Thursday, May 15, 2014

Berbagi Hati (Part 2)



Aku memegang kepala sambil sedikit memijat mijatnya. Kepalaku benar benar sakit dan sungguh kacau. Mataku masih sedikit buram dan pandanganpun sedikit kabur. Setelah berusaha membuka mata dan melebarkannya, tampak gorden warna hijau soft bergantungan dan tersibak oleh angin. ‘Kamarku’ gumamku sambil melihat lihat seluruh keadaan ruangan. Tiba tiba mataku terhenti pada sosok tubuh tinggi tegak yang sedang duduk di kursi belajarku sambil melihat lihat tulisan pada mading kecil yang tertempel di depannya. Meski hanya melihat punggungnya dari belakang aku sudah sangat mengenal postur tubuh itu.
 Dimas, kenapa ia bisa berada disitu, dikamarku?’ aku berusaha bangkit dari posisi tidur untuk duduk, beberapa suara kecil yang berasal dari tempat tidur membuat ia menoleh ke arahku. Aku menatapnya.

“Hei, sudah bangun. Bagaimana keadaanmu?” ia segera bangkit dari kursi dan mendekat ke arahku.
“Apa yang terjadi?” Tanyaku menatapnya sambil memegang kepala dan menahan rasa berat yang terus menjalar diseluruh kepala.
“Masih pusing ya? Tadi sebelumnya mama kamu di sini kemudian keluar, katanya ingin membuatkan bubur untukmu.” Jelasnya kemudian tersenyum. Senyumnya menghangatkan kepalaku, seperti rasa berat yang menjalar di kepala perlahan-lahan memudar.
“Oh iya, tadi kita di rumah sakit.” Ingatanku mulai membaik. “Deris.” aku sedikit bergumam.
“Jangan terlalu memikirkannya, kamu istirahat dulu. Sejak tadi kelelahan dan banyak pikiran, jadi pingsan sebelum kita pulang dari rumah sakit.” Jelasnya sambil melihatku prihatin.
Aku sedikit mengerutkan alis dan menatapnya dengan tatapan sedikit sinis. “Apa maksudmu jangan terlalu memikirkannya?”
“Jangan salah paham Rena. Aku tidak bermaksud untuk menyuruhmu…” ia berhenti berbicara dan terlihat seperti sedang berpikir “Sudahlah, lupakan. Maafkan aku.” Sambungnya kembali sambil menundukkan pandangan kebawah. Aku terdiam begitu pun dirinya.

Tidak lama setelah itu mama masuk sambil membawa dua mangkuk bubur yang mengapul asap di atasnya karena panas dan dua gelas air. Mama duduk di sampingku dan meletakkan bubur beserta air tersebut di meja kecil tepat di samping tempat tidur.
“Bagaimana sayang, sudah baikan kepalamu?” Tanya mama sambil mencium keningku dan tersenyum.
“Sudah lumayan, Ma.” Jawabku sambil membalas senyumnya. “Mama membuatkanku bubur ya, bubur apa?” Tanyaku sambil mencoba mengintip ke dalam mangkuk bubur tersebut.
“Bubur kacang hijau, kesukaanmu.” Jawab mama. “Dimakan ya. Kata Dimas kamu belum makan siang sejak tadi Ren, dan sekarang sudah sore.”
“Iya, Ma. Makasih. Sebentar lagi aku makan kok.” Sahutku tersenyum dan berusaha tetap terlihat tenang dihadapan Mama, seakan akan tidak ada sesuatu yang mengganjal antara aku dan Dimas dengan apa yang barusan terjadi.
“Kalau begitu, mama keluar lagi. Mama ingin menyiapkan makanan untuk makan malam nanti.” Kata mama beranjak bangkit dari duduknya. “Dimas, Ibu juga membawakan bubur untuk kamu. Dimakan ya, Nak” kata mama setelah bangkit dan menatap Dimas kemudian tersenyum padanya.
“Iya, Bu. Terima kasih banyak.” Jawab dimas. Dan mamapun berlalu keluar dari kamar.

Beberapa detik kami berdua terdiam. Kemudian Dimas mulai mencairkan suasana.
“Mau makan buburnya sekarang? Kalau sudah dingin tidak enak lagi.” Tawar Dimas. Dia selalu bisa membawa suasana, dan bodohnya aku selalu terbawa suasana yang ia ciptakan.
“Boleh.” Aku mengangguk kecil dan menatap kepulan asap yang sedikit mulai menghilang. Dimas mengambil semangkuk bubur kemudian memberikannya padaku. Aku menyambutnya dan mengucapkan ‘terimakasih’ padanya.

