Wednesday, May 7, 2014

Berbagi Hati (Part 1)


Hujan diluar masih terdengar begitu deras meskipun tidak diselingi oleh petir yang saling menyambar. Aku terus berusaha menyentuh tombol-tombol pada iphone dengan tangan gemetar kemudian meletakkannya didekat telinga berharap seseorang yang dari tadi kuhubungi mengangkatnya.  Namun, tetap saja bunyi ‘tuuut tuuut…’ terus menghiasi speaker iphone tersebut. Aku bergumam dalam kegelisahan sambil mengetuk ngetukkan jemari pada dinding –tempat aku menyenderkan tubuh– berusaha memikirkan sesuatu. Akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali menekan tombol-tombol tersebut sambil kembali berharap. Tak lama kemudian terdengar suara seorang perempuan diseberang sana.

“Tara, tolong Tara, tolong. . .” nafasku masih tercekat, akhirnya Tara teman duduk kursi di sebelahku mengangkatnya. Aku berusaha mengatur aliran udara yang keluar masuk melalui hidungku. “Itu, Deris tabrakan. Kondisinya kritis dirumah sakit. Aku sudah mencoba menghubungi keluarganya tapi tidak ada yang angkat. Tolong. Aku sekarang lagi di rumah sakit.”
“Serius, Ren? Di rumah sakit mana? Aku akan menyusul mu kesana sekarang.” Sahut Tara tampak gelisah mendengar ucapanku barusan. Aku pun segera memberikan alamat rumah sakit tempat Deris sedang dirawat.

Sambungan telepon pun terputus. Aku kembali resah sambil mondar-mandir di sepanjang ruang tunggu IGD. Peristiwa tersebut kembali menghantui dibenakku. Motor yang melaju kencang dari arah utara menerobos lampu merah dengan begitu cepat. Dalam hitungan detik, Deris yang berada beberapa meter tepat di depanku –sedang menyeberang– terpental begitu jauh saat motor tersebut menabraknya. Darah mengalir begitu cepat dari telinga, hidung dan kepalanya. Kerumunan orang memenuhi jalan hingga membuat macet tepat dipersimpangan lampu merah kejadian tersebut. Beberapa polisi lalu lintas berusaha mengatasi kemacetan. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Deris yang pucat berlumuran darah sambil menangis berharap pelupuk matanya terbuka. Tak lama kemudian bunyi sirene ambulan mendekat. Tubuh Deris segera dibopong naik ke atas ambulan, dan aku ikut masuk kedalamnya.

Tiba tiba sebuah tangan menyentuh pundak ku. Aku terbangun dari lamunan yang cukup membuatku susah untuk berpikir apapun, kecuali Deris.
“Gimana kabar Deris?” Tanya sosok pria bertubuh tegap yang tadi menyentuh pundakku.
“Dia masih didalam ruang IGD.” Jawabku dengan suara yang masih lemas. “Kamu, kenapa bisa ada disini? Tau dari mana soal Deris?” Tanyaku sambil memandang sosok tubuh jangkungnya yang berdiri tepat di samping kananku. Aku sedang mengira-ngira, sejak tadi aku tidak meneleponnya.
Seolah olah menyadari kebingunganku saat itu ia langsung memberikan penjelasan. “Tadi Tara menghubungiku menceritakan soal kecelakaan Deris, ia menyuruhku untuk segera ke rumah sakit menemanimu. Katanya ia harus pergi ke rumah Deris memberitahukan kepada keluarganya.”. Ada perasaan lega yang menyentuh ubun ubunku, setidaknya aku tidak sendirian, pikirku.

Dimas, seorang atlit basket sekolah yang selama 2 tahun berturut turut menjadi pemain basket terbaik di sekolah SMU Pelita Bangsa, serta kapten tim basket yang selalu ikut serta dalam berbagai turnamen. Ia juga pernah menyandang status sebagai siswa berprestasi dikelasnya ketika kelas X. Jadi tidak heran banyak gadis gadis di sekolah itu kepincut olehnya, meski tampangnya tidak seganteng Afgan, sang romeo di sekolah tersebut, ataupun Aldo, anak seorang pengusaha terkenal yang sangat tajir. Dimas tetap masuk dalam urutan 10 besar cowok yang diminati alias ingin dijadikan pacar oleh gadis gadis disekolah tersebut.

“Hei, kamu sudah makan siang?” tiba-tiba suara dari sebelah kananku, Dimas, membuyarkan pikiranku yang sedang asik-asiknya bermain di alamnya sendiri.
“Eh, apa? Makan? Hmm belum. Lupa. Tadi tidak sempat” sahutku sedikit gugup dan terbata.
“Sudah jam 3 lebih, kamu tidak lapar?” Tanyanya kembali sambil menatapku dan memerhatikan gerak gerikku. Barangkali akan terdengar suara cacing-cacing besar dalam perutku berbunyi minta makan.
“Hmm yaa” aku sedikit berpikir. ‘Kriuuk…kriuuk’ dan tepat saat itu juga suara perutku berbunyi. “Aku lapar.” sahutku kemudian, dan tersenyum.
“Baiklah, kamu tunggu di sini. Aku akan mencari makanan di kantin rumah sakit ini.” Katanya sambil tersenyum padaku dan bergegas bangkit dari kursi tunggu yang sejak tadi kami duduki bersama. Aku balas tersenyum padanya sambil memandang punggungnya yang kemudian menghilang di balik tembok. Beberapa detik setelah itu aku menghela nafas panjang.

