
dikamarku?’ aku berusaha bangkit dari posisi tidur untuk duduk, beberapa
suara kecil yang berasal dari tempat tidur membuat ia menoleh ke arahku. Aku
menatapnya.
“Hei, sudah bangun. Bagaimana keadaanmu?” ia
segera bangkit dari kursi dan mendekat ke arahku.
“Apa yang terjadi?” Tanyaku menatapnya sambil
memegang kepala dan menahan rasa berat yang terus menjalar diseluruh kepala.
“Masih pusing ya? Tadi sebelumnya mama kamu
di sini kemudian keluar, katanya ingin membuatkan bubur untukmu.” Jelasnya kemudian
tersenyum. Senyumnya menghangatkan kepalaku, seperti rasa berat yang menjalar
di kepala perlahan-lahan memudar.
“Oh iya, tadi kita di rumah sakit.” Ingatanku
mulai membaik. “Deris.” aku sedikit bergumam.
“Jangan terlalu memikirkannya, kamu istirahat
dulu. Sejak tadi kelelahan dan banyak pikiran, jadi pingsan sebelum kita pulang
dari rumah sakit.” Jelasnya sambil melihatku prihatin.
Aku sedikit mengerutkan alis dan menatapnya
dengan tatapan sedikit sinis. “Apa maksudmu jangan terlalu memikirkannya?”
“Jangan salah paham Rena. Aku tidak bermaksud
untuk menyuruhmu…” ia berhenti berbicara dan terlihat seperti sedang berpikir
“Sudahlah, lupakan. Maafkan aku.” Sambungnya kembali sambil menundukkan
pandangan kebawah. Aku terdiam begitu pun dirinya.
Tidak lama setelah itu mama masuk sambil
membawa dua mangkuk bubur yang mengapul asap di atasnya karena panas dan dua
gelas air. Mama duduk di sampingku dan meletakkan bubur beserta air tersebut di
meja kecil tepat di samping tempat tidur.
“Bagaimana sayang, sudah baikan kepalamu?”
Tanya mama sambil mencium keningku dan tersenyum.
“Sudah lumayan, Ma.” Jawabku sambil membalas
senyumnya. “Mama membuatkanku bubur ya, bubur apa?” Tanyaku sambil mencoba
mengintip ke dalam mangkuk bubur tersebut.
“Bubur kacang hijau, kesukaanmu.” Jawab mama.
“Dimakan ya. Kata Dimas kamu belum makan siang sejak tadi Ren, dan sekarang
sudah sore.”
“Iya, Ma. Makasih. Sebentar lagi aku makan
kok.” Sahutku tersenyum dan berusaha tetap terlihat tenang dihadapan Mama,
seakan akan tidak ada sesuatu yang mengganjal antara aku dan Dimas dengan apa
yang barusan terjadi.
“Kalau begitu, mama keluar lagi. Mama ingin
menyiapkan makanan untuk makan malam nanti.” Kata mama beranjak bangkit dari
duduknya. “Dimas, Ibu juga membawakan bubur untuk kamu. Dimakan ya, Nak” kata
mama setelah bangkit dan menatap Dimas kemudian tersenyum padanya.
“Iya, Bu. Terima kasih banyak.” Jawab dimas.
Dan mamapun berlalu keluar dari kamar.
Beberapa detik kami berdua terdiam. Kemudian
Dimas mulai mencairkan suasana.
“Mau makan buburnya sekarang? Kalau sudah
dingin tidak enak lagi.” Tawar Dimas. Dia selalu bisa membawa suasana, dan
bodohnya aku selalu terbawa suasana yang ia ciptakan.
“Boleh.” Aku mengangguk kecil dan menatap
kepulan asap yang sedikit mulai menghilang. Dimas mengambil semangkuk bubur kemudian
memberikannya padaku. Aku menyambutnya dan mengucapkan ‘terimakasih’ padanya.
Sudah ku katakan. Dimas pandai membawa
suasana. Ia pandai membuat sesuatu terlihat nyaman dan mengasikkan. Sambil
memakan bubur kacang hijau buatan mama suap demi suap, Dimas menceritakan
latihan basketnya hari ini. Akupun begitu antusias mendengarkannya. Rasanya
sudah sangat lama tidak berbicara seperti ini lagi dengan Dimas, mendengar
ceritanya tentang basket, segalanya.
