Hujan diluar masih terdengar begitu deras
meskipun tidak diselingi oleh petir yang saling menyambar. Aku terus berusaha
menyentuh tombol-tombol pada iphone
dengan tangan gemetar kemudian meletakkannya didekat telinga berharap seseorang
yang dari tadi kuhubungi mengangkatnya.
Namun, tetap saja bunyi ‘tuuut tuuut…’ terus menghiasi speaker iphone tersebut. Aku bergumam dalam kegelisahan sambil mengetuk
ngetukkan jemari pada dinding –tempat aku menyenderkan tubuh– berusaha memikirkan
sesuatu. Akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali menekan tombol-tombol
tersebut sambil kembali berharap. Tak lama kemudian terdengar suara seorang
perempuan diseberang sana.
“Tara, tolong Tara, tolong. . .” nafasku
masih tercekat, akhirnya Tara teman duduk kursi di sebelahku mengangkatnya. Aku
berusaha mengatur aliran udara yang keluar masuk melalui hidungku. “Itu, Deris tabrakan.
Kondisinya kritis dirumah sakit. Aku sudah mencoba menghubungi keluarganya tapi
tidak ada yang angkat. Tolong. Aku sekarang lagi di rumah sakit.”
“Serius, Ren? Di rumah sakit mana? Aku akan
menyusul mu kesana sekarang.” Sahut Tara tampak gelisah mendengar ucapanku
barusan. Aku pun segera memberikan alamat rumah sakit tempat Deris sedang
dirawat.
Sambungan telepon pun terputus. Aku kembali
resah sambil mondar-mandir di sepanjang ruang tunggu IGD. Peristiwa tersebut
kembali menghantui dibenakku. Motor yang melaju kencang dari arah utara
menerobos lampu merah dengan begitu cepat. Dalam hitungan detik, Deris yang
berada beberapa meter tepat di depanku –sedang menyeberang– terpental begitu
jauh saat motor tersebut menabraknya. Darah mengalir begitu cepat dari telinga,
hidung dan kepalanya. Kerumunan orang memenuhi jalan hingga membuat macet tepat
dipersimpangan lampu merah kejadian tersebut. Beberapa polisi lalu lintas
berusaha mengatasi kemacetan. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Deris yang pucat
berlumuran darah sambil menangis berharap pelupuk matanya terbuka. Tak lama
kemudian bunyi sirene ambulan mendekat. Tubuh Deris segera dibopong naik ke
atas ambulan, dan aku ikut masuk kedalamnya.
Tiba tiba sebuah tangan menyentuh pundak ku.
Aku terbangun dari lamunan yang cukup membuatku susah untuk berpikir apapun,
kecuali Deris.
“Gimana kabar Deris?” Tanya sosok pria
bertubuh tegap yang tadi menyentuh pundakku.
“Dia masih didalam ruang IGD.” Jawabku dengan
suara yang masih lemas. “Kamu, kenapa bisa ada disini? Tau dari mana soal
Deris?” Tanyaku sambil memandang sosok tubuh jangkungnya yang berdiri tepat di samping
kananku. Aku sedang mengira-ngira, sejak tadi aku tidak meneleponnya.
Seolah olah menyadari kebingunganku saat itu
ia langsung memberikan penjelasan. “Tadi Tara menghubungiku menceritakan soal
kecelakaan Deris, ia menyuruhku untuk segera ke rumah sakit menemanimu. Katanya
ia harus pergi ke rumah Deris memberitahukan kepada keluarganya.”. Ada perasaan
lega yang menyentuh ubun ubunku, setidaknya aku tidak sendirian, pikirku.
Dimas, seorang atlit basket sekolah yang
selama 2 tahun berturut turut menjadi pemain basket terbaik di sekolah SMU
Pelita Bangsa, serta kapten tim basket yang selalu ikut serta dalam berbagai turnamen.
Ia juga pernah menyandang status sebagai siswa berprestasi dikelasnya ketika
kelas X. Jadi tidak heran banyak gadis gadis di sekolah itu kepincut olehnya,
meski tampangnya tidak seganteng Afgan, sang romeo di sekolah tersebut, ataupun
Aldo, anak seorang pengusaha terkenal yang sangat tajir. Dimas tetap masuk
dalam urutan 10 besar cowok yang diminati alias ingin dijadikan pacar oleh gadis
gadis disekolah tersebut.
“Hei, kamu sudah makan siang?” tiba-tiba
suara dari sebelah kananku, Dimas, membuyarkan pikiranku yang sedang
asik-asiknya bermain di alamnya sendiri.
“Eh, apa? Makan? Hmm belum. Lupa. Tadi tidak
sempat” sahutku sedikit gugup dan terbata.
“Sudah jam 3 lebih, kamu tidak lapar?”
Tanyanya kembali sambil menatapku dan memerhatikan gerak gerikku. Barangkali
akan terdengar suara cacing-cacing besar dalam perutku berbunyi minta makan.
“Hmm yaa” aku sedikit berpikir. ‘Kriuuk…kriuuk’
dan tepat saat itu juga suara perutku berbunyi. “Aku lapar.” sahutku kemudian,
dan tersenyum.
“Baiklah, kamu tunggu di sini. Aku akan
mencari makanan di kantin rumah sakit ini.” Katanya sambil tersenyum padaku dan
bergegas bangkit dari kursi tunggu yang sejak tadi kami duduki bersama. Aku
balas tersenyum padanya sambil memandang punggungnya yang kemudian menghilang
di balik tembok. Beberapa detik setelah itu aku menghela nafas panjang.