Setelah menunggu hampir 10 menit, Dimas muncul dengan membawa sekantung plastik berisi roti dan minuman. Kemudian ia duduk di sebelahku kembali dan menyodorkan plastik tersebut ke arahku. Aku memilih plastik kecil roti rasa mocca.
“Terimakasih.” kataku padanya dan menyodorkan kembali plastik itu padanya.
“Kembali.” sahutnya sambil tersenyum padaku. Kemudian ia mengambil roti berlapiskan krim keju dari dalam plastik tersebut. “Aku juga belum makan, jadi lapar” katanya setelah menggigit kecil bagian rotinya sambil menatapku dan sedikit tertawa kecil.
“Kamu belum makan juga. Kenapa?” Tanyaku kemudian menggigit roti yang sedang berada ditangan kananku.
“Tadi setelah pulang sekolah ada latihan basket. Karena terburu buru jadi aku latihan dulu. Sekitar jam 2 lewat baru pulang, niatnya mau makan, tetapi tiba tiba Tara menelfonku dan memintaku untuk segera kesini menemanimu.” Ceritanya. Tiba-tiba aku berhenti mengunyah roti yang sedang berada di dalam mulut, kemudian menatapnya dan betapa merasa tidak enaknya aku saat itu juga.
‘Tara, ngapain sih kamu telfon dia untuk kesini, jadi tidak enakkan aku sama dia’ gumamku dalam hati sambil mengutuk Tara si cewek cerewet yang telah menyuruh Dimas ke rumah sakit menemaniku. “Maaf ya jadi ngerepotin, Tara tidak bilang apa apa sama aku. Maaf ya.” Jelasku sambil menatapnya tidak enak kemudian sedikit menundukkan wajah berharap kata-kata ‘tidak apa apa’ keluar dari mulutnya dan sebersit senyum hangatnya yang dapat membuat rasa bersalahku memudar.
It’s oke. Aku senang bisa temanin kamu di sini kok.” Dan senyum hangatnya merekah saat itu juga setelah mengucapkan sepotong kalimat yang benar benar seperti harapanku. Aku jadi sedikit salah tingkah dan bingung harus melakukan apa. ‘sepertinya ia bisa membaca pikiranku’ gumamku kemudian tersenyum kecil dan berharap ia tidak melihatnya. ‘ia tidak berubah’.
“Terimakasih.” Aku kembali menggigit roti kecil berlapiskan mocca ditanganku sambil sedikit menganggukan padanya dengan kode melirikkan ujung mataku pada roti yang ia beli di kantin demi mengganjal perut kami yang sedang lapar.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kejadian tentang Deris, tabrak lari? Atau terserempet bus kota?” tanyanya setelah jeda beberapa saat. Aku pun menceritakan kejadian itu dari awal sampai akhir sambil sesekali menggigit roti dan mengunyahnya. Ia menyimaknya dengan seksama, sama sepertiku sambil mengunyah roti sekali-kali. Tidak lama setelah itu, keluarga Deris –Ibunya dan sang adik kecil yang ku kenal dengan nama Abrar– datang bersama Tara dan langsung menanyakan kejadian itu padaku. Dengan raut wajah yang kembali sedih aku pun menceritakan kejadian itu, rasa penyesalan kembali hadir mengalir bersama cerita tersebut. Aku merasa kesal dan marah pada diriku karena tidak sempat merengkuh dan menarik tubuh deris menghindari kecelakaan itu. Rasanya seperti membunuh jiwa sendiri, menarik ujung tombak dan menancapkannya pada ubun ubun.

Memori itu terkenang kembali. Wajah hangat Deris dan senyum khas dengan bibir atas yang sedikit melekuk begitu terhafal dalam ingatanku. Tawanya yang ceria juga kejahilannya dalam mengerjaiku begitu kental menjadi cairan pahit saat ini. Tawanya sedikit demi sedikit memudar hilang termakan oleh waktu dan keadaan. Tawa itu kini berubah, berubah menjadi sesuatu yang begitu menyakitkan.

Tiba tiba sebuah tangan menyentuh pundakku dan menyadarkanku dari lamunan.
“Jangan bengong di rumah sakit.” Kata Tara menatapku dengan raut wajah khawatir juga kasian.
“He-eh, iya.” Aku sedikit bergumam dan salah tingkah.
“Kamu kelelahan, sebaiknya pulang saja, Nak.” Suara parau dari sisi sebelah kananku, ibu Deris keluar begitu saja. Mungkin ia mendengar perkataan Tara barusan. “Sebentar lagi ayah Deris juga tiba di rumah sakit, sudah ada yang menemani Deris kok. Kamu istirahat saja, pulanglah, Nak. Kalian juga” Suara ibu Deris terdengar begitu pasrah dan sedih sambil menatap kami bertiga satu persatu. Ibu mana yang tidak akan bersedih jika anaknya terkena musibah. Setelah di pikir pikir dan sedikit berkompromi dengan Tara dan Dimas, mungkin memang sebaiknya kami pulang saja. Lagi pula Deris sudah ada keluarganya yang menemani. Dan mungkin juga dengan pulang aku bisa sedikit menenangkan pikiranku.
“Terima kasih, Bu. Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya.” Kataku kepada ibu Deris dan menyalami tangannya. Disusul dengan Tara kemudian Dimas.

Kamipun melangkahkan kaki perlahan melewati koridor rumah sakit. Kepalaku terus bekerja mengingat ingat kejadian tersebut, langkahku sedikit gontai dan melambai, tiba tiba seluruh badanku lemas dan pandangan tiba tiba saja buram dan kemudian gelap.

Continued

No comments:

Post a Comment