“… Iya, jadi kata pelatihnya turnamen diundur
dua bulan lagi karena ada beberapa masalah. Untung juga, karena kami bisa
mempersiapkan latihan lebih lama untuk target utama. Kali ini, sekolah kita
harus menang lagi, supaya mendapat penghargaan dari Dinas Olahraga atas
kemenangan secara berturut turut selama 5 periode.” Ceritanya penuh semangat
seperti biasanya ketika ia bercerita tentang basket. Sudah lama juga aku tidak
pernah menontonnya bermain basket kembali. Duduk manis menunggunya di sisi
lapangan hingga selesai bermain basket, ataupun bersorak sorak penuh semangat
menyemangatinya selama latihan.
Bubur dimangkukku sudah habis tak bersisa.
Aku pun meletakkannya di meja dan mengambil segelas air kemudian meneguknya.
Kepalaku benar-benar sudah pulih sekarang, tidak ada lagi rasa berat ataupun seperti
pukulan nyeri yang sejak tadi menjalar di seluruh kepala.
“Ren, aku tidak tau harus mengatakannya
seperti apa lagi.” Tiba-tiba Dimas menatapku dalam dan ada raut kesedihan dan
terbaca dari sudut matanya yang memancarkan keresahan. Aku mulai salah tingkah dan
tertunduk. Aku bisa membaca arah percakapan ini akan kemana.
***
Itu
sore yang indah, ketika matahari mulai beranjak masuk ke dalam rumahnya
beristirahat membenamkan diri. Sisa-sisa sinarnya seperti melodi dalam piano
yang bergerak mencari tuts-tuts yang lebih indah. Itu juga sore yang indah,
ketika kepakan sayap-sayap burung melingkarkan langit senja mencari malam.
Ketika mereka menciptakan suara pergerakan yang kompak bersama sama mencari
arah jarum pulang, pulang ke tempat yang mereka rasa nyaman. Namun, itu juga
sore yang berakhir sakit, sore dengan segala hal yang ingin dilupakan, ingin
dikubur sebagai kenangan yang pahit tanpa sisa.
“Aku
sayang kamu Ren, bukan hanya sebagai seorang sahabat, tetapi lebih dari itu.
Kamu seperti senja ini, memberi warna indah dalam hidup aku. Semangat kamu yang
selalu bisa bikin aku bangkit dalam setiap turnamen basket. Aku sayang kamu
Ren.” Ucap Dimas ketika kami sedang duduk di kursi taman kota menghadap kolam
ikan sambil melihat sunset. Ucapannya begitu lancar dan penuh khidmat. Aku
terdiam tanpa bisa berkata apa apa, bahkan untuk menatap kedua bola matanya
saja seperti mengangkat beban ratusan kilo. Ada sesuatu yang mengganjal dibenakku.
Seperti antara mengangguk dan menggeleng. Karena jauh di lubuk hati yang paling
dalam sana, ada suka yang tersirat hendak mengepakkan sayap, mencari jauh lebih
dalam perihal cinta. Namun di sisi lain, ada benang halus berujungkan jarum
tajam yang hendak menyayat ketika aku tersadar dan mengingat ucapan Deris
beberapa hari lalu ketika bercerita padaku. Deris, sahabatku jatuh cinta pada
Dimas, sahabatnya sendiri, sahabatku.
“Entah
bagaimana aku harus mengatakannya Ren, perasaan itu ada. Cinta, muncul secara
tiba-tiba tanpa aku sadar, tanpa pernah aku memilah bahwa kamu adalah sahabatku
sendiri.” Tak lama setelah Dimas mengucapkan kata tersebut, terdengar suara
botol minuman terjatuh dari belakang kursi yang kami duduki. Aku segera
memalingkan tubuh mengarah kebelakang, dan ternyata sore itu benar-benar sore
terburuk yang selalu ingin kukubur kenangannya rapat-rapat. Sosok tubuh Deris
berdiri gemetaran di belakang kursi sambil menatapku dan Dimas, entah itu
tatapan marah kesal benci ataupun luka, yang pasti itu bukan hanya sekedar
tatapan matahari yang menghilang dengan sinarnya dibalik barat, tetapi tatapan
malam yang gelap kelam dan penuh amarah. Deris berlari kencang tanpa pernah
memalingkan kembali wajahnya ke belakang meskipun aku telah berteriak memanggil-manggil
namanya dan berusaha mengejarnya. Dan semenjak itu, sore dan sunset-nya begitu
tampak kelabu dan kelam dimataku.
***
“Aku benar benar sayang kamu Ren.” Akhirnya
kata itu keluar dari mulutnya, kembali. Aku mematung diri menatap jendela dan
langit sorenya yang kembali kelam sekelam sore dahulu.