Setelah menunggu hampir 10 menit, Dimas
muncul dengan membawa sekantung plastik berisi roti dan minuman. Kemudian ia duduk
di sebelahku kembali dan menyodorkan plastik tersebut ke arahku. Aku memilih plastik
kecil roti rasa mocca.
“Terimakasih.” kataku padanya dan menyodorkan
kembali plastik itu padanya.
“Kembali.” sahutnya sambil tersenyum padaku.
Kemudian ia mengambil roti berlapiskan krim keju dari dalam plastik tersebut.
“Aku juga belum makan, jadi lapar” katanya setelah menggigit kecil bagian
rotinya sambil menatapku dan sedikit tertawa kecil.
“Kamu belum makan juga. Kenapa?” Tanyaku
kemudian menggigit roti yang sedang berada ditangan kananku.
“Tadi setelah pulang sekolah ada latihan
basket. Karena terburu buru jadi aku latihan dulu. Sekitar jam 2 lewat baru
pulang, niatnya mau makan, tetapi tiba tiba Tara menelfonku dan memintaku untuk
segera kesini menemanimu.” Ceritanya. Tiba-tiba aku berhenti mengunyah roti
yang sedang berada di dalam mulut, kemudian menatapnya dan betapa merasa tidak
enaknya aku saat itu juga.
‘Tara,
ngapain sih kamu telfon dia untuk kesini, jadi tidak enakkan aku sama dia’
gumamku dalam hati sambil mengutuk Tara si cewek cerewet yang telah menyuruh
Dimas ke rumah sakit menemaniku. “Maaf ya jadi ngerepotin, Tara tidak bilang apa
apa sama aku. Maaf ya.” Jelasku sambil menatapnya tidak enak kemudian sedikit menundukkan
wajah berharap kata-kata ‘tidak apa apa’ keluar dari mulutnya dan sebersit
senyum hangatnya yang dapat membuat rasa bersalahku memudar.
“It’s
oke. Aku senang bisa temanin kamu di sini kok.” Dan senyum hangatnya
merekah saat itu juga setelah mengucapkan sepotong kalimat yang benar benar
seperti harapanku. Aku jadi sedikit salah tingkah dan bingung harus melakukan
apa. ‘sepertinya ia bisa membaca
pikiranku’ gumamku kemudian tersenyum kecil dan berharap ia tidak
melihatnya. ‘ia tidak berubah’.
“Terimakasih.” Aku kembali menggigit roti
kecil berlapiskan mocca ditanganku sambil sedikit menganggukan padanya dengan
kode melirikkan ujung mataku pada roti yang ia beli di kantin demi mengganjal
perut kami yang sedang lapar.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kejadian tentang
Deris, tabrak lari? Atau terserempet bus kota?” tanyanya setelah jeda beberapa
saat. Aku pun menceritakan kejadian itu dari awal sampai akhir sambil sesekali
menggigit roti dan mengunyahnya. Ia menyimaknya dengan seksama, sama sepertiku sambil
mengunyah roti sekali-kali. Tidak lama setelah itu, keluarga Deris –Ibunya dan
sang adik kecil yang ku kenal dengan nama Abrar– datang bersama Tara dan
langsung menanyakan kejadian itu padaku. Dengan raut wajah yang kembali sedih
aku pun menceritakan kejadian itu, rasa penyesalan kembali hadir mengalir
bersama cerita tersebut. Aku merasa kesal dan marah pada diriku karena tidak
sempat merengkuh dan menarik tubuh deris menghindari kecelakaan itu. Rasanya
seperti membunuh jiwa sendiri, menarik ujung tombak dan menancapkannya pada
ubun ubun.
Memori itu terkenang kembali. Wajah hangat Deris
dan senyum khas dengan bibir atas yang sedikit melekuk begitu terhafal dalam
ingatanku. Tawanya yang ceria juga kejahilannya dalam mengerjaiku begitu kental
menjadi cairan pahit saat ini. Tawanya sedikit demi sedikit memudar hilang
termakan oleh waktu dan keadaan. Tawa itu kini berubah, berubah menjadi sesuatu
yang begitu menyakitkan.
Tiba tiba sebuah tangan menyentuh pundakku
dan menyadarkanku dari lamunan.
“Jangan bengong di rumah sakit.” Kata Tara menatapku
dengan raut wajah khawatir juga kasian.
“He-eh, iya.” Aku sedikit bergumam dan salah
tingkah.
“Kamu kelelahan, sebaiknya pulang saja, Nak.”
Suara parau dari sisi sebelah kananku, ibu Deris keluar begitu saja. Mungkin ia
mendengar perkataan Tara barusan. “Sebentar lagi ayah Deris juga tiba di rumah
sakit, sudah ada yang menemani Deris kok. Kamu istirahat saja, pulanglah, Nak.
Kalian juga” Suara ibu Deris terdengar begitu pasrah dan sedih sambil menatap
kami bertiga satu persatu. Ibu mana yang tidak akan bersedih jika anaknya
terkena musibah. Setelah di pikir pikir dan sedikit berkompromi dengan Tara dan
Dimas, mungkin memang sebaiknya kami pulang saja. Lagi pula Deris sudah ada
keluarganya yang menemani. Dan mungkin juga dengan pulang aku bisa sedikit
menenangkan pikiranku.
“Terima kasih, Bu. Kalau begitu kami pamit
pulang dulu ya.” Kataku kepada ibu Deris dan menyalami tangannya. Disusul
dengan Tara kemudian Dimas.
Kamipun melangkahkan kaki perlahan melewati
koridor rumah sakit. Kepalaku terus bekerja mengingat ingat kejadian tersebut,
langkahku sedikit gontai dan melambai, tiba tiba seluruh badanku lemas dan pandangan
tiba tiba saja buram dan kemudian gelap.
Continued
No comments:
Post a Comment