Dear
S
Tepat kemarin, setelah melewati
seperempat hari bersamamu dan hujan, kita pun berbagi banyak cerita. Oke, tepatnya
‘berbagi banyak cerita saya’. Saya sedang sibuk mengedit-edit laporan yang akan
di print. Sedangkan kamu, dengan
tabah dan sabarnya membantu saya merapikan lembar demi lembar hasil print yang
berceceran. Sesekali, gurauan tentang hal penting – tidak penting menghangatkan
ruangan ukuran 4 x 4 meter tersebut. Mungkin, karena suasana hujan yang membuat
sejuk turut membuat kita (tepatnya saya) membutuhkan kehangatan.
Saya memberikan selembar kertas dobel
folio yang berisikan deadline saya seminggu ke depan pada mu. Saya berkata
bahwa itu adalah hasil duduk 10 sampai 15 menit bersama seorang dosen, kemarin.
Paragraf pemi paragraf cerita saya mengalir dan kamu senantiasa
mendengarkannya. Saya cerita bahwa ekspektasi selama 1-2 bulan lalu sama sekali
tidak berjalan sesuai target. Saya sudah berjanji pada diri sendiri di akhir
tahun 2016, awal desember untuk melanjutkan apa yang sudah saya kerjakan. Tetapi
ternyata dalam 10 – 15 menit semua ekspektasi yang pernah terangkai itu
menjadi sia-sia, dan saya kehilangan begitu banyak waktu.
Saya sedih saat itu. Entahlah. Kau tau
dengan baik bagaimana rangkaian perjalanan yang sudah saya lewati
berbulan-bulan, menemani sepotong harapan yang akan membuahkan hasil. Tetapi
ternyata, saya harus kembali pada titik 0. Dimana semuanya harus dimulai dari
awal lagi. Saya sedih saat itu, tapi mendengarkan nasihatmu membuat saya
bangkit kembali.
Menit-menit terlewati dengan bongkahan
cerita yang saya miliki hingga kita sampai pada topik tentang ‘impian’.
Entahlah siapa yang memulainya terlebih dahulu, mungkin saya. Ya, itu saya,
saya yang memulainya terlebih dahulu. Saya berkata bahwa saya memiliki suatu
harapan, sebut saja itu sebuah projek. Bahkan saya sudah memikirkan alur dan endingnya bagaimana, meskipun tidak
terlalu detail. Saya bercerita
kepadamu, bahwa saya sudah meletakkan harapan tersebut tepat 5 cm dihadapan
kening saya (seperti dalam film 5 cm).
“Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa."
“Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa."
Tetapi tiba-tiba,
saya memasang raut wajah penuh
keraguan. Mengingat pembicaraan kita sebelum sampai pada titik ini, mengenai
ekspektasi yang telah gagal total. Saya ragu, bahkan sebelum menyentuh sedikitpun
harapan itu, apalagi menggenggamnya.
Kamu tersenyum dan memberi sinyal
positif. Kamu bilang bahwa kamu percaya saya mampu melakukannya. Kamu percaya
bahwa hal-hal sulit itu mampu saya lewati dan kamu akan senantiasa membantu
saya.
Kau tau, saat itu atmosfer ke-galau-an
berubah. Saya terdiam, kemudian
berkata bahwa kamu berlebihan. Tetapi, lagi dan lagi kamu membangkitkan
semangat saya, mengubah pikiran negatif saya menjadi lebih baik. Kamu membuat
saya percaya bahwa semuanya bisa berjalan jika saya memiliki niat yang kuat dan
keinginan untuk mengerjakannya. Saya terpaku. Kenapa? Karena baru kali ini ada
yang menguatkan saya seperti ini. Padahal saya sudah cerita bahwa beberapa
orang justru membuat saya down dan
menyuruh saya untuk menyerah. Tapi, S, kau berbeda.
Malam ini, kamu menghubungi saya dan
meminta bantuan. Kemudian saya bertanya, apakah kau sudah sehat? suaramu
terdengar masih lemas dan serak. 2 minggu ini keadaanmu memang kurang sehat dan
sering terlihat lemas. Tetapi malam ini suaramu benar-benar berbeda. Hingga,
suara isak tangis memecah pertanyaan saya. Saya kembali bertanya, ada apa.
1 kalimatmu mengubah detak jantung
saya. Darah saya sekan terhenti mendengar kabar dari mu. Saya terdiam saat
tangismu berubah semakin terisak. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa aba-aba.
Saya benar-benar ingin memelukmu saat itu juga.
Hai, S.
Dengarkan saya baik-baik.
Saya tau, kamu tidak akan baik-baik
saja. Tidak pernah ada orang yang akan tetap baik-baik saja ketika kehilangan
orang disayanginya. Saya tidak bisa berbuat banyak, tetapi saya punya bahu yang
bisa kau sandarkan, saya punya telinga yang bisa mendengar semua suka duka mu, saya
punya tangan meskipun tidak selembut sutra namun bisa menghapus air matamu, dan
saya punya diri saya untuk tetap berada di sisimu meski tak selalu ada
disampingmu, S.
Kamu selalu membuat saya percaya bahwa
apa yang saya lakukan akan menjadi realita jika punya niat dan keinginan yang
besar. Kamu selalu berkata bahwa saya kuat, saya mampu melewati
rintangan-rintangan yang ada.
Maka kali ini, izinkan saya berkata: S, saya
percaya, kamu lebih kuat dari apa yang saya lihat. Kamu lebih tegar dari apa
yang bisa saya bayangkan. Maka, tetap kuat dan tegar ya, S. Saya sayang kamu.
No comments:
Post a Comment