“Tapi aku sudah pernah bilangkan sama kamu,
semua tidak ada artinya. Kita adalah sahabat. Kalau kamu sayang ya sayangnya sahabat,
jangan membuatnya menjadi dramatis.”
“Siapa yang dramatis? Aku sungguh-sungguh
Ren.”
“Bagaimana dengan Deris, apa kamu tau rasanya
menjadi Deris. Sudah aku katakan padamu, Deris menyukaimu. Tidak mungkin dan
tidak boleh ada cinta segitiga di antara persahabatan kita!” aku sedikit
meninggikan suara, lupa mengontrol emosi.
“Kamu memikirkan perasaan Deris? Apa kamu
pernah memikirkan perasaan aku?” suaranya melemah dan tak tampak lagi raut
wajahnya. Ia benar benar menenggelamkan seluruh wajahnya, menatap lantai yang
tak kunjung bergeming. Aku terdiam, benar benar terdiam kali ini.
“Maafkan aku, tetapi aku lebih memilih
persahabatan kita. Karena cinta yang hadir dengan suatu hubungan persahabatan
yang retak tidak akan pernah menjadi sesuatu yang berarti.” Aku menepuk pundak Dimas,
mencoba memahaminya dan berharap ia juga memahamiku.
Hampir setengah jam kami berdiam tanpa
berkata sepatah katapun, hanya saling menatap dalam diam kemudian berusaha
mencari jawaban dibalik sinar mata masing masing.
“Aku mengerti. Maafkan aku.” Akhirnya kata
itu keluar dari mulutnya setelah kami berdua terdiam cukup lama. Aku menatapnya
berharap ia juga menatapku. “Kamu benar, kita berawal dari sahabat dan juga
akan terus selamanya menjadi sahabat.” Mata kami bertemu, ada sinar kesedihan
dari bola matanya, tetapi sinar ketegaran dan kebahagiaan mulai terbit sedikit
demi sedikit dari pelupuk matanya menggantikan kesedihan itu. Ia mulai
mengerti.
Hari berikutnya, aku bersama Dimas pergi
kerumah sakit menjenguk Deris. Keadaannya sudah membaik, dan besok lusa ia sudah
bisa dirawat di rumah kata dokternya. Aku dan dimas sudah memutuskan untuk
menjelaskan semua permasalah yang terjadi di antara kami selama ini. Meskipun
terbesit rasa ragu karena takut Deris tidak akan memberi kami kesempatan dan mengacuhkan
penjelasan kami, aku bersama Dimas tetap nekad menjelaskan semuanya demi
persahabatan kami.
Tuhan memberi jalan terang bagi kami,
persahabatan kami. Deris dapat mengerti semua penjelasan kami dan bisa
menerimanya.
“Aku minta maaf, terutama sama kamu Ren,”
ucap Deris dengan wajah yang terlihat masih sedikit pucat menatapku. “Karena
beberapa waktu ini, aku tau hubungan kita sama sekali tidak baik, aku tidak
pernah mau berbicara padamu lagi semenjak kejadian itu. Aku hanya berpikir
bahwa kamu mengkhianati sahabatmu sendiri, aku kecewa. Tetapi, akhirnya aku
sadar dan aku setuju dengan mu. Sahabat buat kita terlalu berarti dan sangat
disayangkan jika persahabatan kita runtuh karena ada konflik cinta di dalamnya.”
Mendengar kata kata Deris membuatku
langsung memeluknya erat dengan penuh kasih sayang.
“Aku juga mau dipeluk dong.” Gurau Dimas iri
melihat kami berdua berpelukan kemudian menyunggingkan bibirnya kedepan.
“Enak saja, kamu peluk tembok saja sana.”
Balasku sambil mengejeknya.
“Hmm buat kamu juga Dimas. Maafin aku ya,
lancang jatuh cinta pada mu, sahabatku sendiri.” Sambung Deris setelah melepas
pelukan kami berdua.
“It’s
oke. Persahabatan jauh lebih penting dari pada cinta. Karena di dalam
persahabatan pasti ada cinta, cintanya sahabat.” Balas Dimas dengan mantap
kemudian kami saling bertatapan dan tertawa bersama. Sore itu terlihat kembali
indah. Kami bersama-sama kembali menanti sang sunset yang segera tersenyum bahagia menyambut persabatan kami yang
kembali terjalin dan akan begitu seterusnya. Tidak ada lagi bahasa canggung
ataupun salah tingkah yang selama ini terjadi diantara kami. Karena bagaimanapun,
kami tetap saling memahami, mendukung, menyayangi dan saling menjaga
persahabatan ini.
No comments:
Post a Comment