Sunday, January 8, 2017

S

Dear S

Tepat kemarin, setelah melewati seperempat hari bersamamu dan hujan, kita pun berbagi banyak cerita. Oke, tepatnya ‘berbagi banyak cerita saya’. Saya sedang sibuk mengedit-edit laporan yang akan di print. Sedangkan kamu, dengan tabah dan sabarnya membantu saya merapikan lembar demi lembar hasil print yang berceceran. Sesekali, gurauan tentang hal penting – tidak penting menghangatkan ruangan ukuran 4 x 4 meter tersebut. Mungkin, karena suasana hujan yang membuat sejuk turut membuat kita (tepatnya saya) membutuhkan kehangatan.

Saya memberikan selembar kertas dobel folio yang berisikan deadline saya seminggu ke depan pada mu. Saya berkata bahwa itu adalah hasil duduk 10 sampai 15 menit bersama seorang dosen, kemarin. Paragraf pemi paragraf cerita saya mengalir dan kamu senantiasa mendengarkannya. Saya cerita bahwa ekspektasi selama 1-2 bulan lalu sama sekali tidak berjalan sesuai target. Saya sudah berjanji pada diri sendiri di akhir tahun 2016, awal desember untuk melanjutkan apa yang sudah saya kerjakan. Tetapi ternyata dalam 10 – 15 menit semua ekspektasi yang pernah terangkai itu menjadi sia-sia, dan saya kehilangan begitu banyak waktu.

Saya sedih saat itu. Entahlah. Kau tau dengan baik bagaimana rangkaian perjalanan yang sudah saya lewati berbulan-bulan, menemani sepotong harapan yang akan membuahkan hasil. Tetapi ternyata, saya harus kembali pada titik 0. Dimana semuanya harus dimulai dari awal lagi. Saya sedih saat itu, tapi mendengarkan nasihatmu membuat saya bangkit kembali.

Menit-menit terlewati dengan bongkahan cerita yang saya miliki hingga kita sampai pada topik tentang ‘impian’. Entahlah siapa yang memulainya terlebih dahulu, mungkin saya. Ya, itu saya, saya yang memulainya terlebih dahulu. Saya berkata bahwa saya memiliki suatu harapan, sebut saja itu sebuah projek. Bahkan saya sudah memikirkan alur dan endingnya bagaimana, meskipun tidak terlalu detail. Saya bercerita kepadamu, bahwa saya sudah meletakkan harapan tersebut tepat 5 cm dihadapan kening saya (seperti dalam film 5 cm).
“Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa."

Tetapi tiba-tiba,
saya memasang raut wajah penuh keraguan. Mengingat pembicaraan kita sebelum sampai pada titik ini, mengenai ekspektasi yang telah gagal total. Saya ragu, bahkan sebelum menyentuh sedikitpun harapan itu, apalagi menggenggamnya.
Kamu tersenyum dan memberi sinyal positif. Kamu bilang bahwa kamu percaya saya mampu melakukannya. Kamu percaya bahwa hal-hal sulit itu mampu saya lewati dan kamu akan senantiasa membantu saya.

Kau tau, saat itu atmosfer ke-galau-an berubah. Saya terdiam, kemudian berkata bahwa kamu berlebihan. Tetapi, lagi dan lagi kamu membangkitkan semangat saya, mengubah pikiran negatif saya menjadi lebih baik. Kamu membuat saya percaya bahwa semuanya bisa berjalan jika saya memiliki niat yang kuat dan keinginan untuk mengerjakannya. Saya terpaku. Kenapa? Karena baru kali ini ada yang menguatkan saya seperti ini. Padahal saya sudah cerita bahwa beberapa orang justru membuat saya down dan menyuruh saya untuk menyerah. Tapi, S, kau berbeda.

Malam ini, kamu menghubungi saya dan meminta bantuan. Kemudian saya bertanya, apakah kau sudah sehat? suaramu terdengar masih lemas dan serak. 2 minggu ini keadaanmu memang kurang sehat dan sering terlihat lemas. Tetapi malam ini suaramu benar-benar berbeda. Hingga, suara isak tangis memecah pertanyaan saya. Saya kembali bertanya, ada apa.

1 kalimatmu mengubah detak jantung saya. Darah saya sekan terhenti mendengar kabar dari mu. Saya terdiam saat tangismu berubah semakin terisak. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa aba-aba. Saya benar-benar ingin memelukmu saat itu juga.

Hai, S.
Dengarkan saya baik-baik.
Saya tau, kamu tidak akan baik-baik saja. Tidak pernah ada orang yang akan tetap baik-baik saja ketika kehilangan orang disayanginya. Saya tidak bisa berbuat banyak, tetapi saya punya bahu yang bisa kau sandarkan, saya punya telinga yang bisa mendengar semua suka duka mu, saya punya tangan meskipun tidak selembut sutra namun bisa menghapus air matamu, dan saya punya diri saya untuk tetap berada di sisimu meski tak selalu ada disampingmu, S.

Kamu selalu membuat saya percaya bahwa apa yang saya lakukan akan menjadi realita jika punya niat dan keinginan yang besar. Kamu selalu berkata bahwa saya kuat, saya mampu melewati rintangan-rintangan yang ada.

Maka kali ini, izinkan saya berkata: S, saya percaya, kamu lebih kuat dari apa yang saya lihat. Kamu lebih tegar dari apa yang bisa saya bayangkan. Maka, tetap kuat dan tegar ya, S. Saya sayang kamu.

No comments:

Post a Comment