Sudah ku katakan. Dimas pandai membawa suasana. Ia pandai membuat sesuatu terlihat nyaman dan mengasikkan. Sambil memakan bubur kacang hijau buatan mama suap demi suap, Dimas menceritakan latihan basketnya hari ini. Akupun begitu antusias mendengarkannya. Rasanya sudah sangat lama tidak berbicara seperti ini lagi dengan Dimas, mendengar ceritanya tentang basket, segalanya.

“… Iya, jadi kata pelatihnya turnamen diundur dua bulan lagi karena ada beberapa masalah. Untung juga, karena kami bisa mempersiapkan latihan lebih lama untuk target utama. Kali ini, sekolah kita harus menang lagi, supaya mendapat penghargaan dari Dinas Olahraga atas kemenangan secara berturut turut selama 5 periode.” Ceritanya penuh semangat seperti biasanya ketika ia bercerita tentang basket. Sudah lama juga aku tidak pernah menontonnya bermain basket kembali. Duduk manis menunggunya di sisi lapangan hingga selesai bermain basket, ataupun bersorak sorak penuh semangat menyemangatinya selama latihan.

Bubur dimangkukku sudah habis tak bersisa. Aku pun meletakkannya di meja dan mengambil segelas air kemudian meneguknya. Kepalaku benar-benar sudah pulih sekarang, tidak ada lagi rasa berat ataupun seperti pukulan nyeri yang sejak tadi menjalar di seluruh kepala.

“Ren, aku tidak tau harus mengatakannya seperti apa lagi.” Tiba-tiba Dimas menatapku dalam dan ada raut kesedihan dan terbaca dari sudut matanya yang memancarkan keresahan. Aku mulai salah tingkah dan tertunduk. Aku bisa membaca arah percakapan ini akan kemana.

***

Itu sore yang indah, ketika matahari mulai beranjak masuk ke dalam rumahnya beristirahat membenamkan diri. Sisa-sisa sinarnya seperti melodi dalam piano yang bergerak mencari tuts-tuts yang lebih indah. Itu juga sore yang indah, ketika kepakan sayap-sayap burung melingkarkan langit senja mencari malam. Ketika mereka menciptakan suara pergerakan yang kompak bersama sama mencari arah jarum pulang, pulang ke tempat yang mereka rasa nyaman. Namun, itu juga sore yang berakhir sakit, sore dengan segala hal yang ingin dilupakan, ingin dikubur sebagai kenangan yang pahit tanpa sisa.

“Aku sayang kamu Ren, bukan hanya sebagai seorang sahabat, tetapi lebih dari itu. Kamu seperti senja ini, memberi warna indah dalam hidup aku. Semangat kamu yang selalu bisa bikin aku bangkit dalam setiap turnamen basket. Aku sayang kamu Ren.” Ucap Dimas ketika kami sedang duduk di kursi taman kota menghadap kolam ikan sambil melihat sunset. Ucapannya begitu lancar dan penuh khidmat. Aku terdiam tanpa bisa berkata apa apa, bahkan untuk menatap kedua bola matanya saja seperti mengangkat beban ratusan kilo. Ada sesuatu yang mengganjal dibenakku. Seperti antara mengangguk dan menggeleng. Karena jauh di lubuk hati yang paling dalam sana, ada suka yang tersirat hendak mengepakkan sayap, mencari jauh lebih dalam perihal cinta. Namun di sisi lain, ada benang halus berujungkan jarum tajam yang hendak menyayat ketika aku tersadar dan mengingat ucapan Deris beberapa hari lalu ketika bercerita padaku. Deris, sahabatku jatuh cinta pada Dimas, sahabatnya sendiri, sahabatku.

“Entah bagaimana aku harus mengatakannya Ren, perasaan itu ada. Cinta, muncul secara tiba-tiba tanpa aku sadar, tanpa pernah aku memilah bahwa kamu adalah sahabatku sendiri.” Tak lama setelah Dimas mengucapkan kata tersebut, terdengar suara botol minuman terjatuh dari belakang kursi yang kami duduki. Aku segera memalingkan tubuh mengarah kebelakang, dan ternyata sore itu benar-benar sore terburuk yang selalu ingin kukubur kenangannya rapat-rapat. Sosok tubuh Deris berdiri gemetaran di belakang kursi sambil menatapku dan Dimas, entah itu tatapan marah kesal benci ataupun luka, yang pasti itu bukan hanya sekedar tatapan matahari yang menghilang dengan sinarnya dibalik barat, tetapi tatapan malam yang gelap kelam dan penuh amarah. Deris berlari kencang tanpa pernah memalingkan kembali wajahnya ke belakang meskipun aku telah berteriak memanggil-manggil namanya dan berusaha mengejarnya. Dan semenjak itu, sore dan sunset-nya begitu tampak kelabu dan kelam dimataku.

***

“Aku benar benar sayang kamu Ren.” Akhirnya kata itu keluar dari mulutnya, kembali. Aku mematung diri menatap jendela dan langit sorenya yang kembali kelam sekelam sore dahulu.
“Tapi aku sudah pernah bilangkan sama kamu, semua tidak ada artinya. Kita adalah sahabat. Kalau kamu sayang ya sayangnya sahabat, jangan membuatnya menjadi dramatis.”
“Siapa yang dramatis? Aku sungguh-sungguh Ren.”
“Bagaimana dengan Deris, apa kamu tau rasanya menjadi Deris. Sudah aku katakan padamu, Deris menyukaimu. Tidak mungkin dan tidak boleh ada cinta segitiga di antara persahabatan kita!” aku sedikit meninggikan suara, lupa mengontrol emosi.
“Kamu memikirkan perasaan Deris? Apa kamu pernah memikirkan perasaan aku?” suaranya melemah dan tak tampak lagi raut wajahnya. Ia benar benar menenggelamkan seluruh wajahnya, menatap lantai yang tak kunjung bergeming. Aku terdiam, benar benar terdiam kali ini.
“Maafkan aku, tetapi aku lebih memilih persahabatan kita. Karena cinta yang hadir dengan suatu hubungan persahabatan yang retak tidak akan pernah menjadi sesuatu yang berarti.” Aku menepuk pundak Dimas, mencoba memahaminya dan berharap ia juga memahamiku.

Hampir setengah jam kami berdiam tanpa berkata sepatah katapun, hanya saling menatap dalam diam kemudian berusaha mencari jawaban dibalik sinar mata masing masing.
“Aku mengerti. Maafkan aku.” Akhirnya kata itu keluar dari mulutnya setelah kami berdua terdiam cukup lama. Aku menatapnya berharap ia juga menatapku. “Kamu benar, kita berawal dari sahabat dan juga akan terus selamanya menjadi sahabat.” Mata kami bertemu, ada sinar kesedihan dari bola matanya, tetapi sinar ketegaran dan kebahagiaan mulai terbit sedikit demi sedikit dari pelupuk matanya menggantikan kesedihan itu. Ia mulai mengerti.

Hari berikutnya, aku bersama Dimas pergi kerumah sakit menjenguk Deris. Keadaannya sudah membaik, dan besok lusa ia sudah bisa dirawat di rumah kata dokternya. Aku dan dimas sudah memutuskan untuk menjelaskan semua permasalah yang terjadi di antara kami selama ini. Meskipun terbesit rasa ragu karena takut Deris tidak akan memberi kami kesempatan dan mengacuhkan penjelasan kami, aku bersama Dimas tetap nekad menjelaskan semuanya demi persahabatan kami.

Tuhan memberi jalan terang bagi kami, persahabatan kami. Deris dapat mengerti semua penjelasan kami dan bisa menerimanya.
“Aku minta maaf, terutama sama kamu Ren,” ucap Deris dengan wajah yang terlihat masih sedikit pucat menatapku. “Karena beberapa waktu ini, aku tau hubungan kita sama sekali tidak baik, aku tidak pernah mau berbicara padamu lagi semenjak kejadian itu. Aku hanya berpikir bahwa kamu mengkhianati sahabatmu sendiri, aku kecewa. Tetapi, akhirnya aku sadar dan aku setuju dengan mu. Sahabat buat kita terlalu berarti dan sangat disayangkan jika persahabatan kita runtuh karena ada konflik cinta di dalamnya.” Mendengar kata kata  Deris membuatku langsung memeluknya erat dengan penuh kasih sayang.
“Aku juga mau dipeluk dong.” Gurau Dimas iri melihat kami berdua berpelukan kemudian menyunggingkan bibirnya kedepan.
“Enak saja, kamu peluk tembok saja sana.” Balasku sambil mengejeknya.
“Hmm buat kamu juga Dimas. Maafin aku ya, lancang jatuh cinta pada mu, sahabatku sendiri.” Sambung Deris setelah melepas pelukan kami berdua.
It’s oke. Persahabatan jauh lebih penting dari pada cinta. Karena di dalam persahabatan pasti ada cinta, cintanya sahabat.” Balas Dimas dengan mantap kemudian kami saling bertatapan dan tertawa bersama. Sore itu terlihat kembali indah. Kami bersama-sama kembali menanti sang sunset yang segera tersenyum bahagia menyambut persabatan kami yang kembali terjalin dan akan begitu seterusnya. Tidak ada lagi bahasa canggung ataupun salah tingkah yang selama ini terjadi diantara kami. Karena bagaimanapun, kami tetap saling memahami, mendukung, menyayangi dan saling menjaga persahabatan ini.

No comments:

Post a Comment